“Apa itu kenyataan dalam Serat Centhini ?” merupakan pertanyaan utama dalam diskusi bulanan yang diadakan oleh Laboratorium Filsafat Nusantara (Lafinus). Diskusi ini diadakan di Ruang Sidang Persatuan Fakultas Filsafat UGM pada Jumat (21/10). Ketua Lafinus, Dr. Rizal Mustansyir menyatakan bahwa diskusi ini diadakan sebagai konsistensi fakultas filsafat dalam eksplorasi dan pengembangan filsafat nusantara. Pembicara yang hadir adalah Elizabeth D. Inandiak, seorang penulis, aktivis, dan penerjemah berkebangsaan Perancis yang meneliti dan menyusun kembali Serat Centhini.
Elizabeth menjelaskan bahwa Serat Centhini merupakan sebuah karya sastra jawa yang dipesan oleh Sultan Keraton Solo, Anangmuninggara ke IV. Ia memerintahkan tiga pujangga untuk mencatat semua ilmu yang ada di Tanah Jawa pada awal abad ke XIX. Tiga pujangga tersebut yakni Raden Ngabelhi Ranggawaskita, Kyai Ranggasutrasna, dan Raden Ngabelhi Sastradipura. Mereka kemudian mengembara lalu menulis sebuah karya yang memiliki nilai estetis tinggi, yang dapat dilihat dari bahasanya. Serat Cethini terdiri dari 4000 halaman dan 12 jilid. Kisah dalam serat centhini diceritakan pada awal abad ke XVII Sultan Agung ingin mengusasi seluruh Pulau Jawa, dan menyerang Sunan Giri hingga akhirnya kekuasaan Sunan Giri jatuh. Tiga Putra dan putri Sunan Giri melarikan diri dan mencari jati diri yang sangat luas. Elizabeth kemudian melanjutkan bahwa cerita pengembaraan dan pencarian jati diri tersebut, kemudian memunculkan tembang dan cerita serat centhini.
Elizabeth menjelaskan bahwa inti pembahasan mengenai kenyataan dalam serat centhini, salah satunya terdapat pada kelir wayang. Kelir wayang digambarkan seperti alegori manusia gua dari Plato. Terdapat sekelompok tawanan yang diikat di dinding gua. Mereka sudah ada di sana seumur hidup, dan hanya bisa melihat bayangan di dinding gua. Salah seorang tawanan lepas hingga melihat semua realitas di luar gua. Tawanan yang lepas tersebut kembali ke dalam gua, kemudian menceritakan realitas di luar gua yang ia temukan kepada tawanan lainnya. Namun, mereka menolak dan marah terhadap apa yang disampaikan tawanan yang lepas tersebut. Dia dianggap mengganggu kenyataan terhadap bayangan di dinding gua yang mereka pandang selama ini. Begitu juga pada kelir wayang, bahwa manusia hanya melihat bayangan di balik kelir dan dalang. Hal ini digambarkan bahwa manusia tidak ingin melihat lebih jauh mengenai realitasnya.
Elizabeth melihat kesamaan konsep dari kelir wayang pada ilmu sulap. Persamaan tersebut terdapat pada cara memposisikan realitas yang semestinya ada dan diterima. Serat centhini menggambarkan bahwa ilmu sulap bukan sesuatu yang nyata adanya. Manusia sebagai subjek penikmat sulap seringkali tertipu dengan ilusi. Ilmu sulap tidak nyata sama sekali, hanya saja kita yang menipu kenyataan sendiri. “Jadi dalam serat centhini ini kita diajak untuk sadar dan buka mata terhadap ilusi” Lanjut Elizabeth.
Kemudian inti pembahasan lainnya tentang kenyataan yaitu terdapat pada tari topeng. Elizabeth menjelaskan bahwa tari topeng dalam serat centhini menjadi analogi bagi tubuh kita. Ketika manusia mengalami kematian, maka akan seperti sebatang kayu. Kehidupan, kesadaran, dan tubuh sudah tidak berarti. Kenyataan sudah tidak menjadi apa-apa lagi.
Elizabeth menyatakan bahwa serat centhini adalah sebuah karya sastra sekaligus menjadi filsafat jawa. Filsafat jawa pada dasarnya mempertanyakan apa arti kehidupan, dari mana kita berasal dan kemana kita pergi, dan apa itu kenyataan ? Dalam serat centhini kenyataan digambarkan dengan alegori wayang, alegori ilmu topeng dan alegori ilmu sulap. “Maka tanggung jawab kita sebagai pembaca adalah mencari makna kenyataan dalam serat centhini” terang Elizabeth.
Elizabeth menyadari bahwa dalam mencari makna dan menyusun kembali sebuah karya sastra yang dianggap adiluwung, selalu ada ketakutan untuk diterjemahkan. Terutama pada karya sastra yang memuat kerohanian yang dianggap “terlalu suci’’ dan seksualitas yang dinggap “terlalu kotor”. Hal ini membuat penerjemahan suatu karya menjadi terhalang, sehingga nilai-nilainya tidak pernah tersampaikan. Maka dari itu, persepsi terhadap karya sastra yang dianggap “ haram” dan “halal” untuk diterjemahkan perlu dihilangkan. “Serat centhini walaupun mengandung unsur kerohanian dan seksualitas, namun memiliki nilai estetis, etis dan realigius maka dari itu diperlukan proses penerjemahan” tungkas Elizabeth. [Fitria Nugrah Madani]