“Permasalahan utama dari Badan Eksekutif Mahasiswa Keluarga Mahasiswa (BEM KM) UGM adalah representasinya,” ucap Fajar, salah satu peserta kongres KM UGM. Hal itu ia sampaikan dalam Kongres KM UGM keempat (20/12), saat forum membicarakan masalah BEM KM. Memperjelas pernyataan Fajar, Muhammad Hikari, mengatakan bahwa masalah ini terjadi karena minimnya peran representasi dari tiap fakultas. “Komponen fakultas tidak dihadirkan ditataran universitas secara nyata,” tambah mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (Fisipol) ini.
Untuk mengatasi masalah representasi tersebut, Joko Susilo berpendapat bahwa pengiriman delegasi yang dapat menampung aspirasi seluruh elemen-elemen di Fakultas dapat dilakukan. Maka dari itu, mahasiswa yang akrab dipanggil Josu ini menawarkan sebuah mekanisme dengan dibentuknya tim transisi. Tim ini sendiri beranggotakan satu presiden mahasiswa terpilih, satu wakil senat mahasiswa, sembilan belas wakil keluarga mahasiswa fakultas, dan satu perwakilan dari forum komunikasi mahasiswa gelanggang.
Lebih lanjut, Josu mengatakan bahwa tim transisi akan dibentuk tanpa label presiden mahasiswa, Senat KM, maupun BEM KM. “Tim ini berfungsi untuk mempersiapkan regulasi mekanisme baru yang lebih representatif,” ujar Josu. Regulasi baru tersebut, ia jelaskan dapat terbentuk dengan membuka dialog kepada seluruh entitas di level himpunan mahasiswa Jurusan dan unit kegiatan mahasiswa terkait aspirasi format kelembagaan KM UGM dalam jangka kerja terbatas.
Kendati demikian, beberapa mahasiswa berpendapat tindakan tersebut mengakibatkan terjadinya vacuum of power, karena peran KM UGM yang seolah ditiadakan. Retas Aqabah, mahasiswa Fakultas Teknik, mengatakan bahwa keadaan serupa juga pernah terjadi di Fakultasnya. Hal itu bermula ketika BEM dan Majelis Permusyawaratan Mahasiswa (MPM) Teknik dirasa tidak merepresentasikan mahasiswa teknik. Sehingga, memicu adanya vacuum of power di Fakultas Teknik selama bulan Desember 2014 hingga Februari 2015.
Pada akhirnya, vacuum of power tersebut menimbulkan kondisi dimana peran pelayanan dan pergerakan mahasiswa tidak berjalan. Akibatnya, peran BEM dan MPM Teknik sebagai media penghubung antara mahasiswa dengan dekanat justru dirasa masih dibutuhkan. “Apapun itu namanya, sistem yang dapat mempersatukan mahasiswa secara keseluruhan haruslah ada,” pungkas Retas.
Menanggapi kekhawatiran itu, Josu mengatakan bahwa hal tersebut dapat diatasi dengan pengubahan sistem koordinasi saat ini menjadi konfederasi. Mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Politik ini, mengatakan bahwa konfederasi sendiri terdiri dari sembilan belas pimpinan fakultas Keluarga Mahasiswa UGM. Kondisi vacuum of power yang ditakutkan, menurut Josu tidak akan terjadi dengan pengambilalihan fungsi kelembagaan KM UGM oleh konfederasi.
Josu menambahkan bahwa, kedudukan konfederasi akan setara dengan tim transisi yang akan menjalankan fungsi koordinatif sekaligus social movement. Baginya, keharusan untuk pembentukan konfederasi merupakan refleksi dari gagalnya usulan pembentukan aspirasi kolektif kolegial, yang mencuat dua tahun silam. “Berkaca dari hal tersebut, tim transisi akan hilang kabarnya jika masih mempertahankan model KM dan senat UGM,” ucapnya.
Paradhita Zulfa, mahasiswi Biologi angkatan 2012 juga menyepakati dengan adanya tim transisi, tetapi dengan beberapa persiapan. Mahasiswi yang biasa dipanggil Ara ini menggarisbawahi kondisi awal kepengurusan yang akan dihadapi nantinya. Hal ini diakibatkan karena setiap organisasi fakultas tentunya akan mempersiapkan program kerjanya masing-masing di awal tahun. Namun Ara mengatakan, meski tim transisi berhasil mengondisikan situasi selama dua sampai tiga bulan, kongres istimewa harus tetap diadakan di pertengahan tahun. “Hal tesebut dilakukan untuk menyepakati kembali sistem yang kita inginkan secara matang,” ujar Ara.
Kendati demikian, usulan pembentukan tim transisi belum disepakati sepenuhnya oleh forum. Pembahasan lebih lanjut mengenai gagasan ini sendiri, akan dilakukan pada kongres KM di hari keempat (21/12) mendatang. [Bernard Evan & Rosalina Woro Subektie]