Tekanan sosial telah menjerat kebebasan perempuan pesisir dalam menentukan pilihan hidup.
Judul : Siti
Durasi : 1 jam 28 menit
Tokoh :
- Siti : Sekar Sari
- Gatot : Haydar Saliz
- Bagus : Ibnu Widodo
- Bagas : Bintang Timur Widodo
- Darmi : Titi Dibyo
- Karyo : Catur Stanis
Sutradara : Eddie Cahyono
Tahun : 2014
Remang-remang sepanjang jalan pantura//Gadis manis pada midang pinggir dalan//Jare seneng bisa bantui wong tua//Kadang nangis urip mengkenen sampai kapan
Begitulah salah satu potongan lirik lagu berjudul Remang-Remang yang dibawakan Diana Sastra. Lagu yang dibawakan dalam bahasa jawa ini merupakan lagu dangdut pantai utara atau lebih dikenal dengan tarling dangdut. Lagu ini menceritakan kisah perjuangan perempuan yang rela menjadi pelacur demi mencari nafkah. Lagu kesukaan Almarhum Abdurrahman Wahid atau akrab disapa Gus Dur ini memperlihatkan sisi lain kehidupan perempuan di wilayah pesisir dalam menjalani hidup.
Membawakan konsep serupa, Eddie Cahyono turut menampilkan sisi lain kehidupan perempuan di wilayah pesisir melalui film berjudul “Siti”. Melalui film ini, ia memperlihatkan figur seorang perempuan berprofesi pemandu lagu yang termanifestasikan dalam sosok Siti (Sekar Sari). Selain itu, ia juga memilih Pantai Selatan Jawa, tepatnya di daerah Pantai Parangtritis, Yogyakarta sebagai latar tempat film.
Tidak hanya menggambarkan sosok Siti sebagai pemandu lagu, film ini juga memperlihatkan dirinya sebagai seorang ibu rumah tangga. Ia harus melakukan berbagai urusan rumah tangga sekaligus mengurusi kebutuhan anaknya, Bagas (Bintang Timur Widodo) dan hanya dibantu oleh ibu mertuanya yang sudah tua, Darmi (Titi Dibyo). Kondisi suaminya, Bagus (Ibnu Widodo) yang menderita lumpuh di sekujur tubuh akibat kecelakaan saat melaut menjadi penyebab Siti harus menanggung semua urusan.
Kondisi tersebut semakin diperparah dengan Bagus yang tidak mau berbicara dengan Siti semenjak ia berprofesi sebagai pemandu lagu. Padahal, pekerjaan tersebut ia lakoni semata-mata demi melunasi utang suaminya kepada Pak Karyo (Chatur Stanis). Penghasilannya dari hasil berjualan peyek jingking tidaklah cukup untuk menutupi seluruh utang tersebut. Puncaknya, ia harus melunasi sisa utang yang jumlahnya mencapai lima juta dalam waktu tiga hari. Ia pun rela menjalani rutinitasnya setiap malam untuk melayani tamu, berpakaian seksi, hingga menenggak alkohol.
Klimaks dalam film ini pun muncul ketika Siti dan teman-temannya diminta untuk langsung bekerja setelah mendapat izin operasi karaoke dari polisi. Mereka mendapatkan tugas untuk menemani Gatot (Haydar Saliz) dan kawan-kawannya yang berprofesi sebagai polisi. Gatot bukanlah orang asing bagi Siti karena mereka berdua sebenarnya telah lama menjalin hubungan asmara. Namun, Siti masih enggan mengakui hubungan terlarang tersebut karena masih memiliki suami.
Sepanjang malam, mereka terhanyut dalam suasana riang kenikmatan karaoke. Namun di tengah suasana tersebut, Siti terlihat resah dan tidak menikmati suasana karaoke malam itu. Ia pun akhirnya bercerita kepada Gatot terkait utang yang harus segera dilunasi. Gatot yang merasa iba dengan cerita Siti tidak hanya memberikan uang, tetapi juga mengajaknya untuk menikah. Siti pun menerima uang pemberian Gatot, namun masih belum menanggapi ajakannya.
Sesampainya di rumah setelah bekerja, Siti pun langsung bercerita kepada suaminya bahwa uang untuk melunasi utang sudah terkumpul. Tidak hanya itu, ia juga bercerita tentang ajakan Gatot untuk menikah. Namun begitu mendengar cerita Siti, Bagus justru menyuruhnya untuk pergi. Siti pun marah sekaligus kesal mendengar ucapan Bagus hingga dia pergi meninggalkan rumah dan menuju pantai. Tatapan kosong Siti memandang laut di pinggir pantai menjadi penutup film yang memberikan kesan menggantung.
Tidak hanya menggambarkan perjalanan hidup Siti, film ini juga menunjukkan sosok dari kaum perempuan yang merupakan salah satu potensi sosial masyarakat di kawasan pesisir. Kaum perempuan pesisir, khususnya istri nelayan memiliki peranan ganda dalam lingkungan masyarakat pesisir, yaitu ikut terlibat dalam aktivitas publik dan mengurus kegiatan rumah tangga. Kondisi kehidupan masyarakat pesisir yang miskin dan tertinggal menuntut kaum perempuan ikut terlibat dalam aktivitas publik, khususnya kegiatan ekonomi.
Drs. Kusnadi, M.A., dkk., dalam buku Perempuan Pesisir menekankan tiga hal penting terkait peranan dan kedudukan strategis perempuan pesisir. Pertama, kedudukan dan perananan perempuan termanifestasi dalam bentuk pembagian kerja secara seksual. Dalam sistem pembagian kerja tersebut, kaum perempuan mengambil peranan di darat untuk mengurus perdagangan ikan, sedangkan kaum laki-laki mengambil peranan di laut untuk menangkap ikan. Peranan ganda yang diemban kaum perempuan mengakibatkan aktivitas publik yang dilakoni mereka hanya memungkinkan di darat.
Kedua, dampak dari sistem tersebut mengharuskan kaum perempuan untuk selalu terlibat dalam kegiatan mencari nafkah sebagai antisipasi saat suaminya tidak memperoleh penghasilan. Suami mereka yang mayoritas nelayan masih bergantung terhadap musim ketika melakukan kegiatan melaut. Hal tersebut membuat mereka seringkali memperoleh penghasilan yang tidak menentu.
Terakhir, kedudukan, peranan serta dampak pembagian kerja secara seksual telah menempatkan perempuan sebagai salah satu pilar penyangga kebutuhan hidup rumah tangga. Tidak adanya kepastian penghasilan membuat kondisi ekonomi keluarga nelayan sangat rentan. Hingga akhirnya, kedudukan dan peranan penting kaum perempuan dalam masyarakat pesisir menjadikan mereka sebagai pihak yang paling terbebani dalam menghadapi kerentanan ekonomi.
Menjadi pihak yang paling terbebani tentu membuat kaum perempuan mempertimbangkan berbagai opsi untuk mencari nafkah, namun tetap dibatasi dengan peran ganda yang mereka tempuh. Siti dalam film ini tidak hanya menjadi pihak yang paling terbebani, tetapi menjadi satu-satunya tumpuan dalam menjalankan peranan ganda tersebut. Belum lagi tanggungan utang yang harus dilunasi menuntut dirinya untuk mencari uang dengan jumlah besar. Dengan kondisi kehidupan yang sulit ditambah permasalahan lain yang menimpanya, pekerjaan sebagai pemandu lagu pun rela dia jalankan. Akhirnya, pilihan hidup yang ditempuh oleh Siti merupakan implikasi dari struktur sosial kehidupan masyarakat pesisir.
Pilihan hidup yang harus dijalankan Siti semakin tercermin dalam film ini ketika Eddie Cahyono mengusung warna hitam putih. Menurutnya, pengusungan hitam putih pada film tersebut menggambarkan kehidupan Siti yang tidak berwarna. Selain itu, pengusungan tersebut juga mewakili rasa keputusasaan Siti yang pada akhirnya harus memilih untuk kebahagiaannya sendiri. Namun, pengusungan hitam putih ini justru memperjelas kesan alur yang lambat dalam film ini. Alur yang lambat tersebut dapat berpotensi membuat penonton merasa bosan.
Terlepas dari segala kekurangan dan kelebihannya, film Siti mengungkap suatu persoalan sosial dengan menghadirkan fenomena tersebut melalui perjalanan kehidupan Siti. Penulis melihat bahwa tujuan utama film ini bukan untuk memperlihatkan seorang pemandu lagu dalam menjalankan kehidupannya, melainkan alasan dibalik pilihan profesi yang dilakoninya. Pemilihan profesi yang memiliki citra buruk tersebut bukan atas dasar keinginan pribadi pelakunya, melainkan terdapat persoalan yang menuntutnya. Penulis melihat sikap menentukan pilihan tersebut serupa dengan sebuah kutipan Djenar Maesa Ayu dalam novelnya Mereka Bilang, Saya Monyet!. Ia pernah menuliskan, “Lantas apa yang salah dengan pelacur? Adakah orang yang menulis di buku catatannya, cita-cita: pelacur. Mana yang lebih pantas dipertanyakan, takdir atau pelacur?”[Muhammad Farhan Isnaen]
1 komentar
[…] https://www.balairungpress.com/2017/03/menyelami-pilihan-hidup-perempuan-pesisir/ […]