Amrta Institute for Water Literacy merilis film dokumenter berjudul Jogja Darurat Air. Puluhan orang memadati ruang Bulaksumur, University Club- Universitas Gadjah Mada pada Senin siang (15/8). Acara pemutaran film ini merupakan pemantik awal diskusi tentang krisis air tanah yang terjadi di kota Yogyakarta dan Sleman akibat pembangunan hotel dan apartemen. âKetergantungan warga Yogyakarta terhadap air tanah masih sangat tinggi dibandingkan dengan beberapa kota di Indonesia,â ucap Nila Ardhianie, salah satu pembicara sekaligus direktur Amrta Institute for Water Literacy.
Film dokumenter yang berdurasi sekitar 18 menit tersebut merangkum aktivitas pembangunan apartemen Uttara di kawasan Sleman yang membuat warga resah. Keresahan muncul ketika sumur warga mengalami kekeringan. Pompa air rusak, karena kedalaman sumber air bertambah. Hal serupa juga dialami oleh warga Miliran, Gowongan, dan Penumping akibat keberadaan Fave Hotel yang didokumentasikan oleh jurnalis video Watchdog dengan judul Di Belakang Hotel pada Oktober 2014.
Dalam sesi diskusi bertema âKemerdekaan dan Air untuk Wargaâ, hadir pembicara dari kalangan akademisi dengan latar belakang keilmuan yang berbeda. Diantaranya adalah Hendro Sangkoyo, pendiri School of Democratic Economics. Ia  membandingkan kondisi lingkungan dan persediaan air tanah di Kuta, jalur pegunungan MojokertoâMalang, dan Yogyakarta.  Dari data yang terkumpul,  kondisi kota Yogyakarta lah yang paling krisis persediaan air akibat pembangunan hotel dan apartemen yang masif.
Sedangkan dari sisi kajian hukum, perihal air yang mulanya dijadikan sebagai sumberdaya sosial menjadi komoditas ketika digunakan untuk memasok kebutuhan air dalam hotel. Padahal dalam putusan Mahkamah Konstitusi No. 85/PUU-XI/2013 Tentang Pengujian Undang-Undang no. 7 tahun 2014 Tentang Pemanfaatan Sumber Daya Alam, air digunakan untuk kepentingan warga negara. âPemerintah harusnya membuat prioritas pembagian air sebagai hak yang dikonsumsi oleh rakyat, untuk kepentingan konservasi, serta untuk kelangsungan lingkungan hidup,â jelas Hermawanto.
Dari data yang telah dihimpun dari Badan Pusat Statistik (BPS) Yogyakarta, pembangunan hotel di kota Yogyakarta dan Sleman pada 2015 telah mencapai angka 85 unit, dengan total kenaikan 57,6% sejak 2010. Hal tersebut membuat pasokan air tanah terserap dengan skala besar tanpa ada lahan resapan karena tanah telah tertutup beton. Nila mencontohkan besarnya biaya untuk pasokan air sebuah hotel dengan jumlah kamar 473, mencapai angka 2 milyar per tahun. Tarif air di lapisan tanah atas  sebesar 2.000 rupiah per m3, sedangkan tarif air tanah dalam yang dikelola oleh Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) sebesar 16.500 rupiah per m3. Harga air di lapisan tanah atas cenderung lebih murah dibandingkan air tanah dalam, karena sumber airnya berasal dari resapan air hujan dan air sungai. âSayangnya, pemerintah belum mengusahakan pengelolaan air lapisan tanah atas untuk kepentingan komersial, sehingga 52% masyarakat merasakan kekeringan akibat penyedotan air tanah yang berlebihan,â tambah Nila.
Berdekatan dengan perayaan kemerdekaan Indonesia yang ke-71, Amrta Institute for Water Literacy berharap pemerintah dan masyarakat sadar bahwa ketersediaan air di kota Yogyakarta telah defisit. âHotel di kota Yogyakarta telah menjulang  diantara perumahan warga yang padat, sedangkan di beberapa wilayah di Sleman menggunakan lahan subur pertanian,â tutur Nila. Ia juga menambahkan perihal pengambilan kebijakan dan perizinan pembangunan harusnya lebih tegas agar pembangunan tidak berlangsung terus menerus.
Tanggapan positif perihal solusi yang ditawarkan dilontarkan oleh Iffah, mahasiswi Pascasarjana Ilmu Lingkungan UGM. Menurutnya, kesadaran untuk memiliki kepentingan terhadap air dapat dimulai dari diri sendiri. âKita dapat memulai aksi nyata dengan menutup keran air dengan benar, atau dapat juga dengan membuat sumur resapan biopori di pekarangan rumah,â tukasnya.[Khumairoh]