Prolog
Banyak yang gundah, baik masyarakat luar, mantan aktivis pergerakan maupun mahasiswa yang ‘idealis’, melihat aktivisme mahasiswa kekinian—yang berada di bawah rezim UKT—kian jauh dari budaya gerakan layaknya mahasiswa jaman dahulu, yang konon dianggap sebagai gerakan moral—yang mampu menggulingkan rezim yang menindas. Sebagian lagi memandang sinis pergerakan mahasiswa pasca reformasi yang mulai sepi dari aktivis dan cenderung disorientasi dalam membangun pergerakan.
Sebagian lagi menilai pergerakan yang dilakukan mahasiswa sekedar ada dan tak jelas apa yang menjadi tuntutannya. Entah karena sekadar menunjukan eksistensinya atau lantaran terlalu berat dalam memikul beban sejarah para pendahulunya. Ada yang mengatakan gerakan mahasiswa kini mengalami disorientasi lantaran tidak adanya musuh bersama. Ada pula yang memandang apa yang dilakukan gerakan mahasiswa sekarang nir-faedah. Bagaimana tidak, alih-alih mencari musuh bersama, mahasiswa kini hanya sekadar sibuk mencari dan memperbanyak kader-kader baru sebagai penerus mereka, hingga tak jarang mereka saling sikut dalam politik kampus demi rebutan kader.
Dalam Kungkungan
Kegundahan itu sering kali lahir dari suara-suara orang luar, atau paling tidak, sedikit aktivis gerakan yang boleh dibilang idealistis. Pada akhirnya mereka mencoba mencari penyebab yang disinyalir merupakan faktor-faktor apa yang membuat fenomena disorientasi pergerakan mahasiswa terjadi. Faktor-faktor yang ditemukan antara lain faktor budaya, sistem, dan kondisi ekonomi politik. Demikianlah, kita lihat bagaimana masing-masing dari ketiga faktor di atas mencoba mencari tahu penyebab di balik kemunduran gerakan mahasiswa. Masing-masing mencoba menelusuri mengapa setelah lebih satu dekade, gerakan mahasiswa seperti kehilangan kekuatan dan daya dobraknya.
Padahal jika kita mau lebih cermat, ketiga faktor tersebut pada dasarnya tidak dipisahkan satu sama lain, ketiga faktor tersebut menjadi sangat berkaitan dalam negara di bawah rezim ekonomi politik kapitalisme. Bagaimana suatu rezim ekonomi politik kapitalisme sebagai struktur saling mempengaruhi secara dialektik dengan budaya, sistem hukum, etika maupun pemikiran, atau dalam bahasa Marx, supra-struktur. Tak heran jika aktivisme mahasiswa kehilangan arah dalam orientasi pergerakannya, lantaran sistem ekonomi politik di negara yang berlandaskan kapitalisme mengondisikan aktivisme mahasiswa mengalami disorientasi.
Dengan uang kuliah yang terbilang mahal, maka tak salah jika kebanyakan mahasiswa lebih memilih pragmatis dengan fokus berkuliah saja. Barangkali bagi mereka terjun ke dunia aktivisme hanya buang-buang waktu dan cenderung mengganggu aktivitas akademik mereka. Bagi mereka duduk di kelas dan menghafal materi dosen, ikut seminar sana sini atawa berbisnis dan kerja paruh waktu lebih menguntungkan dan menambah nilai jual mereka kala melamar dalam dunia kerja nanti, ketimbang menuntut uang kuliah murah atawa berjuang bersama warga Parangkusumo yang terancam dari kediamannya.
Sampai di titik ini, agaknya aktivisme mahasiswa mendapat tantangan yang serius dari relasi kuasa para aktor yang terlibat. Mereka yang menginginkan aktivisme gerakan mahasiswa mengalami disorientasi dan terdepolitisasi. Dan hasilnya, sukses besar. Sebagai contoh, negara sebagai pemegang tampuk kekuasaan yang mampu mengatur kehidupan warganya, terutama mahasiswa melalui pelbagai regulasi seperti pembatasan kuliah selama lima tahun dan penetapan UKT yang lebih mahal ketimbang sistem sebelumnya, telah sukses membuat ‘grand design’ bentuk mahasiswa apa yang negara inginkan.
Dengan adanya regulasi tersebut mahasiswa dituntut untuk lulus cepat jika tidak ingin pembiayaan kuliahnya sampai ia lulus terus membengkak. Akan tetapi misi negara tersebut tidak dapat terselenggara tanpa adanya peran dari birokrasi kampus sebagai eksekutor regulasi tersebut. Sebagai lembaga yang secara hierarkis membawahi gerakan mahasiswa, birokrasi kampus bekerja dengan aparatus pengetahuan dan kebijakannya yang tidak terbebas dari kepentingan. Kampus telah menjadi tempat di mana kekuasaan, secara efektif dan nyaris tanpa perlawanan, bekerja dan diterima. Kebijakan itu mengkondisikan dua hal: normalisasi dan depolitisasi mahasiswa.
Normalisasi mengondisikan mahasiswa agar berpikiran ‘normal’ seperti birokrasi kampus konstruksikan. Upaya normalisasi dilakukan dengan menggunakan praktik apa yang disebut Foucault sebagai ‘governmentality’. Menurut Foucault, government adalah sebuah fenomena, eksistensi, atau regularitas yang lahir dari mekanisme yang terkondisikan dengan baik (intelligible mechanisms) untuk satu tujuan tertentu. Nah mekanisme inilah yang disebut Foucault sebagai ‘governmentality’.
Praktik dari governmentality berbeda dengan disiplin atau hukuman, yaitu berupa pengkondisian subyek dengan aturan-aturan tertentu dan pemberian hukuman jika tidak sesuai dengan aturan tersebut. Ia lebih halus ketimbang disiplin atau hukuman. ‘Governmentality’ adalah upaya untuk mengatur dengan menyediakan kondisi-kondisi yang menyebabkan seseorang dapat hidup pada norma-norma yang ditentukan oleh negara melalui wacana yang dibangun secara diskursif. Ambil contoh, kehidupan normal versi kampus ini merujuk semata pada aktivitas aturan akademik, merupakan satu-satunya pola kehidupan yang layak dan mesti dijalani. Karenanya, suatu hal yang sia-sia menghabiskan waktu menjalani kehidupan abnormal dalam gerakan mahasiswa.
Efek normalisasi ini adalah depolitisasi kampus secara massif, yakni hilangnya ketertarikan mahasiswa untuk memahami realitas di luar kampus yang sarat dengan persoalan sosial, politik, dan ekonomi. Hal-hal yang politis, dan dapat memicu keresahan (uprising), dinetralisir, agar mahasiswa tidak beranjak dari bangku kuliah dan tetap menjalani kehidupan normalnya di dalam kampus. Normalisasi dan depolitisasi itulah yang terjadi saat ini, ketika kampus telah menjadi tempat yang nyaman dan tenang dari hiruk-pikuk di luar.
Birokrasi kampus, secara persuasif, telah berhasil memainkan perannya dalam mengkondisikan mahasiswa agar kembali ke kampus (back to campus). Yang menarik, jika pada masa Orde Baru normalisasi kampus itu dilakukan secara sentralistik oleh negara (lewat NKK/BKK), sekarang tanpa sentralisasi pun, kampus dengan otomatis dan sukarela saat ini beramai-ramai melakukan normalisasi ini tanpa instruksi dan intimidasi apa pun, dan dengan sukarela pula mahasiswa menerima dan menjalankannya.
Kebingungan
Adalah kurang adil jika menilai aktivisme gerakan mahasiswa kekinian semakin melempem tanpa melihat relasi kuasa dan pengetahuan yang begitu dominan saat ini. Barangkali, gerakan mahasiswa kekinian di bawah rezim UKT mengalami kebingungan yang akut. Entah sadar atau tidak masih ada aktivisme mahasiswa yang terjebak dalam ‘kesadaran palsu’ yang belum menganggap isu pendidikan tinggi merupakan isu yang urgent untuk dikawal, baru-baru ini misalnya aliansi mahasiswa yang tergabung dalam BEM SI menggelar aksi bersama dengan membawa isu lingkungan, yang penulis anggap itu jauh dari kepentingan material mereka dan sekedar membuang-buang waktu saja.
Bukannya penulis menganggap isu lingkungan itu tidak penting, namun masih ada kepentingan yang lebih mendesak untuk diselesaikan, yakni kepentingan yang berdampak pada kehidupan mereka di kampus. Kepentingan memperbaiki sistem Pendidikan Tinggi. Bagaimana mungkin kita mau memperbaiki gedung yang lebih tinggi, jika rumah yang lebih kecil saja tidak bisa diperbaiki. Pergerakan mahasiswa model seperti ini sudah sepatutnya ditinggalkan jauh-jauh, sebab mereka tidak bisa menganalisa masalah objektif yang begitu jelas berada di depan mereka.
Di tengah aksi buang-buang waktu dan tenaga yang dilakukan BEM SI dkk itu, banyak universitas negeri yang menggelar aksi besar dalam framing isu yang sama yakni ‘pendidikan tinggi’ mereka turun ke jalan untuk memprotes kebijakan kampus mereka. Beberapa universitas tersebut diantaranya UNSOED, UGM, UPN YK, UPN SBY, UB, UNILA, UNJ, UI,UNDIP, UIN Walisongo, UIN Suka dll. Umumya tuntutan yang mereka bawa tak jauh dari menolak diberlakukannya uang pangkal, kenaikan UKT, maupun penolakan terhadap sistem kuliah lima tahun. Akan tetapi, gerakan mereka cenderung terhenti di tengah jalan. Hal itu terjadi lantaran tidak adanya pergerakan yang konsisten dalam mengawal tuntutan mereka.
Memang tak dapat dipungkiri sistem akademik yang ada membuat konsentrasi mereka terpecah. Pilihannya sekarang adalah melanjutkan pergerakan atau mengejar ketertinggalan perkuliahan. Pada akhinya mereka berada dalam kondisi yang serba dilematis. Di satu sisi mereka ingin memberontak kepada sistem yang menindas mereka. Di lain sisi, mereka terhimpit dengan tuntutan lulus cepat lantaran tanggungan UKT yang mahal yang harus dibayarkan tiap semester. Padahal untuk melakukan pemberontakan terhadap sistem yang menindas mereka perlu membangun gerakan yang kuat, untuk membangun gerakan yang kuat diperlukan waktu yang tak sebentar, konsekuensinya adalah mereka harus mengorbankan tenaga, pikiran serta kehidupan akademis mereka di kampus. Sesuatu keputusan yang sulit bukan? Tak salah maka jika ada aktivis mahasiswa yang terlibat dalam pergerakan mahasiswa untuk memperbaiki sistem pendidikan tinggi juga mengalami kebingungan, bagaimana ia harus bergerak ke depannya di tengah kondisi yang serba dilematis ini.
Epilog
Membangun aktivisme gerakan mahasiswa di bawah rezim UKT memang bukan perkara mudah, banyak tantangan yang harus mereka hadapi. Meski musuh bersama sudah tampak, yakni rezim pendidikan tinggi yang menindas, namun upaya untuk memperluas gerakan dan merubah kebijakan selalu mendapat tantangan yang serius, khususnya dalam kegiatan yang sifatnya akademis.
Tidak bisa tidak, bagi mereka yang ingin terlibat dalam gerakan mahasiswa dalam melawan sistem pendidikan yang ada memang diperlukan keberanian untuk mengambil risiko. Pertanyaannya apakah aktivisme mahasiswa mempunyai keberanian dan bersedia mengambil risiko untuk ‘keluar’ sementara dari kehidupan akademik mereka dan fokus untuk membangun gerakan dengan tujuan untuk melawan sistem yang menindas dan menggantinya dengan sistem yang lebih baik? Jika kita mampu menjawab pertanyaan pelik ini, tampaknya kita baru menemukan ke mana orientasi aktivisme mahasiswa dalam rezim UKT bermuara. Wallahualam bissawab.
Badrul Arifin
Penulis adalah Mahasiswa generasi pertama UKT dan calon buruh