Opini yang berjudul Di bawah Rezim UKT: Antara Tantangan dan Dilema memiliki beberapa keambiguan yang mendasar. Keambiguan tersebut—secara tidak langsung— merupakan secuil gambaran betapa sesatnya gerakan mahasiswa UGM hari ini. Pertama, adanya usaha untuk memisahkan gerakan mahasiswa yang direpresentasikan oleh BEM KM dan gerakan non-BEM KM. Pemisahan tersebut merupakan bukti konkret bahwa aktivis mahasiswa tengah buta terhadap konteks kesejarahan, sekaligus sibuk untuk membedakan massa yang menjadi oposisi dan proposisi. Celakanya, larut dalam keterpecah-belahan yang telah diromantisir selama ini. Kedua, upaya penitikberatan pada permasalahan UKT sebagai isu yang lebih penting dibandingkan isu-isu yang lain. Hal tersebut mendatangkan konsekuensi kecil tapi sangat berarti, yaitu menjauhkan massa dari isu selain UKT untuk bisa menjadi bagian social supporting system bagi gerakan.
Selanjutnya, kesalahkaprahan dalam memandang normalisasi yang hanya datang dari institusi di luar gerakan dan melupakan “kegagapan” besar-besaran yang terjadi di dalam tubuh gerakan. Kegagapan ini justru diilhami sebagai sesuatu yang normal oleh para anggota, dimana ke-normal-an ini tidak lagi berasal dari tipu-daya rektorat melainkan dari internal gerakan itu sendiri. Sadar atau tidak, kultur berpolitik mahasiswa hari ini telah jauh dari daya nalar-berpikir-kritis yang konsisten. Dengan kata lain, hanya berangkat dari reaksi (afeksi) yang biasanya bersifat momentual dan penuh kesementaraan. Berangkat dari latarbelakang tersebut, tulisan ini hendak meng-counter cara pandang Bandrul Arifin yang tampak ahistoris dan mengada-ada ketakutan tak-beralasan, serta menawarkan satu titik mawas bagi gerakan mahasiswa di UGM.
KM-UGM : Sebuah Titik Pijak
Aliansi gerakan mahasiswa mangadakan forum untuk menentukan nasib masa depan KM-UGM, termasuk mendebat kinerja representatif BEM KM pada Kamis (1/12) malam. Forum mempertanyakan kebermanfaatan KM-UGM selama ini, dan mengusulkan agar Kongres Luar Biasa (KLB) diadakan. Berbeda dengan Kongres normal dimana hak suara hanya ada di Senat dan Presiden Mahasiswa, KLB mampu memberikan hak suara bagi seluruh peserta Kongres. Mahasiswa yang hadir saat itu sepakat bahwa harus ada perubahan terhadap lembaga universitas tersebut, perubahan pada sistem dan cara kerjanya.
Secara garis besar, kejayaan KM-UGM sebagai representasi gerakan mahasiswa di UGM berakhir sejak tahun 1994. Saat itu, Kongres Mahasiswa IV menetapkan Senat Mahasiswa (dan juga BEM) dipilih melalui mekanisme Pemilihan Raya Mahasiswa yang diambil lewat basis proporsional tiap Fakultas. Mekanisme tersebut mendatangkan kecaman dari para aktivis UKM dan gerakan mahasiswa lainnya di tingkat kampus. Pada tahun itu, UKM bahkan menyatakan keluar dari bagian Senat Mahasiswa. Selain itu, muncul pula Dewan Mahasiswa sebagai model tandingan KM-UGM sebelum pada akhirnya bubar di tahun 2000-an. Keluarnya UKM dari Senat Mahasiswa mendatangkan satu konsekuensi penting yaitu berkurangnya suplai sumber daya mahasiswa [aktivis] non partai/fakultas.
Iwan Samariansyah (2007) mengakui bahwa pembentukan KM-UGM pertama kali tidak bisa dipisahkan dari peran aktivis non-formal, yaitu mereka yang berasal dari Gelanggang Mahasiswa. Para aktivis tersebut merupakan eks Dewan Mahasiswa yang kemudian berdiri sendiri-sendiri dengan nama Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM). Tersebutlah dua mentor yang selalu menggagas Forum Komunikasi Mahasiswa UGM yakni Taufik Rahzen yang berasal dari Studi Klub Teknosofi dan M. Thoriq dari Redaksi Pers Mahasiswa UGM Majalah Balairung. Saat itu, UKM menyumbang 12 orang dalam keanggotaan Senat Mahasiswa, dan 42 orang lainnya merupakan para Ketua Umum Senat Mahasiswa Fakultas dan Ketua Umum BPM Fakultas.
Kendati keluar dari Senat Mahasiswa, partisipasi UKM dalam agenda kultural maupun politik tidak lah menurun. Satu hal yang perlu digarisbawahi, ada dua kekuatan besar lain yang turut menopang militansi gerakan yaitu pusat kegiatan aktivis Yogyakarta di Gelanggang Mahasiswa dan dukungan sosial-moral yang diberikan oleh. Prof. Koesnadi Hardjasoemantri. rtinya, gerakan mahasiswa UGM terbangun dengan segi internal yang mapan melalui diskusi dan pertemuan yang intens di Gelanggang Mahasiswa. Pun, pada segi eksternal yang matang lewat dukungan yang datang dari luar tubuh gerakan. Tidak menampik bahwa ideologi antar organ berbeda-beda, akan tetapi dapat “diikat” oleh satu keresahan yang sama.
Salah satu kegagalan yang dilakukan oleh gerakan mahasiswa saat itu adalah regenerasi! Mereka melupakan bahwa nafas pergerakan harus lah dirawat, tidak sekadar “jaya” bagi angkatannya sendiri. Kegagalan ini disebabkan karena “massa” diposisikan sebagai kuantifikasi capaian yang berhasil direngkuh selama propaganda 98 dijalankan. Bukan sebagai subjek yang sewaktu-waktu bisa berubah gagasan politiknya. Persoalan dianggap telah selesai ketika rezim Soeharto turun, sehingga tidak ada lagi urusan untuk “mendidik” massa yang telah mereka kumpulkan. Kegagalan regenerasi ini utamanya terjadi pada gerakan mahasiswa non-Tarbiyah.[i]
Tak bisa dipungkiri, pasca Reformasi merupakan fase paling krusial bagi KM-UGM. Pada kongres tahun 1998, struktur kelembagaan Senat Mahasiswa tidak lagi dipilih dengan basis fakultas, melainkan basis partai. Sistem kepartaian ini dianggap efektif sebab telah dijalankan pada Pemilihan Raya tahun 1999.[ii] BEM KM menjadi lembaga eksekutif murni yang dipilih melalui Pemilihan Raya secara langsung dan mulai memperkenalkan istilah Presiden Mahasiswa untuk pertama kali. Wewenang Kongres Mahasiswa saat itu hanya mengesahkan serta melantik Ketua BEM terpilih. Sistem Pemilihan Raya pertama kali dimenangkan oleh partai Bunderan dengan kandidatnya Huda Tri Yudiana dari Fakultas Teknik.
Pada Kongres Mahasiswa tahun 1999, muncul pewacanaan untuk membubarkan KM-UGM dan menggantinya dengan sistem yang baru. Kongres tersebut menghasilkan dua poin utama; 1). sistem kepartaian dalam Pemira tetap dipertahankan, dan 2). kepengurusan di tahun berikutnya disebut sebagai era “Transisi”. Legislatif transisi berubah nama menjadi Dewan Perwakilan Mahasiswa (DPM) dan Eksekutif Transisi bernama BEM-UGM. Sistem tersebut menetapkan penguatan BEM sebagai entitas yang benar-benar powerful sebagai lembaga mahasiswa.
Kondisi signifikan baru terjadi pada tahun 2006. Sistem legislatif menyepakati adanya sistem bikameral, dimana Dewan Perwakilan Fakultas (DPF) dipilih melalui model pemilihan langsung. Hal ini merupakan bentuk akomodasi kelompok non-partai untuk berpartisipasi dalam KM UGM. Pada prosesnya, DPF lebih banyak melakukan penjaringan aspirasi dan melakukan kajian kemahasiswaan, jauh dari perannya sebagai lembaga non-partai yang turut mengawal isu politik. Oleh karena itu, DPF dibubarkan dan format kelembagaan dikembalikan kepada Senat Mahasiswa pada kongress 2011 dengan dua komponen utama, Partai Mahasiswa dan Perwakilan Fakultas.[iii]
Benar bahwa hingga tahun 2011, KM-UGM didominasi oleh mahasiswa yang berasal dari gerakan Tarbiyah. Setiap tahun, Kandidat Presiden Mahasiswa yang diusung oleh gerakan tersebut selalu menang dengan suara mayoritas datang dari Fakultas Eksakta. Berbanding terbalik dengan Fakultas Non-Eksakta yang cenderung sepi partisipasi. Permasalahan rendahnya partisipasi mahasiswa UGM terhadap Pemilihan Raya sudah menjadi lagu lama, khususnya sejak penetapan proses Pemilihan Raya itu sendiri. Kondisi demikian berlangsung hingga puluhan tahun dan tidak ada geliat gerakan non-Tarbiyah untuk mengubahnya.
Baru lah pada tahun 2012, keadaan berganti dengan terpilihnya Giovanni van Empel yang merupakan kandidat dari Future Leader Party (FLP) menjadi Presiden Mahasiswa. Sinyo (nama panggilan Giovanni) berhasil menangkap isu yang sedang hangat di kalangan aktivis mahasiswa dan kepiawaiannya menggerakkan berbagai elemen gerakan mahasiswa lainnya. Ia juga terlibat aktif dalam gerakan Tolak Komersialisasi Kampus. Di bawah kepemimpinannya, BEM KM aktif dalam melakukan demonstrasi dan diplomasi dengan pihak rektorat untuk meninjau kembali status UGM sebagai Perguruan Tinggi Badan Hukum Milik Negara (PTBHMN).
Kondisi tersebut tidak bertahan lama. Tahun 2013, Partai Bunderan berhasil memenangi Pemilihan Raya mahasiswa dengan strategi kampanye yang berbeda. Menurut Yanuar Rizki, Presiden Mahasiswa 2013, ia dan teman-temannya sepakat untuk langsung menyerang kepada Pemerintah Pusat. Baginya, diplomasi dengan pihak rektorat pasti bermuara pada jalan buntu karena wewenang ada di tingkat pusat.[iv] Selain itu, beberapa gerakan mahasiswa di UGM sendiri merasa tidak puas dengan kinerja BEM KM dan mengakibatkan terpecahnya konsolidasi massa yang telah Sinyo bangun.
Apa yang telah dilakukan oleh Future Leader Party, di luar prediksi, membangkitkan partai mahasiswa lainnya untuk dapat mengakuisi KM-UGM. Jika Sinyo membangun simpati lewat “sosoknya” yang terlibat aktif di berbagai gerakan kemahasiswaan, pada tahun 2014, enam partai mahasiswa memilih berkoalisi untuk mengalahkan kembali Partai Bunderan. Pilihan ini diambil dengan beberapa alasan yang mendasar : 1). Menguatkan kembali basis massa non-Bunderan yang sempat dibangun oleh FLP, 2). Memperjelas pembedaan massa yang termasuk dalam kelompok partai (yang terlibat dalam Partai Mahasiswa non-Bunderan) dan non-partai (aktivis mahasiswa dan non-aktivis). Strategi tersebut berhasil memenangkan Adhitya Herwin sebagai Presiden Mahasiswa tahun 2014.[v] Keadaan kembali terulang, basis massa yang telah dihimpun oleh koalisi 6 partai pecah dan mengantarkan Partai Bunderan kembali menang dalam Pemilwa selama tiga kali berturut-turut sejak tahun 2015 hingga kini.
Auviar Rizky Wicaksanti (Ghembrang)
Seorang Penghuni Ruang Gelap yang hanya berteman dengan teks, teh dan alunan musik Portishead.
[i] Gerakan Tarbiyah justru menguatkan basis massanya melalui pembentukan organisasi Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) dan menerapkan sistem kaderisasi berjenjang yang kuat dan ketat. Sistem ini lah yang tidak ditemukan di gerakan non-Tarbiyah yang hanya mengandalkan pola diskusi sembunyi-sembunyi.
[ii] Husin, Lutfhfi Hamzah. Gerakan Mahasiswa sebagai Kelompok Penekan (Keluarga Mahasiswa UGM dari Masa Orde Lama hingga Pasca-Reformasi). (Yogyakarta, Polgov, hlm. 121)
[iii] Mardhatillah Umar, Rizky. Ibid.
[iv] Berdasarkan hasil wawancara dengan Yanuar Rizky Pahlevi, Presiden Mahasiswa 2013, tanggal 30 September 2014.
[v] Berdasarkan hasil ringkasan wawancara dengan Tondy, Mentri Koordinator Kajian Publik Mahasiswa 2014, 18 September 2014.