MAP Corner, Klub Diskusi Adminitrasi Publik UGM, mengadakan diskusi tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) pembangunan bandara New Yogyakarta International Airport (NYIA), Selasa (22/11). Diskusi yang bertemakan Kontroversi AMDAL dan Konflik Pembangunan Bandara NYIA ini berlangsung hampir dua jam. Diskusi ini menghadirkan beberapa pembicara dari berbagai macam latar belakang, yaitu Harry Supriyono, Dosen Hukum Lingkungan UGM; Yogi Zul Fadhli, Relawan Lembaga Bantuan Hukum Yogyakarta; dan Martono, Aktivis Wahana Tri Tunggal.
Klub diskusi yang sudah dimulai sejak 2011 ini telah melakukan hampir dua ratus kali diskusi. Diskusi ini berawal dari keresahan akan UGM yang semakin jauh dari rakyat. “Kampus kerakyataan kini tidak berbicara mengenai masalah rakyat,” papar Arif Novianto, salah satu panitia diskusi. Dia juga menjelaskan bahwa informasi mengenai NYIA yang diterima masyarakat belum menggambarkan apa yang terjadi pada kenyataan di lapangan.
Arif mengatakan bahwa media dan koran hanya menampakkan dampak baik dari pembangunan bandara itu. Ia menambahkan bahwa beberapa informasi yang dipublikasikan berbeda dengan yang terjadi. Menurutnya, informasi ini sangat bertolak belakang dengan dampak buruk yang sebenarnya ada. Contohnya adalah para petani yang kehilangan tanah garapannya. Selain itu, para petani ini dibohongi bahwa tanah di sana cocok untuk pembangunan bandara.
Harry Supriyono juga mengatakan bahwa salah satu dampak buruk pembangunan NYIA adalah tidak diberlakukannya AMDAL yang sesuai ketentuan. Menurutnya, AMDAL itu perhitungan yang merupakan sebuah instrumen untuk menjaga masa depan, bukan alat untuk meneruskan kontrak pembangunan. Apabila pembangunan itu tidak layak, pembangunan tersebut tidak perlu diteruskan. Kemudian, Harry menegaskan bahwa pembangunan bandara di Kulon Progo masih banyak yang melanggar hukum seperti yang dikatakan oleh Arif. “Kulon Progo itu cacat hukum,” tandasnya.
Ferry, peserta diskusi, turut tidak setuju dengan diadakannya proyek NYIA. Ia membeberkan beberapa kajian mengenai Kulon Progo yang memiliki potensi tsunami. Ia menambahkan bahwa lahan bandara terletak pada cekungan aliran air tanah Wates. Aliran dari air tanah ini dapat menimbukan banjir. Selain itu, pembangunan bandara di sana kemungkinan akan diikuti dengan pembangunan hotel dan restoran. “Adanya migrasi burung setiap tahunnya juga akan membahayakan aktivitas penerbangan,” tambah Mahasiswa Hukum Universitas Islam Indonesia ini.
Ferry mengharapkan kesadaran dari mahasiswa lain agar dapat mengembangkan wacana penolakan pembangunan bandara. Wacana dapat dikembangkan dengan diadakannya diskusi yang memulai aksi nyata penolakan.“Diskusi diusahakan lingkupnya luas agar mahasiswa sadar pentingnya menolak pembangunan bandara tersebut,” tambahnya. [Amirah Syukraini, Farid Zakaria, Litalia Putri Cahayani]
1 komentar
Yup, setuju gan, proses kajian amdal yg spesifik sangat perlu, demi tercipnya pembangunan yg efisien dalam segi ekonomi dan kehidupan budaya jangka panjang. Karena setahu saya Kulon progo adalah salahsatu inti industri pertanian di wilayah yogyakarta. Terlebih lagi jika hotel dan apartemen menjamur diwilayah tersebut, maka kemungkinan besar budaya pun akan ikut terkikis jika tidak dberi koridor yg jelas.
Mohon maaf jika ada yg salah, karena pengetahuan saya dangkal.
Salam