“Kita sedang membicarakan mau kemana industri pariwisata,” kata Pitra, salah satu pembicara pada diskusi “Pembangunan Pariwisata di Jogja Untuk Siapa?”, Selasa (28-2) sore. Dalam acara yang diselenggarakan oleh Magister Administrasi Publik (MAP) Corner ini, ia menyinggung tentang konflik-konflik yang terjadi dalam pembangunan pariwisata Jogja. Diskusi yang bertempat di lobi MAP Fisipol UGM unit 2 ini juga mengundang dua pembicara selain Pitra. Mereka adalah Janianton Damanik selaku Dosen Fisipol UGM dan Rugiyati dari Paguyuban Kawulo Pesisir Mataram Watu Kodok.
Pitra, peneliti dari Indonesian Visual Art Archive mengawali diskusi dengan membicarakan pokok permasalahan pariwisata yaitu perencanaan pembangunan. Ia mengatakan bahwa dalam pengelolaan pariwisata Jogja memunculkan istilah-istilah seperti desa wisata dan desa budaya. Lalu ada studi-studi yang meneliti bagaimana karakter desa wisata dan desa budaya. Hasil dari penelitian tersebut lalu disampaikan kepada pihak-pihak pengelola pariwisata yaitu warga setempat melalui dinas-dinas.
Dalam menyampaikan hal tersebut, pemerintah membentuk jaringan warga yang bernama Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis). Peran dari Pokdarwis ini yaitu membantu warga mengelola tempat wisata di daerahnya. Namun posisi pokdarwis ini tidak menguntungkan karena warga tidak memperoleh kompensasi yang sepadan. Pokdarwis hanya mendapat semacam sertifikat yang menggambarkan seolah mereka dari dinas pariwisata tapi pada kenyataannya mereka tidak ada dalam struktur tersebut. Mereka juga tidak memiliki kewenangan untuk memutuskan sendiri hal yang ingin dibuat, hanya melakukan keputusan pemerintah. “Andai ada konflik dengan warga atau menghadapi investor mereka tidak bisa melakukan apapun untuk melindungi potensi wisatanya,” ujar Pitra.
Salah satu konflik yang terjadi berada di kawasan Parangtritis terkait dengan tata ruang. Awalnya kawasan ini merupakan kawasan lindung dan sedikit kawasan untuk budidaya. Lalu muncul persoalan status kepemilikan tanah yang memunculkan klaim antara warga, negara, dan kesultanan tentang adanya zonasi. Kemudian kawasan ini dibangun Geomaritime Science Park oleh Badan Informasi Geospasial, sebuah laboratorium untuk mencegah kawasan ini dari kerusakan. Untuk memperkuat ini, dibuat peraturan tentang rencana tata ruang yang mengatakan bahwa kawasan Parangtritis adalah kawasan konservasi. Sehingga kawasan tersebut tidak boleh dibangun apapun dengan status kepemilikan tanah yang tidak jelas.
Akan tetapi kemudian muncul rencana akan dijadikannya kawasan pantai sebagai terasnya Jogja. Yaitu kawasan pantai menjadi yang paling didepankan saat wisatawan datang. Kawasan pantai tersebut yaitu Parangtritis, Depok, dan Kwaru. Ketiga kawasan pantai tersebut akan ada pembangunan untuk menyambut apapun termasuk wisatawan. “Namun, status tanah di sini tidak jelas apakah menyewa atau seperti apa,” ucap Pitra.
Konflik pembangunan pariwisata juga terjadi di kawasan Watu Kodok. Rugiyati menuturkan, awal mulanya wisata Watu Kodok dikelola oleh warga setempat. Warga biasanya memanfaatkan untuk mencari rumput laut untuk dikonsumsi atau dijual. Saat semakin banyak pengunjung yang datang, warga kemudian berinisiatif untuk membuka Pantai Watu Kodok sebagai tempat wisata. Tiba-tiba Pemerintah Desa datang dan menyatakan bahwa sebagian kawasan Watu Kodok sudah dikontrak oleh Warga Jakarta bernama Eni Supiani, saat itu warga hanya diam. Lalu datang Pemerintah Kabupaten bersama Pemerintah Desa dan Kuasa Hukum Eni yang mengklaim bahwa semua kawasan Watu Kodok sudah dikontrak oleh Eni. Sehingga warga harus meninggalkan kawasan Watu Kodok tanpa ganti rugi maupun relokasi. Warga hanya diberi tawaran dari investor untuk menjadi tukang sapu atau tukang masak. Warga menolak tawaran tersebut dan memilih bertahan sampai sekarang.
Selain konflik dengan investor, warga pesisir juga dibuat resah dengan peraturan daerah Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW). Dalam RTRW dijelaskan bahwa pada radius seratus meter dari bibir pantai harus steril dari bangunan. Padahal bangunan warga berada kurang dari seratus meter. Selain itu tanah di atas batas seratus meter sudah menjadi hak milik. Bila ditata sesuai aturan tersebut maka warga tidak akan memiliki tempat tinggal. “Tanah di belakang seratus meter sudah banyak yang dijual ke investor asing,” tutur Rugiyati menyampaikan keresahannya.
Konflik pariwisata tidak hanya terjadi di kawasan pantai, tetapi juga terjadi di kawasan kota yaitu pembangunan hotel. Menurut Anton, dilihat dari data Badan Pusat Statistik pembangunan hotel di Jogja berkembang pesat. Dari tahun 2014 ke 2015, pembangunan hotel berbintang di Jogja mencapai empat belas unit. Pemilik dari hotel-hotel tersebut bukan warga Jogja. Pembangunan hotel ini dapat meruntuhkan hotel-hotel tradisional milik warga Jogja. Persoalan lain dari pembangunan hotel adalah timbulnya krisis air. Hal ini terjadi karena hotel membuat sumur dengan cara mengebor air tanah. Padahal sudah ada aturan yang menyatakan bahwa hotel harus memanfaatkan air Perusahaan Air Minum (PAM), tidak boleh ngebor.
Menanggapi diskusi tersebut, salah satu peserta yaitu Dodo, warga Miliran, mengafirmasi krisis air di Jogja. Sumur di rumahnya dari dulu belum pernah kering, tetapi setelah berdiri hotel, sumurnya mengering. Ia juga mengkritik soal pariwisata Jogja yang mengarah ke pasar dengan banyaknya hotel. Menurutnya yang membuat Jogja istimewa adalah budayanya dan bila ada wisatawan yang datang adalah bonus. “Wisatawan ke Jogja itu tidak masuk hotel, tapi masuk ke kampung berinteraksi dengan warga dan bila menginap di rumah warga, itu lebih berguna bagi warga,” tutur Dodo. [Farid Zakaria, Pungky Erfika Suci]