“Dalam praktik untuk membebaskan perempuan dari penindasan dibutuhkan pemahaman landasan teoritis yang tepat,” ucap Mahen selaku moderator dalam diskusi bertajuk “Asal Usul Penindasan Perempuan” yang digelar pada Selasa (14-2) malam di Ngeban Cafe. Diskusi tersebut merupakan salah satu dari rangkaian diskusi yang diselenggarakan oleh Kongres Politik Organisasi Perjuangan Rakyat Pekerja Yogyakarta. Diskusi ini diadakan dalam rangka menyambut Hari Perempuan Internasional yang jatuh pada 8 Maret dengan menghadirkan dua orang pembicara.
Pembicara pertama dengan nama pena Jumaynah, anggota Lingkar Studi Sosialis, menuturkan terdapat dua pandangan dalam memahami asal-usul penindasan perempuan, yaitu determinisme biologis dan teori evolusi yang dikemukakan oleh Lewis Henry Morgan. Determinisme biologis mengatakan bahwa bentuk alamiah manusia menjadi penyebab kedudukan perempuan dan laki-laki tidak setara. Bentuk alamiah ini dapat dipahami seperti, perempuan memiliki vagina dan payudara, sedangkan laki-laki memiliki penis. “Perempuan dianggap sebagai makhluk yang lemah karena bentuk alamiahnya yang seperti itu, sedangkan laki-laki dianggap kuat dengan bentuk alamiah yang sudah sedemikian rupa.”
Merujuk pada teori evolusi yang dikemukakan oleh Lewis Henry Morgan, Jumaynah berpendapat bahwa penindasan terhadap perempuan tidak dapat terlepas dari perkembangan kehidupan masyarakat. Tahapan perkembangan masyarakat terbagi menjadi tiga tahap. Tahap kebuasan, barbarisme, dan peradaban.
Pada tahap kebuasan, manusia masih tergantung pada alam dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Mereka mengumpulkan makanan dari alam, seperti biji-bijian, buah-buahan, kacang-kacangan, dan umbi-umbian. Pada perkembangan berikutnya, manusia mengumpulkan makanan dari laut. Di akhir tahap kebuasan, aktivitas berburu mulai berkembang, ditandai dengan munculnya perkakas kerja yang terbuat dari batu dan kayu.
Selain itu, dalam tahap kebuasan, kedudukan perempuan dan laki-laki setara. Hal ini dapat dilihat dari hubungan sosial dan seksual antara perempuan dan laki-laki. Tidak ada pembagian kerja berdasarkan jenis kelamin. Laki-laki dan perempuan mengumpulkan makanan secara bersama-sama, bahkan kaum perempuan juga ikut berburu. Kepemilikan hasil kerja secara komunal atau digunakan untuk kepentingan bersama. Masyarakat bebas melakukan hubungan seksual dengan siapa saja. Namun dibatasi agar tidak berhubungan seksual dengan orang yang masih satu garis keturunan dengan ibu. Hubungan seksual pun harus disepakati bersama antara kedua belah pihak, tanpa adanya paksaan.
Tahap barbarisme ditandai dengan munculnya pertanian, peternakan, kerajinan seperti tembikar, dan penemuan mata bajak. Pada tahap ini dikenal adanya kepemilikan pribadi atas kekayaan yang diperoleh dari pertanian dan peternakan. Kepemilikan pribadi dan kepemilikan kerja dijaga melalui sebuah institusi yang bernama keluarga. Meningkatnya hasil produksi pun membutuhkan tenaga kerja yang banyak. Oleh karena itu, pada tahap ini kedudukan perempuan dan laki-laki mulai berubah. Peran perempuan difokuskan sebagai alat untuk menghasilkan tenaga kerja baru atau reproduksi dan mengasuh anak. Sedangkan laki-laki bertugas untuk bekerja.
Tahap terakhir adalah peradaban. Dalam tahap ini, muncul spesialisasi dalam pekerjaan, pemisahan desa dengan kota, produksi barang dagangan sudah semakin maju, dan adanya kelas sosial. Pada tahap ini, kebutuhan akan tenaga kerja semakin meningkat. Meningkatnya kekayaan yang dimiliki berbanding lurus dengan meningkatnya status sosial laki-laki. Kedudukan laki-laki pun semakin mendominasi karena hak waris berada di tangan lelaki itu sendiri. Terjadi revolusi hubungan gender pada tahap ini. Kesenjangan antara kedudukan perempuan dan laki-laki semakin terlihat.
Pembicara kedua, Pipin Jamson, Asisten Peneliti PolGov, Research and Publication Departemen Politik dan Pemerintahan UGM, mengafirmasi teori evolusi yang disampaikan Jumaynah. Penindasan perempuan masa sekarang ada hubungannya dengan sejarah perkembangan manusia. Namun, ilmu sejarah yang dipelajari di sekolah tidak mampu menjelaskan bagaimana relevansi teori evolusi dengan kehidupan masyarakat sekarang. Selain itu, selama ini manusia hanya tahu sekarang teknologi sudah maju, tetapi lupa darimana teknologi berasal. “Ada rantai yang terputus, selama ini tahu-tahu kita sudah berada di lingkungan yang seperti ini,” imbuhnya.
Menanggapi diskusi tersebut, salah satu peserta, Yunita Maran, menceritakan tentang posisi perempuan Papua pada umumnya di keluarga. Perempuan tidak hanya sebagai alat reproduksi, tetapi dipakai sebagai alat untuk menghasilkan mas kawin. Jadi, ia akan ditukarkan dengan barang dan pihak laki-laki memiliki kekuasaan atas ia. Saat sudah ditukarkan dengan barang, maka ia dianggap lunas. Sehingga apabila laki-laki melakukan Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT), pihak perempuan tidak bisa ikut campur. “Oleh karena itu tingkat KDRT di Papua tinggi dan banyak gerakan-gerakan yang menolak alasan mas kawin untuk menindas kami,” terang Nita. [Nizmi Nasution dan Pungky Erfika Suci]
2 komentar
[…] Secara terminologis, gender pay gap atau kesenjangan upah gender dapat didefinisikan sebagai kesenjangan antara upah yang dibayarkan kepada laki-laki dan perempuan. Pada umumnya, istilah ini mengacu kepada median upah tahunan seluruh wanita yang bekerja penuh waktu sepanjang tahun, dibandingkan dengan upah laki-laki dengan metode yang sama 1Vagins, Deborah J. The Simple Truth About the Gender Pay Gap.. Beberapa faktor dari kenyataan kesenjangan tersebut adalah segregasi pekerjaan, bias terhadap pekerja perempuan, dan diskriminasi upah 2 Balairung Press. (2017, 17 Februari). Membicarakan Asal Usul Penindasan Perempuan. […]
[…] interseksionalitas yaitu titik temu/persimpangan yang dialami tiga orang perempuan feminis terhadap penindasan, dominasi dan diskrimnasi. Perempuan menjadi salah satu kelompok yang mendapat perhatian khusus […]