Kongres Keluarga Mahasiswa (KM) UGM hari kelima (21/12) diawali dengan kesepakatan untuk membenahi sistem terlebih dahulu sebelum membentuk tim transisi. “Ini dimaksudkan agar kerja tim transisi lebih terarah,” tutur Aldi, mahasiswa Fakultas Hukum (FH). Masih bertempat di Ruang Sidang III Gelanggang Mahasiswa, silang pendapat kemudian terjadi antarpeserta kongres. Mereka memperdebatkan perihal bentuk organisasi yang sesuai untuk KM UGM ke depannya.
Estu, mahasiswa FH, berpandangan bahwa sistem federasi yang berlaku selama ini dirasa kurang dapat mengakomodasi suara dari fakultas. Hal ini dikarenakan federasi bersifat top-down. Aturan yang dirumuskan oleh Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) KM dan Senat Mahasiswa (SM) KM akan berpengaruh pada kebijakan lembaga mahasiswa tingkat fakultas.
Tawaran solusi datang dari Alfon, yang juga mahasiswa FH. Ia mengusulkan adanya perubahan bentuk KM menjadi konfederasi. Dalam sistem konfederasi, pemegang kedaulatan tertinggi berada di tangan fakultas. Masing-masing fakultas akan mengirimkan wakil yang dianggap representatif. “Dengan menggunakan bentuk konfederasi, suara fakultas akan lebih dapat diterjemahkan dalam KM,” ujar Fajar, salah satu peserta kongres.
Hal ini diafirmasi oleh Dipos, mahasiswa FH. Ia mengatakan bahwa pengubahan menjadi konfederasi merupakan saran yang konstruktif untuk meningkatkan kedaulatan fakultas dalam KM. Sistem konfederasi ini tidak mewajibkan pemberlakuan kebijakan lembaga mahasiswa di tataran universitas pada ranah fakultas.
Akan tetapi, Alan, Ketua SM KM UGM 2016, mengungkapkan adanya kelemahan dari sistem tersebut. “Mekanisme pengambilan keputusan dalam KM akan memakan waktu lebih lama,” jelasnya. Hal tersebut disebabkan oleh perbedaan kultur antarfakultas. Selain itu, M. Iqbal Habibi, Ketua BEM KM Fakultas Teknik, juga mengkhawatirkan adanya potensi dominasi suara dari fakultas-fakultas tertentu dalam KM.
Sementara kongres belum memiliki ujung yang jelas, M. Ardiansyah, mahasiswa Fakultas Peternakan, berharap keputusan mengenai bentuk KM nantinya tidak prematur. “Perlu adanya pengkajian terlebih dahulu terkait bentuk KM yang sekiranya tepat untuk diterapkan,” jelasnya. Tak hanya melakukan pengkajian, Mifta, perwakilan dari Fakultas Psikologi, juga mengusulkan adanya waktu untuk melakukan musyawarah dengan mahasiswa-mahasiswa fakultasnya.
Menurut Bagas, mahasiswa FH, hal tersebut dirasa penting bagi perwakilan fakultas yang menghadiri kongres hari itu. “Tanpa adanya proses komunikasi dengan mahasiswa fakultas, perwakilan yang hadir saat ini hanya akan menyuarakan pendapatnya sendiri,” jelasnya. Senada dengan Bagas, Alan mengajukan usulan pemberian waktu 2×6 bulan bagi tim khusus untuk melakukan kajian. Hal ini dimaksudkan untuk menjaring aspirasi mahasiswa di setiap fakultas.
Lebih lanjut, Alfath, Presiden Mahasiswa (Presma) terpilih, menyarankan untuk tetap menggunakan bentuk KM yang lama selama proses pengkajian berlangsung. Ia menginginkan kerjanya tetap dibantu oleh kabinet yang dibentuk melalui mekanisme rekrutmen tertutup. “Ada banyak hal yang harus diperjuangkan di BEM, saya tidak sanggup jika harus melakukannya sendiri,” ungkap Alfath. Namun, saran tersebut mendapatkan bantahan dari Joko Susilo, mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik. Josu, begitu nama panggilannya, tidak menghendaki adanya penunjukan menteri oleh Presma dan staf ahli oleh Ketua Senat Mahasiswa terpilih. “Ini ditujukan agar Presma dan Ketua Senat lebih fokus dalam penjaringan suara fakultas terkait bentuk KM ke depannya,” tegasnya. Namun, belum ada kesepakatan final dari forum perihal keberadaan kabinet dan staf ahli pada periode selanjutnya.
Polemik yang masih berlangsung ini menyebabkan adanya perpanjangan waktu Kongres KM UGM yang seharusnya ditutup pada Rabu (21/12) kemarin. Hal itu dikarenakan kongres belum menghasilkan suatu keputusan konkret. Sehingga, forum menyepakati bahwa kongres akan dilanjutkan pada Kamis (22/12).[Faizah Nurfitria dan Respati Harun]