“Tidak banyak orang yang membicarakan dan mengikuti isu tambang,” ucap Budi Hermanto, selaku moderator dalam diskusi “Menguak dan Menghentikan Daya Rusak Tambang dengan Memperkuat Jurnalisme Warga” pada Senin sore (30-01). Diskusi ini diadakan oleh Warta Hijau sebagai rangkaian peluncuran portal berita daring tersebut di Kafe Kantin S15 Jalan Suryodiningrat No. 15, Yogyakarta. Wartahijau.com merupakan portal berita online yang fokus mengkaji isu tambang. Pembicara pada diskusi kali ini yakni Hendrik Siregar selaku pengamat pertambangan dan Anang Zakaria selaku Ketua Aliansi Jurnalis Independen Yogyakarta. Puluhan peserta yang merupakan pegiat isu lingkungan, pelaku kegiatan alam bebas, dan pers mahasiswa turut hadir dalam diskusi tersebut.
Diskusi ini bertujuan membangun pemahaman mengenai daya rusak tambang dan peran jurnalisme warga dalam memperkenalkan isu pertambangan. Anang menuturkan bahwa jurnalisme warga merupakan kolaborasi antarwarga, seperti petani, mahasiswa, dan aktivis dalam berbagi informasi. Masing-masing dari mereka akan memiliki data dan informasi yang dapat digunakan secara bersama-sama. Sehingga semua elemen dapat mengetahui apa fakta yang terjadi sebenarnya di lapangan.
Anang mengatakan bahwa fakta daya rusak tambang sulit diungkap karena seringkali wartawan tidak fokus pada isu tertentu. Apabila media cukup intens mewartakan isu tertentu, khususnya isu lingkungan, isu tersebut bisa mendapatkan porsi pemberitaan yang lebih besar. Selain itu, Anang juga menuturkan bahwa umumnya media hanya mewawancarai orang-orang yang punya kepentingan, sehingga menimbulkan informasi yang tidak berimbang. “Akhirnya, informasi yang diperoleh tidak menggambarkan fakta yang terjadi di lapangan dan kondisi warga,” tambah Anang.
Senada dengan Anang, Hendrik menuturkan bahwa jumlah kasus tambang yang diliput media sangat minim. “Berdasarkan pengamatan yang saya lakukan selama setahun, hanya 32 dari 212 kasus yang terekspos media,” jelas Hendrik. Ia juga menambahkan media cenderung meliput suatu kasus apabila menimbulkan korban kriminal yang jumlahnya tidak sedikit. Hendrik mencotohkan pada kasus di Belitung, dimana media baru mengangkat isu tersebut saat korban meninggal di lubang bekas tambang berjumlah lima belas anak.
Menanggapi diskusi tersebut, salah satu peserta, Fahmi Khatib, mengatakan bahwa harus ada pelatihan jurnalistik untuk mendorong jurnalisme warga. Fahmi yang juga merupakan aktivis Wahana Lingkungan Hidup Indonesia, menambahkan bahwa masyarakat perlu diberi tahu untuk menulis isu-isu yang terjadi di wilayahnya berdasarkan etika jurnalisme yang baku. Senada dengan Fahmi, Hendrik mengajak masyarakat untuk tidak takut memperjuangkan lingkungan melalui sebuah tulisan. “Ada Undang-Undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, semua yang memperjuangkan lingkungan tidak bisa dipenjarakan,” tambah Hendrik. [Muhammad Farhan Isnaen dan Pungky Erfika Suci]