Kesunyian macam apa yang dapat dimunculkan dalam keseharian kita. Dalam riuhnya perbincangan dan tren paling mutakhir di sosial media. Beni Satryo, penulis sekaligus wartawan Media Indonesia, mencoba untuk memunculkan berbagai kontradiksi tersebut dalam buku kumpulan puisinya yang berjudul Pendidikan Jasmani dan Kesunyian.
Dalam buku setebal 58 halaman ini, Ia mencoba untuk menampakkan berbagai macam kesunyian. Kesunyian dalam hidup. Kesunyian dalam romantika percintaan. Juga kesunyian di tengah riuhnya modernitas perkotaan yang penuh kegetiran.
Lantas, keragaman ini disajikan dengan berbagai sebab dan bentuk. Menjadi sebuah kota yang selalu luput dari perhatian kita. Juga mewujud sebagai rahim yang melahirkan puisi-puisinya. Sebagaimana yang tertuang dalam puisi pembuka berjudul Korintian. Atau pada kursi yang kosong di sebuah perjalanan bus malam. Kesunyian ini tidak melulu berhenti pada sebuah ratapan, tapi lebih daripada itu, kadang kala ia juga hadir sebagai sebuah lelucon satir.
Kesunyian-kesunyian ini saya tangkap ke dalam satu gagasan besar yang bermuara pada keterasingan manusia modern. Sebuah kesadaran palsu yang dibumbui oleh janji-janji manis pembangunan. Memaklumkan segala usaha dan persaingan walau terdengar konyol di telinga. Membawanya ke dalam sebuah titik reflektif, sebuah usaha pengamatan fenomenologis yang mempertanyakan ulang segala pengalaman tersebut.
Beberapa kali, Beni hadir dan berkisah tentang gaya hidup kelas menengah perkotaan. Sebuah kondisi masyarakat industrialis yang bukanlah anggota kelompok elit dalam pengertian manapun – entah dalam pengertian filosofis, estetis, kultural, ataupun politik. Kelompok masyarakat ini, meskipun begitu, bukan pula kaum ploretariat atau kelas bawah dalam arti tradisional. Dengan keadaannya yang mendua dan penuh kontradiksi ini, Beni menggambarkannya dengan sebuah sajak berjudul Sakurata,
Malam semakin tajam
merobek dompetku.Kabut dalam saku celana jeans
ku rogoh dengan mesra.Semesra kerinduan kita
yang memang mahal harganya.
Kegetiran ini hadir dalam bentuknya yang jenaka. Sebuah kontradiksi yang terpampang dan dimaklumkan begitu saja. Sebagaimana yang dijelaskan Ariel Heryanto dalam Identitas dan Kenikmatan: Politik Budaya Layar di Indonesia, bahwa untuk mencapai kenikmatan, cita-cita pribadi, dan sekaligus menegosiasikan identitas sosialnya, usaha dan model konsumsi semacam ini menjadi sangat wajar. “Malam yang merobek dompetku” dapat dimaklumkan dengan pemaknaannya atas “kerinduan kita”, dimana segala pola konsumsi di dalamnya menjadi wajar dan rasional.
Beni banyak merekam fragmen keseharian yang luput dari pengamatan kita. Ia menghadirkan kegelisahan dan segala problematikanya dalam bahasa yang sangat populer. Menggunakan pendekatan yang tidak jauh berbeda dengan apa yang dilakukan Afrizal Malna. Mengeksplorasi benda-benda sehingga mampu berbicara lebih jauh daripada kata-kata. Tapi tidak melangkah ke dimensi eksperimental atas sebuah bahasa. Ia justru mencoba mendorong pembaca untuk ikut larut ke dalam pengalaman berbeda yang coba dibangunnya.
Beni ingin membuktikan bahwa buntil, pecel lele, dan daun kemangi mampu memberikan pengalaman yang berbeda ke hadapan pembaca. Menurut saya, hal ini cukup berhasil. Tidak berlebihan rasanya untuk mengapresiasi usaha yang dilakukan penulis dalam melakukan pengamatan dan pembacaan ini.
Dengan latar belakang pendidikan di Ilmu Filsafat, Beni agaknya banyak belajar dan bermain-main dengan fenomenologi. Hal ini nampak pada usahanya untuk mengamati pengalaman yang menampakkan dirinya ke dalam kesadaran, tanpa bantuan teori atau asumsi yang mendasarinya. Sebagaimana yang telah dijelaskan di bagian awal tulisan, pengamatan fenomenologis yang dilakukan Beni mampu memberikan konteks baru atas sebuah fenomena keseharian dengan kondisi tertentu.
Maurice Merleau-Ponty, filsuf berkebangsaan Perancis, menjelaskan bahwa pemaknaan atas objek-objek seperti buntil, pecel lele, dan daun kemangi itu tadi mampu berkembang sesuai dengan berkembangnya pengalaman subjek. Melalui pengalaman, manusia menyusun dunianya lewat kepingan-kepingan persepsi. Persis seperti Beni yang menyusun narasi dalam puisi-puisinya. Istilah persepsi itu sendiri, harus dilihat dalam konteks yang lebih luas. Tidak sebatas pengamatan mata terhadap sebuah objek. Tapi meliputi seluruh hubungan antara subjek atas dunianya, khususnya pada taraf inderawi. Yang jadi pertanyaan kemudian adalah, pengalaman-pengalaman apa yang sudah dilalui Beni? Sehingga objek-objek barusan mampu dimaknai sedemikian rupa.
Kekaguman saya atas pengamatan Beni, seketika runtuh setelah membaca beberapa puisinya. Rupa-rupanya, usaha semacam ini juga masih membosankan. Sebab kebanyakan puisinya lahir dari satu struktur yang sama. Narasi yang dibangun atas kejadian sehari-hari mendeklarasikan dirinya dalam beberapa bait awal. Kemudian diakhiri oleh satu baris penutup.
Struktur yang berulang ini antara lain terjadi dalam Klepon, Peluk Luka, Di Pantura, Menjelang Jembatan Slipi, dan beberapa judul lain. Mie Cakalang, menurut saya memberikan gambaran yang cukup kuat,
Ah, hatiku yang mie goreng cakalang
diunyel-unyel garpumu yang jalang.
Itupun tak kau makan.
Struktur tulisan semacam ini, agak mirip dengan sebuah pantun, salah satu bentuk puisi yang lebih purba. Hal lain yang juga jadi perhatian saya adalah pendeknya puisi-puisi yang ditulis Beni. Menjadi menarik, kalau melihat konteksnya dengan pola komunikasi hari ini yang serba cepat, singkat, dan padat. Selayaknya sebuah cuitan Twitter yang tidak lebih dari 140 karakter. Apakah si penulis ingin mengajak pembaca untuk ikut mengamati – dan menertawakan – pola ini. Ataukah sebaliknya, secara tak sadar Beni menulis puisi dengan membawa kebiasaan ini. Entahlah.
Terlepas dari semua itu, puisi-puisi Beni Satryo, buat saya, telah mampu menghadirkan kecemasan atas kenyataan – juga atas kesunyian itu sendiri. Ia menyusunnya dengan kata, benda, dan fenomena yang telah menjadi kebiasaan kita. Beni jelas telah mengusik pembaca dengan persepsi dan dunia yang ingin coba ia bangun. Di antara puluhan puisinya, Duri Dalam Daging secara khusus telah berhasil mengusik kejumudan saya atas pengalaman melahap pecel lele:
Semerbak wangi terpal.
Aroma tubuh yang hancur.
Dikoyak badai pecel lele.Temukan penunjuk arahmu.
Kesetiaan adalah daun kemangi
di dalam baskom pengkhianatan
yang penuh dengan keruh air kobokan.
Sekali lagi, pengalaman apa yang sudah dilalui Beni untuk mampu memberikan persepsi serupa atas daun kemangi di dalam baskom?