Dalam rangka mengenalkan konsep kota ramah HAM, International NGO Forum on Indonesian Development (INFID) bersama Lembaga Mahasiswa Fakultas Filsafat (LMFF) menyelenggarakan diskusi bertajuk “Konsep Kota Ramah HAM dan Upaya Implementasinya di Indonesia”. Diskusi ini merupakan salah satu dari rangkaian acara Festival HAM 2016 yang akan dilaksanakan di Bojonegoro, Jawa Timur. Diselenggarakan di Ruang Sidang 1 Fakultas Filsafat UGM pada Rabu (16/11), diskusi ini menghadirkan Suyoto (Bupati Bojonegoro), Muhammad Nur Khoiron (Anggota Komnas HAM), Risnawati Utami (Direktur OHANA), dan Mohammad Syafi’e (Peneliti Pusat Studi HAM Universitas Islam Indonesia) sebagai narasumber.
Suyoto mengawali diskusi dengan menjelaskan komitmennya dalam mewujudkan kota yang ramah HAM di Bojonegoro. Salah satu komitmen ini adalah penyediaan fasilitas kota dengan “universal design” yang dapat memenuhi kebutuhan masyarakat luas. Salah satu bentuk penerapan universal design menurut Suyoto adalah dengan penyediaan fasilitas umum untuk memenuhi kebutuhan kelompok difabel. Bagi Suyoto, penyediaan fasilitas publik yang merangkul kebutuhan masyarakat luas, terutama kaum difabel, merupakan salah satu bentuk pemenuhan HAM. Suyoto menambahkan bahwa institusi yang paling mampu mewujudkan hal tersebut adalah pemerintah daerah. “Pemerintah daerah lebih mengerti kondisi masyarakat daerah seperti apa dari pada pemerintah pusat” begitu jelas Suyoto.
Diskusi dilanjutkan oleh Risnawati Utami selaku direktur OHANA, sebuah organisasi sosial yang bergerak dalam isu-isu kelompok difabel. Risna sendiri merupakan seorang difabel yang terkena polio sejak umur empat tahun. Di lingkungannya ia sering mendapatkan perlakuan diskriminatif karena keterbatasan fisik yang dimilikinya. Risna mengatakan bahwa kelompok difabel kerap terdiskriminasi dalam pembangunan kota khususnya penyediaan infrastruktur. Seperti yang pernah dialaminya ketika kuliah, tidak adanya fasilitas pendukung seperti lift di kampus sering menyulitkan aktivitasnya. Akibatnya kondisi fisik Risna semakin parah karena harus naik turun tangga. Dari pengalamannya tersebut, maka Risna berkomitmen memperjuangkan hak-hak kelompok difabel. “Saya lihat ada perjuangan luar biasa dari kelompok difabel untuk mendapatkan haknya. Dari situ saya merasa perlu menuntut jaminan atas hak kami (kelompok difabel) pada pemerintah” tutur Risna.
Perjuangan Risna akhirnya menjadi pendorong Indonesia meratifikasi “Convention on the Rights of Persons with Disabilities (CRPD)” di PBB pada tahun 2011. Melalui forum ini, Risna mulai membuka jalan bagi pemenuhan hak kelompok difabel di Indonesia. Salah satunya adalah adanya alokasi anggaran bagi kelompok difabel yang diatur dalam UU No. 8 Tahun 2016. Adanya alokasi anggaran ini sedikit mampu memenuhi kebutuhan akan fasilitas bagi kelompok difabel.
Menanggapi Risna, Mohammad Syafi’e menyatakan bahwa negara berkewajiban untuk menghormati, melindungi dan memenuhi hak warga negaranya. Kewajiban negara itu juga disepakati oleh Muhammad Nur Khoiron. Khoiron menganggap bahwa dalam konteks pemenuhan HAM, negara merupakan pemangku kewajiban dan warga negara adalah pemangku hak. “Dengan melibatkan partisipasi pemerintah daerah untuk mewujudkan kewajiban negara, maka kedepannya kota bisa langsung memberikan pelayanan kepada masyarakat khususnya bagi kelompok seperti difabel” tutur Khoiron.
Perlunya pelibatan masyarakat sipil, termasuk kelompok difabel, dalam mewujudkan penegakan hak menjadi salah satu alasan INFID menggagas konsep kota yang ramah HAM. Harapannya, kota mampu memenuhi hak semua kelompok termasuk difabel. “Saya optimis terhadap program ini karena saya melihat keyakinan kelompok difabel terhadap kekuatan mereka. Sebab isu mengenai HAM bukan permasalahan kelompok-kelompok tertentu saja, melainkan juga tanggung jawab kita bersama” jelas Yolandri sebagai perwakilan INFID. [Albert Au, Citra Maudy]