“Apakah lukisan saat ini sudah benar-benar mati?” tanya Alia Swastika pada pembukaan pameran lukisan pada Selasa malam, (17-01) yang berjudul “When I think about the death of painting, I play“. Judul tersebut tercoret dengan jelas menggunakan cat hitam di dinding Ark Galerie. Beberapa pengunjung berbincang akrab sembari mengitari panggung sederhana di sebelah pintu masuk. Alia, kurator pameran tersebut membuka acara dengan sedikit penjelasan tentang perubahan gaya lukisan tiap perupa untuk merespon keberadaan lukisan dalam seni kontemporer. Perpaduan dentuman drum, gitar, dan petikan bas dari kelompok musik lokal yang memainkan musik rok alternatif menjadi hiburan pembuka pada acara tersebut. Setelah itu, pengunjung masih disuguhi puluhan lukisan dengan berbagai medium dari tiga perupa yang telah ditata di dinding galeri.
Pameran pertama di Ark pada tahun 2017 ini digunakan untuk mengkritik bentuk seni kontemporer yang dipamerkan di berbagai galeri. Pameran lukisan sering digabungkan dengan seni instalasi maupun seni tiga dimensi. “Maka dari itu, ketiga perupa tersebut ingin keluar dai zona nyaman mereka untuk kembali mempertanyakan seni lukis dan pameran lukis kontemporer saat ini,” ungkap Venti, salah satu pengelola Ark Galerie.
Sepanjang tahun 2013 – 2016, selepas pameran perupa Ugo Untoro pada 2013 lalu, Ark Galerie tidak hanya menyajikan lukisan sebagai agenda pameran utama. Racikan berbagai komposisi media dalam berkarya menjadikan galeri penuh dengan karya tiga dimensi. Selain itu, karya instalasi, video, audio, dan seni pertunjukan lebih mampu menarik minat pengunjung. “Ark sendiri juga sering digunakan sebagai tempat pameran instalasi, campuran (lukis dan instalasi), maupun sanggar seni. Baru awal tahun ini kami mengadakan pameran lukisan saja,” ujar Venti. Banyaknya orang yang tertarik dengan seni instalasi dan tiga dimensi itulah yang dapat menjadi bahan refleksi tentang keberadaan seni lukis dalam seni kontemporer sekarang.
Istilah seni kontemporer belum ada kesepakatan hingga kini. Namun, bagi Danto (1995: 10-15) dalam After the End of Art menyebutkan bahwa seni kontemporer yang dihasilkan adalah terobosan baru dari pola lukisan dari masa sebelumnya. Pemaknaan terhadap aliran lukisan tidak lagi menjadi pertanyaan mendasar untuk mengulik pameran ini. Sebab, perupa dan pengunjung diberikan kebebasan untuk memaknai pesan setiap lukisan. Hal tersebut tentu membuka peluang diskusi dan mengembangkan pemikiran yang kritis. “Kami tidak merujuk secara khusus, siapa pun boleh bermain dan memaknai lukisan tersebut,” ujar Alia. Para perupa bebas untuk berkreasi terhadap gaya lukisan yang dipamerkan, baik dari aliran lukisan dan pencampuran warnanya. Kematian lukisan yang dipertanyakan dalam judul pameran kali ini bukan menjadi hal mutlak, sebab ketiga pelukis tersebut dapat membingkai masalah sosial yang dihadapi saat ini. Sedangkan pengunjung dapat bebas menginterpretasikan wacana lukisan yang tersaji.
Dalam pameran ini, Alia menggaet tiga perupa dengan rentang usia 30-35 tahun. Dua perupa adalah jebolan Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta, yaitu Wedhar Riyadi dan Wisnu Auri. Sedangkan seorang lagi adalah R. Yuki Agriardi, lulusan Master Art Design dari University of The Art London. Terdapat tiga ciri khas gaya lukis yang disuguhkan oleh perupa dalam pameran tersebut. Gaya lukisan surealis menjadi ciri karya Wedhar dalam pameran kali ini, sedangkan Wisnu menggunakan campuran gaya ekspresionis dengan objek realis, dan Yuki menggunakan aliran abstrak. Pameran Ark Galerie yang pertama di tahun ini dapat dinikmati oleh pengunjung hingga Minggu, (26/02).
Sebanyak delapan karya lukis Wedhar menampilkan potret wajah yang tertutup berbagai objek. Tiga di antaranya adalah lukisan seri yang berjudul “Uncommon Potrait #1 sampai #3” (2016, cat minyak di atas kanvas, @ 150 cm x 200 cm). Dari kegemarannya mengumpulkan poster dan sampul majalah lawas, ia melukiskan seperempat bagian atas tubuh manusia dan mengkombinasikan dengan berbagai macam benda. Pada lukisan berjudul “Uncommon Potrait #1”, bagian bahu hingga leher yang jenjang ia lukis tanpa ada tambahan benda lain. Kemudian, ia mulai mengkombinasikan dengan berbagai jenis batu alam, binatang, dan pola jaket parasut di bagian dagu hingga ujung kepala. Efek mencekam berhasil ia lukiskan dengan menempatkan mata binatang sebagai ganti mata manusia, dan latar belakang gelap pada lukisan
Wedhar mengalami transformasi gaya lukisan pada karyanya sejak 2015, mulanya lukisan Wedhar mencontoh foto lawas dan muka kartun sebagai objek lukisan. Ciri khas wajah dalam lukisan yang ia hasilkan merupakan gambaran tentang emosi palsu manusia yang berlindung dalam citra artifisial. Terutama dengan maraknya iklan di sepanjang jalan yang menjadi sampah visual. “Meskipun begitu, ciri khas surealis tetap ia pertahankan dalam lukisan,” ujar Venti.
Perubahan medium dan gaya lukisan juga dialami oleh Wisnu. Ia menyajikan belasan karya lukis dengan medium kanvas dan enam karya lainnya menggunakan bet tenis meja dan raket. Beberapa karya sebelumnya ia menggunakan peralatan sehari-hari seperti jam bandul, catatan harian atau perkakas tukang. Empat lukisannya yang berjudul “Seri Episode Buku #1 hingga #4” (2016, cat minyak di atas kanvas, @ 200 cm x 200 cm). Lukisannya menampilkan tumpukan buku yang berserak dengan warna coklat lusuh. “Meskipun Wisnu menggunakan objek yang realis, namun ia menggunakan gaya melukis yang ekspresif. Ia mampu membuat kita berpikir ulang tentang buku berbentuk cetak mulai tergantikan dengan adanya gawai,” ungkap Miftahul Khairi, seorang pengunjung yang juga mahasiswa jurusan Pengkajian Seni Rupa ISI Yogyakarta.
Selain warna-warna gelap yang dimainkan oleh Wedhar dan Wisnu, nampak karya Yuki didominasi oleh kombinasi warna biru dan putih. Ia menggunakan cara lukis abstrak yang menuangkan ide dalam bentuk yang imajinatif. Ia menuangkan pengalaman pribadinya ketika bersinggungan secara langsung dengan hewan di dalam kota pada karyanya. Ia menjumpai ruang hidup hewan di pinggiran sungai atau hutan yang mulai tergeser oleh pemukiman penduduk di beberapa negara. “Interaksi antara manusia dengan makhluk hidup lainnya di daerah urban menjadi hal menarik jika diamati,” ujar Ewo, sapaan akrab Yuki Agriardi.
Pada lukisan pentathych yang berjudul “Right Space Wrong Place” (2016, tinta aklirik dan vinyl di atas kanvas, @ 100 cm x 145 cm), ia menyapukan kuas untuk menghasilkan bentuk menyerupai ilalang atau rumput berwarna biru yang tersapu angin. Kanvas bagian bawah berwarna biru pekat, menuju bagian atas, warna biru lebih banyak bercampur dengan warna putih. Ilalang tersebut tampak seperti melayang ke awan. Uniknya, di balik rimbunnya ilalang, ada bagian tubuh hewan seperti tangan kera, huruf kapital, dan berbagai jenis burung. Kita seolah diajak untuk menikmati padang ilalang sekaligus bermain petak umpet.
Ewo menggunakan teori biofilia yang dicetuskan oleh Edward O. Wilson. Sebuah aliran lukisan berdasar pada lingkungan hidup yang ia gunakan untuk membuat berbagai rangkaian lukisan sejak 2009. “Ada semacam keinginan dari manusia untuk selalu menempatkan alam di dalam ruang hidupnya,” ungkap Ewo. Ia menempatkan hewan di antara ilalang dengan cara lukis yang berlapis-lapis, serta bermain dengan skala. Menurut pemahamannya, relasi antara manusia dengan lingkungan hidup bisa menjelaskan tentang eksistensi manusianya. Relasi tersebut juga bisa dimaknai sebagai cara manusia memperlakukan lingkungan, begitu pula sebaliknya. [Khumairoh]