Kamis (17/11) pukul 11.00 terlihat pintu depo samping rektorat masih terbuka. Padahal menurut ketentuan, lewat jam sepuluh, depo sudah harus dikunci. Masih terbukanya depo memberi peluang bagi pemulung untuk masuk. Sampah yang sudah terpilah menurut jenisnya menjadi berserakan lagi karena pemulung mengobrak-abrik sampah. Kondisi ini menunjukkan pengelolaan sampah masih belum baik, meski UGM sudah mendeklarasikan diri sebagai pelopor swakelola sampah sejak tahun 2014.
Nurudin Basyori, Kepala Seksi Jalan, Pertamanan, Persampahan, dan Pemakaman, berharap dengan adanya deklarasi itu, UGM dapat menjadi percontohan dalam pengolahan sampah secara mandiri. Bentuk keseriusan UGM dalam mewujudkan swakelola sampah adalah dengan pendirian Pusat Inovasi Agro Teknologi (PIAT) pada tahun 2015. PIAT berfungsi sebagai tempat pengolahan sampah, baik organik maupun anorganik.
Walaupun telah memiliki PIAT, pengelolaan sampah di UGM belum berjalan dengan baik. Hal ini terjadi karena UGM tidak memiliki aturan resmi terkait pengelolaan sampah. Meski belum memiliki aturan resmi, Nurudin menjelaskan bahwa sudah ada imbauan terkait prosedur pengiriman sampah ke depo. “Sebelum sampah dikirim ke depo, pihak fakultas diharapkan sudah memilah sampah berdasarkan jenisnya,” jelas Nurudin. Akan tetapi, imbauan ini seringkali tidak dipatuhi petugas kebersihan fakultas, sehingga masih didapati banyak sampah tercampur di depo.
Selain pemilahan, kendala lain yang muncul berkaitan dengan jadwal pembuangan sampah dari fakultas ke depo. Direktorat Aset UGM mengimbau agar sampah dari fakultas dibuang ke depo sebelum jam sepuluh pagi. “Kalau sampah dibuang melebihi jam yang ditetapkan, sampah tak terangkut karena truk sudah lewat,” jelas Nurudin. Namun Jito, salah seorang petugas kebersihan di Fakultas Kedokteran Hewan, mengaku tidak mengetahui aturan tersebut. “Saya belum mendapat sosialisasi dari Universitas tentang aturan itu,” jelasnya. Imbasnya, petugas kebersihan yang kurang paham mengenai aturan ini, membuang sampah ke depo melebihi jam yang ditentukan. Keterlambatan pembuangan menyebabkan penumpukan sampah di depo. Menurut Aprit, pengemudi truk sampah UGM, penumpukan sampah ini akan mengundang pemulung masuk. “Pemulung seringkali menyebabkan sampah tercecer, sehingga menyulitkan proses pengangkutan,” ujarnya.
Kurangnya sosialisasi juga menyebabkan petugas kebersihan belum paham mengenai tata kelola sampah. Misalnya, tebangan pohon yang seharusnya dipotong kecil-kecil supaya memudahkan pembuangan justru dibiarkan utuh. “Tebangan pohon yang masih utuh menyulitkan petugas pengangkut sampah,” ujar Nurudin. Kasus lain yang pernah terjadi menurut penuturan Nurudin adalah pembakaran sampah daun yang mengganggu aktivitas perkuliahan di Fakultas Teknik. Bahkan Henricus Priyosulistyo, Kepala Direktorat Aset, menyampaikan bahwa di Fakultas Farmasi pernah ditemukan penimbunan sampah dalam tanah. “Timbunan sampah mengharuskan petugas untuk melakukan pengerukan yang memakan biaya hingga ratusan juta,” ujar beliau.
Selain kurangnya sosialisasi mengenai ketentuan pengelolaan sampah, jumlah sumber daya manusia (SDM) di PIAT juga tidak mencukupi. “Hanya terdapat empat petugas yang melakukan semua proses pengolahan sampah,” jelas Septi Handayani, Koordinator Lapangan Energi dan Pengelolaan Limbah PIAT. Dengan jumlah petugas yang minim, dibutuhkan waktu yang lama untuk menyelesaikan pengolahan sampah. “Untuk proses pemilahan saja kami membutuhkan waktu setengah hari,” ujarnya. Ia menambahkan bahwa pemilahan bukanlah satu-satunya proses, masih ada proses pencacahan dengan mesin yang memakan waktu lebih lama.
Minimnya jumlah SDM juga mengakibatkan pengolahan sampah di PIAT tidak maksimal. “Dari empat truk sampah yang dihasilkan setiap hari, hanya satu truk yang diolah secara mandiri. Sampah lainnya kemudian dibawa ke tempat pembuangan akhir (TPA) Piyungan,” ujar Nurudin. Padahal pembuangan sampah ke TPA Piyungan memakan banyak biaya. “Setiap bulan UGM harus menggelontorkan dana sekitar empat belas juta rupiah untuk biaya bahan bakar dan retribusi,” jelasnya.
Lebih lanjut, Nurudin menjelaskan bahwa kurangnya SDM mengakibatkan program pengolahan sampah anorganik berhenti. “Awal beroperasi, PIAT mengolah sampah anorganik seperti botol minuman bekas, kain, dan kertas menjadi berbagai macam kerajinan,” jelas beliau. Kerajinan yang dihasilkan antara lain berupa tempat pensil, tas, dan dompet. Saat ini karena jumlah SDM yang sedikit, pengolahan sampah anorganik ini tidak lagi dilakukan.
Melihat kekurangan jumlah SDM, UGM bukannya menambah, tetapi justru mengurangi jumlah pekerja di PIAT. “Ada empat petugas yang dipindahtugaskan,” ujar Septi. Ia berpendapat bahwa UGM seharusnya memberikan solusi untuk mengatasi kekurangan SDM ini. “Jika enggan menambah SDM setidaknya UGM memperbanyak alat pengolah sampah,” ujarnya.
Selain terkendala oleh minimnya SDM, alat pengolah sampah yang tersedia sering kali tidak berfungsi dengan baik. Misalnya, alat pembuat kompos (komposter) yang kerap mengalami kemacetan. Hal ini pada akhirnya akan menghambat proses pengolahan sampah. “Pihak UGM kadang menunda pengiriman sampah karena banyaknya sampah organik yang belum terolah di PIAT,” ujar Nurudin. Selain komposter, PIAT juga memiliki insinerator yang berguna untuk membakar sampah yang tidak bisa diolah. Namun, alat ini jarang dipakai karena penggunaannya membutuhkan bahan bakar yang tidak sedikit. “Untuk satu jam pengolahan saja membutuhkan 20.000 liter solar,” tegas Septi.
Menanggapi permasalahan yang terjadi, pihak PIAT beserta Direktorat Aset mengadakan rapat koordinasi pada Jumat (25/11) pagi. Dalam rapat tersebut, Eko Wismo Winarto, dosen Sekolah Vokasi UGM, mengajukan usulan pengadaan mesin komposter baru. “Kami bisa membuat mesin komposter organik dengan modal tujuh juta,” ujarnya. Ia menjelaskan bahwa komposter itu dapat dimasukkan ke dalam truk untuk mempersingkat waktu pengolahan sampah. Beliau juga menjelaskan mengenai perlunya mengolah sampah plastik. Menurutnya jika sampah plastik bisa diolah secara maksimal, akan mendatangkan keuntungan yang besar. “Sampah plastik yang sudah dicacah akan berharga empat kali lipat dari biasanya,” ujarnya. [Abilawa Ihsan, Litalia Putri, Monica Bening, Rio Bagus]