Pada Kamis (01/12), Keluarga Mahasiswa (KM) UGM menginisiasi forum jajak pendapat mengenai situasi KM UGM. Forum ini juga dihadiri BEM KM, Senat KM, lembaga tingkat fakultas, dan himpunan jurusan. Dalam forum tersebut, banyak mahasiswa yang mengemukakan keresahan bahwa KM UGM kurang representatif dan kurang berdampak ke fakultas dan jurusan. Keresahan-keresahan tersebut menandakan jauhnya KM UGM dengan mahasiswa. Dalam kesempatan ini, BPPM Balairung mencoba menggali arsip untuk menemukan akar permasalahan ini.
Lembaga kemahasiswaan di UGM punya sejarah panjang. Pada era ‘70-an, lembaga itu disebut dengan Dewan Mahasiswa (Dema). Pada era Dema, fungsi eksekutif-legislatif dipisahkan dengan tegas. Organisasi induknya sendiri bernama BKM (Badan Koordinasi Mahasiswa). Dema berfungsi sebagai eksekutif dan Majlis Mahasiswa (MM) sebagai legislatif.[1] Di bawah koordinasi MM pusat, ada Komisariat Dema (Kodema) di tiap-tiap fakultas. Seluruh kegiatan di tingkat universitas ada di bawah koordinasi Dema. Pada waktu itu, Dema mempunyai basis yang kuat di kalangan mahasiswa. Menurut Majalah BALAIRUNG, gerakan yang dimotori Dema selalu mendapatkan dukungan dari mahasiswa.”[2] Tidak berhenti sampai di situ, Dema juga disebut mampu menerjemahkan apa yang disebut sebagai Student Interest, Student Right, dan Student Welfare.
Menurut laman Senat Mahasiswa KM UGM dan BEM KM UGM, pada 1978 terjadi demontrasi besar-besaran menolak pemilihan kembali Soeharto sebagai presiden. Hal ini kemudian memicu reaksi dari pemerintah pusat. Dalam kondisi yang tidak stabil pascademonstrasi, pemerintah mengeluarkan kebijakan Normalisasi Kehidupan Kampus (NKK) dan Badan Koordinasi Kemahasiswaan (BKK). Mengutip dari Majalah BALAIRUNG:
Tanggal 21 Januari 1978 turun Keputusan Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Koptkamtib) No. SKep/02/Kopkam/1978 tentang pembubaran Dewan Mahasiswa dan Senat Mahasiswa seluruh Indonesia. Setelah soal kemahasiswaan ini dikembalikan Kopkamtib kepada Menteri P&K, lahirlah SK dan Instruksi tentang NKK (0156/U/1978) dan pengaturan Badan-badan Kemahasiswaan (002/inst/DJ/1978). Menyusul kemudian pada tahun 1980 turun SK Mendikbud 0230/U/1980 yang isinya memperkuat struktur BKK.[3]
Turunnya keputusan tersebut mengharuskan struktur lembaga kemahasiswaan mengikuti instruksi pemerintah. BKK menggantikan DEMA yang diketuai oleh Pembantu Rektor III Bagian Kemahasiswaan. Sementara itu, mahasiswa dikonsentrasikan di tingkat fakultas di bawah Senat Mahasiswa (SEMA) dan Badan Perwakilan Mahasiswa (BPM) tingkat fakultas tanpa adanya pola koordinasi dan komunikasi di tingkat universitas.[4]
Mengenai NKK-BKK, Daoed Joesoef, Menteri P&K (saat ini disebut Mendikbud) saat itu, menyatakan mahasiswa hanya boleh berpolitik secara konseptual. Sedangkan bila berpolitik dalam artian aksi dan kebijakan, berarti mengingkari hakikat kemahasiswaan.[5] Mahasiswa yang ikut andil dalam politik yang “praktis” disebut Joesoef sebagai biang keonaran serta kumpulan sindikat. Joesoef juga memberlakukan transpolitisasi. Artinya, mahasiswa yang ingin berpolitik diperbolehkan asal berada di luar kampus. Apa yang diinginkan Daoed Joesoef adalah mengembalikan mahasiswa ke bangku kuliah dan menyiapkan diri sebagai man of analysis.
Kebijakan NKK-BKK menyeret gerakan mahasiswa ke level terendahnya. Menurut hasil diskusi PRISMA (1987) dalam Majalah BALAIRUNG, terjadi kemlempeman yang terjadi karena adanya pergeseran artikulasi dalam kegiatan mahasiswa, dari aksi massa menjadi aksi informal. Dari politik praktis menjadi politik teoretis.[6] NKK-BKK kemudian mendapat banyak kritik. Kritikan itu bahkan datang dari Menteri Negara Pengawasan Pembangunan dan Lingkungan Hidup 1983-1993, Emil Salim. Ia menyampaikan dalam kondisi yang sudah stabil ini, NKK dan BKK perlu dihapuskan. Kalangan mahasiswa perlu diberi kebebasan melakukan aktivitas organisasi di kampus.[7]
Keorganisasian mahasiswa dalam masa NKK/BKK terpecah-pecah. Mahasiswa hanya dikonsentrasikan dalam fakultas. SEMA atau BPM dibentuk di fakultas-fakultas, dan bertanggung jawab pada BKK. Dalam perkembangannya, SEMA dan BPM digabungkan dengan BKK membentuk Forum Komunikasi SEMA BPM.[8] Forum ini kemudian juga merangkum UKM, akan tetapi tidak membawahinya. Forum Komunikasi SEMA BPM pun kemudian berubah lagi menjadi Senat Mahasiswa (SM) pada 1990. Namun, pada tahun yang sama, pemerintah mengeluarkan SK Mendikbud No. 0475/U/1990 tentang organisasi mahasiswa di perguruan tinggi. Peraturan inilah yang memunculkan Senat Mahasiswa Perguruan Tinggi (SMPT) di perguruan-perguruan tinggi di Indonesia.
SMPT menjadi momok bagi mahasiswa. ITB dengan tegas menolak SMPT, dan SMPT dibekukan di Unair. Sementara di UGM, SMPT menuai pro dan kontra. Berdasarkan Majalah Balairung No.18/Th. VII/1993, mereka yang pro berpendapat bahwa mahasiswa berkemungkinan untuk menyesuaikan SMPT. Sementara, mereka yang kontra berpendapat SMPT adalah perpanjangan tangan rektor. Selain itu, dalam SMPT, SM membawahi UKM. Pengaturan ini menyebabkan dikotomi antara wakil fakultas dan wakil UKM. Wakil fakultas dipilih melalui Pemilu, sedangkan wakil UKM dipilih melalui pengangkatan oleh internal UKM. Selain itu, pengurus UKM juga mengkhawatirkan bertambahnya jalur birokrasi jika SM membawahi UKM. Benturan-benturan ini membuat dilakukannya sebuah kompromi yang menghasilkan KM UGM pada tahun 1992. Di dalam KM, SM masih menjadi pemegang kekuasaan tertinggi dan UKM memiliki otonomi.[9]
Kemudian, Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) dibentuk guna mengimbangi fungsi legislatif yang diemban SM. Padahal, fungsi eksekutif sebelumnya diemban oleh UKM. Ini membuat BEM hanya melaksanakan program-program Garis-garis Besar Haluan Kerja (GBHK). Program-program tersebut bersifat elitis, seperti seminar, panel, diskusi, penelitian, dan sebagainya. Sementara, UKM melaksanakan kegiatan-kegiatan populis, misalnya Pekan Olah Raga Dies, pentas seni, dan Gadjah Mada Fair.[10]
Perbedaan-perbedaan inilah yang tampaknya menjadikan BEM dan SM terkesan jauh dari mahasiswa. Dapat kita pahami pula bahwa kelahiran KM UGM sendiri adalah usaha kompromi terhadap keputusan adanya SMPT. Posisi KM UGM yang sendiko dawuh dan lunak ini menuai banyak oposisi. Mahasiswa yang kontra SMPT dan kritis terhadap keadaan menentang posisi KM UGM. Hal ini yang memicu berbagai konflik dan perpecahan sepanjang sejarah berdirinya KM UGM hingga sekarang. [Unies Ananda Raja, Mahandra Raditya]
[1] Lihat Majalah BALAIRUNG NO. 18/TH. VII/1993 hlm. 33
[2] Ibid
[3] Lihat Majalah BALAIRUNG No. 9/TH II/1988 hlm. 41
[4] Lihat http://bemkm.ugm.ac.id/profil/sejarah/
[5] Ibid
[6] Ibid
[7] Ibid
[8] Lihat situs resmi Senat KM UGM
[9] Lihat Majalah Balairung No.18/Th. VII/1993 halaman 31 — 32
[10] Ibid