Pada 1969, Indonesia mengadakan Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) untuk menentukan nasib bangsa Papua. Pepera memutuskan bahwa Papua bergabung dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Namun, keputusan Pepera dianggap tidak sah oleh Organisasi Papua Merdeka (OPM) dan para aktivis kemerdekaan Papua. Salah satu pentolan OPM yang terkenal adalah Filep Karma. Nama Filep Karma mulai dikenal luas ketika menjadi tahanan politik karena pernah mengibarkan bendera Bintang Kejora pada 1 Desember 2004. Namun, dia menyatakan bahwa menjadi tahanan politik selama belasan tahun tidak menyurutkan semangatnya dalam memperjuangkan kemerdekaan Papua.
Setelah dibebaskan pada November 2015, Filep Karma mengisi banyak diskusi yang membahas kemerdekaan Papua. Salah satunya adalah diskusi yang diadakan di Griya Gusdurian Yogyakarta pada Senin (22/08). Pada diskusi tersebut, Alumnus Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sebelas Maret Surakarta ini menceritakan perjuangannya dan penderitaan yang dirasakan oleh masyarakat Papua. Setelah diskusi, BALAIRUNG berkesempatan untuk mengobrol dengan Filep Karma. Berikut adalah obrolan BALAIRUNG dengan Filep Karma:
Menurut Anda, apa pentingnya kemerdekaan Papua bagi masyarakat Indonesia?
Supaya demokrasi yang diagungkan oleh Indonesia melalui konstitusinya dapat direalisasikan dengan sungguh-sungguh. Indonesia dalam Pembukaan Undang Undang Dasar 1945 menyatakan “Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan.” Jika di konstitusinya sudah dengan jelas menyatakan begitu, kenapa Indonesia menjajah Papua. Tentu saja ini terlihat kontras. Berarti jika Indonesia ingin menjalankan Undang Undang Dasar 1945 secara murni dan konsekuen, Indonesia sebaiknya memberikan hak merdeka kepada Papua.
Kemudian jika ada penduduk Indonesia yang berada di Papua, namun dia tidak ingin pulang dan ingin menjadi warga Papua, ya silakan. Sebab, orang Papua tidak harus yang berkulit hitam dan berambut keriting. Karena jika orang Papua mempunyai pandangan seperti itu, itu adalah nasionalisme yang picik. Siapapun orangnya, yang penting dia mencintai Papua dan dia menyatakan dirinya adalah seorang Papua, mencintai siapapun orang Papua dan rela mengorbankan diri atau berbakti kepada Papua, dialah orang Papua.
Lalu menurut bapak, perjuangan kemerdekaan Papua berdasarkan apa? Karena selama ini, masih banyak orang Indonesia yang belum mengetahui bagaimana perjuangan kemerdekaan Papua sebenarnya.
Dasar perjuangan kemerdekaan Papua yang adalah kasih, kejujuran, dan keadilan. Kami mengasihi, berbicara jujur, dan menegakkan keadilan. Tetapi selama ini kami diperlakukan tidak adil. Tentu saja itu tidak benar. Kami berjuang dan bertanya-tanya, “Mengapa kami diperlakukan begini?”.
Suatu saat, saya pernah diinterogasi oleh polisi. Dia bertanya, “Pak, apa yang sebenarnya kalian (Pejuang kemerdekaan Papua) perjuangkan?”. Saya menjelaskan kepadanya dengan memberi contoh sederhana:
“Rumah Anda dan rumah saya bertetangga. Di rumah Anda, terdapat halaman yang cukup luas dan ditanami dengan berbagai macam tanaman. Sedangkan rumah saya tidak hanya ditinggali oleh saya sendiri, tetapi juga keluarga besar saya. Sehingga saya harus memberi mereka makan. Kemudian saya melihat tanaman di halaman Anda dan berbicara dalam hati, ‘wah, ini tinggal dipanen.’ Ketika Anda mau memanen, saya datang dan melarang Anda memanen. Anda saya sekap di dalam rumah Anda, kemudian keluarga saya memanen tanaman itu terlebih dahulu dan kami menyisakan beberapa yang tidak layak seperti singkong yang berukuran kecil, sayur yang telah dimakan ulat. Setelah itu, baru saya mempersilakan Anda untuk memanen sisa-sisa tersebut.”
Kemudian saya bertanya, “Menurut Anda bagaimana? Puas tidak?”. Kemudian dia menjawab, “Tentu saja saya marah.”
Saya pun menjelaskan bahwa persis seperti itu yang saat ini kami perjuangkan. Kita bertetangga. Dia (Indonesia) menyebut kami sebagai saudara sebangsa dan setanah air, namun kami dikangkangi, dibuat miskin, dan dia dengan enaknya hidup sejahtera. Tentu saja kami tidak terima. Itulah yang saat ini kami perjuangkan.
Pada 15 Juli 2016, aparat Brigade Mobil dan sejumlah organisasi masyarakat bertindak represif terhadap aktivis yang melakukan aksi damai di Asrama Mahasiswa Papua. Dari tindak represif itu, muncul suatu wacana yang mengaitkan kasus ini dengan isu rasial.
Bagaimana pendapat Anda mengenai munculnya isu rasialisme?
Menurut saya, mungkin orang-orang yang memunculkan isu rasial dan mengaitkan dengan kasus pengepungan tersebut memiliki pola pikir yang picik. Mereka menggunakan isu rasial untuk memicu bentrokan antar pihak-pihak yang terlibat. Jika isu tersebut kami tanggapi, justru akan semakin menimbulkan keributan. Dengan munculnya wacana ini, kita tidak akan melihat inti permasalahan yang sebenarnya, namun justru kita meributkan masalah ras. Dan jika kita meributkan masalah ras, berarti kita telah menggugat Tuhan. Karena kita diciptakan oleh Tuhan seperti ini, mengapa kita justru menentang ciptaanNya.
Menurut Anda, apakah mereka yang mengaitkan kasus ini dengan isu rasial memiliki kepentingan tertentu atau bagaimana?
Saya melihat bahwa hal tersebut merupakan pesanan dari pihak penguasa untuk teman-teman organisasi masyarakat. Memang penguasa ini sering kali mengaitkan suatu isu dengan suku, agama, ras, dan antar golongan untuk mengadu domba kelompok masyarakat yang ada di Indonesia. Padahal, masalah yang sebenarnya hanyalah mengenai demokrasi dan hak orang Papua untuk membicarakan haknya. Namun dibelokkan menjadi isu rasial supaya muncul anggapan bahwa orang Papua di Yogyakarta itu hanya membuat onar. Itu tentu saja menjadikan orang Papua menjadi ‘musuh bersama’ masyarakat Yogyakarta.
Selain munculnya isu rasial, kasus ini juga diangkat oleh sejumlah media massa dengan menggunakan sudut pandang yang seakan menyalahkan aksi damai yang dilakukan oleh para aktivis dan mahasiswa Papua. Bagaimana pendapat Anda terhadap pemberitaan oleh sejumlah media massa tersebut?
Media massa ini dijalankan oleh para penguasa dan pemilik modal yang menanamkan investasinya di Papua. Mereka takut jika Papua berhasil merdeka, investasinya akan mengalami kerugian. Oleh karena itu, mereka memainkan isu ini.
Menurut saya, kaum intelektual juga mampu memengaruhi masyarakat selain media massa. Menurut Anda, apa wacana yang bisa dimunculkan oleh kaum intelektual di sejumlah universitas di Yogyakarta mengenai isu ini?
Mungkin mereka bisa mengadakan seminar yang menghadirkan tokoh masyarakat Papua untuk berbicara fakta mengenai Papua. Dengan demikian, akan membuka wawasan bagi teman-teman di sini untuk mengetahui kondisi terkini di Papua. Karena di sana selama ini, seluruh media baik asing maupun nasional diawasi dan diikuti intelijen. Hal tersebut menyebabkan pemberitaan media mengenai Papua sulit dipercaya.
Lalu, bagaimana pendapat Anda terhadap pemberitaan media mengenai pembangunan infrastruktur di Papua yang akhir-akhir ini gencar dilakukan oleh Pemerintah Joko Widodo?
Siapa yang meminta pembangunan? Pembangunan seharusnya dijalankan sesuai dengan apa yang rakyat minta dan apa yang rakyat butuhkan. Rakyat tidak minta pembangunan, namun kenapa mereka diberi? Ibaratnya Anda ingin minum kopi. Kemudian saya bilang kepada Anda, “Jangan minum kopi, minum Coca Cola saja. Karena di Coca Cola ada kandungan kopinya”. Tentu saja ini merupakan hal yang aneh, dan Anda pasti tetap ingin minum kopi kan? Sama. Kami juga tidak menginginkan infrastruktur. Kami ingin hak kami sebagai manusia, bangsa, dan negara dihargai. Hanya itu yang kami inginkan. Jika kami telah berhasil merdeka, baru kami yang memikirkan bagaimana infrastruktur itu dibangun sesuai dengan pola budaya kami. Selama ini Papua dibangun dengan pola budaya Asia. Itu salah besar. Saya tidak terima! [Respati Harun]
Erata:
– Judul lama Filep Karma: “Indonesia Sebaiknya Memberikan Hak Merdeka untuk Papua” diganti dengan Filep Karma: Kami Ingin Hak Kami Sebagai Manusia Dihargai
2 komentar
Karena di sana selama ini, seluruh media baik asing maupun nasional diawasi dan diikuti intelijen. Hal tersebut menyebabkan pemberitaan media mengenai Papua sulit dipercaya.
Dengan pengalaman yang sangat buruk ini walaupun Indonesia memekarkan provinsi dalam enam provinsi ataupun memebagi-bagi seluruh wilayah papua berdasarkan kekuasaan dan kehendak politik di Jakarta itu,akan menjadi seluruh wilayah papua sebagai “bonekanya”,
Indonesia di tengah-tengah orang melanesia meski saat ini penduduk non Melanesia bakal menjadi mayoritas.melihat pemaksaan penguasa Indonesia itu,kesan saya,!pembentukan pemekaran wilayah provinsi-provinsi boneka Indonesia di papua sebagai wujud atau bukti kepanikan penguasa Indonesia akibat kegagalan diplomasi dikawasn regional pasifik,dan juga sorotan internasional tentang pelanggaran Ham papua oleh berbagai negara di ppb..
Okeh karena itu,menjadi perhatian nasional maupun internasional,karena negara papua tidak tanpa adanya seluruh manusia Papua,negara kuat dan hadir untuk melindungi masyrakat..