Jumat (16/12) lalu, Badan Eksekutif Mahasiswa Keluarga Mahasiswa (BEM KM) UGM membagikan undangan Kuliah Umum Kebangsaan bersama Panglima Tentara Nasional Indonesia (TNI) Jenderal Gatot Nurmantyo. Acara tersebut memunculkan beberapa keresahan, di mana salah satunya tertuang melalui opini yang dibagikan pada hari Sabtu 18 Desember 2016 oleh akun media sosial Line BOIKOT BEM KM. Akun tersebut menyatakan bahwa Kuliah Umum Kebangsaan ini, tidak sesuai dengan semangat reformasi mahasiswa setelah masa orde baru. Hal itu tak lepas dari konteks politik masa orde baru, dimana kala itu militer sangat mendominasi dalam mengatur jalannya kehidupan sosial politik di Indonesia.
Kekhawatiran tadi, rupanya tak berhenti di ruang diskusi maya semata. Melalui Kongres KM UGM (18/12), kekhawatiran itu kembali diungkapkan setelah Ali Zaenal, Presiden Mahasiswa UGM 2016, memaparkan pertanggungjawaban laporan pelaksanaan tugas (LPT) di Ruang Sidang Tiga Gelanggang Mahasiswa. Joko Susilo, salah seorang peserta kongres menyayangkan pihak BEM KM yang tidak melaksanakan hearing  terlebih dahulu sebelum Kuliah Umum Kebangsaan diagendakan. Reliusman Dachi, peserta kongres lainnya, turut mengamini hal tersebut. âSetiap kebijakan BEM KM UGM seharusnya merupakah hasil dari keputusan bersama,â tuturnya.
Selain itu, Reli juga mempertanyakan keabsahan dari Kuliah Umum Kebangsaan ini sendiri. Menurut mahasiswa jurusan Fisika ini, setelah BEM KM melakukan pemaparan LPT, mereka seharusnya tidak memiliki kewenangan untuk menyelenggarakan acara tersebut. Merespon hal tersebut, Ali Zaenal, Presiden Mahasiswa UGM 2016, mengatakan bahwa hal itu bisa terjadi karena pada mulanya, acara ini akan dilaksanakan sebelum proses demisioner berlangung. Tetapi, karena masalah teknis, pelaksanaan kuliah ini terpaksa diundur.
Joko Susilo yang juga akrab dipanggil Josu, kembali memaparkan keberatan lainnya terkait rencana pelaksanaan Kuliah Umum Kebangsaan. Mahasiswa jurusan Manajemen Kebijakan Publik 2013 ini, mengatakan bahwa BEM KM seharusnya memberikan penjelasan terkait dasar dari pelaksanaan Kuliah Umum Kebangsaan ini. âMiliterisme merupakan isu sensitif, karena relasi hubungan militer dan mahasiswa yang sarat konflik saat masa orde baru,â ucapnya.  Ketidakpercayaan ini beralasan sebab, pengaruh militer dalam dunia pendidikan terlihat jelas saat pendidikan kewiraan dilaksanakan di berbagai perguruan tinggi pada masa Orde Baru. Sebab menurut Daniel Dhakidae dalam buku Cendekiawan dan Kekuasaan dalam Negara Orde Baru (2003), kuliah-kuliah yang berhubungan dengan kewiraan merupakan penataran dan tidak pernah menjadi kuliah dalam pengertian biasa.
Menanggapi penolakan tadi, Ali berinisiatif untuk menghubungi salah satu dosen yang menjadi panitia agenda tersebut. Baginya, inisiatif ini diambil karena keputusan pembatalan kegiatan tidak boleh dilakukan secara sepihak saja. Forum pun menyetujui keputusan tersebut dengan syarat bahwa percakapan harus didengar oleh seluruh forum melalui pengeras suara. Namun, sayang dosen tersebut tidak menjawab panggilan Ali. Setelah menemui kebuntuan, Ali pun memutuskan untuk membatalkan acara tersebut meskipun saat itu pendaftar sudah lebih dari seribu peserta. âTanpa penanggung jawab, maka Kuliah Umum Kebangsaan akan kami batalkan,â ucap Ali.
Menindaklanjuti keputusan tersebut, forum menghendaki agar pihak BEM KM melakukan press release terkait keputusan itu. Bagi forum, hal ini dilakukan sebagai syarat penerimaan LPT yang sudah dipaparkan oleh Ali. Press release itu sendiri berisi permohonan maaf, dan pernyataan untuk menolak masuknya militer dalam kampus. Kedua pernyataan itu akan dipublikasikan oleh BEM KM dalam waktu selambat-lambatnya 2×24 jam. Dengan begitu, usaha BEM KM untuk membatalkan Kuliah Umum Kebangsaan dapat terlihat secara nyata.[Bernard Evan]