Menanggapi kasus pembunuhan Munir yang tak kunjung selesai, Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) bersama Social Movement Institute (SMI) mengadakan pemutaran film dan diskusi HAM bertajuk “Buka Hasil TPF Munir Sekarang Juga”. Dokumen Tim Pencari Fakta (TPF) kasus Munir yang telah lama hilang menjadi fokus kegiatan yang berlangsung di FISIPOL UGM dan Perpustakaan Pusat UIN Sunan Kalijaga ini. Dilaksanakan pada Jum’at (28/10) siang, acara ini menghadirkan aktivis dan penulis buku Eko Prasetyo sebagai pemantik diskusi. Selama berdiskusi, Eko tidak hanya membicarakan TPF, ia juga menyinggung relasi antara Munir dengan mahasiswa sebagai bagian dari gerakan.
Diwawancarai usai acara, Eko mengatakan bahwa mahasiswa memiliki utang kemanusiaan pada aktivis yang meninggal pada tahun 2004 karena diracun itu. Utang ini tidak terlepas dari jasa Munir dalam membongkar kasus penculikan mahasiswa. “Mahasiswa harus tahu bahwa dia lah sebenarnya pahlawan mahasiswa,” ujar Eko.
Selaku aktivis yang mendalami pergerakan, Eko melihat Munir sebagai orang yang menghidupkan gerakan mahasiswa. Dahulu, Eko bercerita, mahasiswa dapat ditangkap hanya karena mengatakan Soeharto berengsek atau Soeharto bandit, dan Munir lah yang membela mereka. “Ketika mereka [mahasiswa] diculik, Munir yang paling pertama membela di belakang mahasiswa dan mengatakan: mereka diculik, mereka dianiaya,” tutur Eko saat memantik diskusi. Ia juga menyatakan bahwa mahasiswa harus memiliki peran dalam mengawal kasus Munir.
Dalam diskusi HAM tersebut, panitia membagikan kartu pos yang bertuliskan “Presiden segera umumkan laporan TPF Munir!” kepada para peserta. Setelah ditandatangani, kartu pos nantinya akan dikirimkan ke pemerintah. Eko Prasetyo percaya hal ini merupakan salah satu tindakan sederhana yang dapat dilakukan mahasiswa dalam memperjuangkan kejelasan kasus Munir.
Selain mengirimkan kartu pos, Eko juga menyebutkan bahwa mahasiswa dapat turut serta dalam Aksi Kamisan yang diadakan rutin sebagai pengingat akan banyaknya permasalahan HAM yang belum selesai. Di Yogyakarta, SMI dan KontraS melakukan aksi ini setiap hari Kamis di Tugu Pal Putih. Eko juga menganggap mahasiswa dapat membahas soal-soal pelanggaran HAM di ruang kuliah untuk mengawal isu tersebut. Bagi Eko, dengan cara seperti itu semua orang akan punya ingatan tentang peristiwa pelanggaran HAM masa lalu.
Kasus Munir kembali banyak dibicarakan setelah KontraS mendaftarkan permohonan sengketa informasi terhadap laporan penyelidikan TPF bulan April 2016 lalu. Berbagai LSM, termasuk KontraS dan SMI, terus mendesak Presiden Joko Widodo untuk membuka laporan tersebut.
Dalam diskusi, KontraS membeberkan alasan mengapa dokumen TPF Munir penting untuk dilaporkan. Bagi KontraS, selama ini pihak yang berwenang hanya mengadili pilot maskapai penerbangan Garuda, Pollycarpus Priyanto sebagai tersangka tunggal pembunuhan Munir. Padahal, masih menurut KontraS, pembunuhan Munir adalah pembunuhan yang direncanakan banyak orang, termasuk sejumlah orang penting. KontraS merasa dokumen TPF yang hilang tersebut harus segera ditemukan dan dilaporkan agar masyarakat dapat turut mengawasi pemerintah, sehingga negara tidak lagi membunuhi orang-orang kritis yang merongrong kekuasaan mereka.
Ketua SMI, Melky Hartomi mengatakan bahwa kegiatan pemutaran film dan diskusi ini pun dihelat dengan tujuan memberi tekanan pada pemerintah. “Penting agar hasil [TPF] itu dibuka. Karena kalau tidak, kita mengulang sejarah gelap bangsa ini seperti Supersemar (Surat Perintah Sebelas Maret—red),” tutur Melky sambil menyinggung dokumen kontroversial negara yang juga hilang itu.[Sultan Abdurrahman]