Sabtu (20/08), bertempat di warung Dongeng Kopi, Indie Book Corner (IBC) mengadakan diskusi sekaligus peluncuran buku ‘Aidit, Marxisme-Leninisme, dan Revolusi Indonesia’ karya Satrio Priyo Utomo. Diskusi ini termasuk dalam rangkaian acara peringatan ulang tahun ketujuh IBC. Selain Satrio, ada juga Muhidin M. Dahlan atau yang biasa dipanggil Gusmuh yang menjadi pembicara di dalam diskusi tersebut.
Satrio, yang juga berprofesi sebagai guru, mengangkat topik marxisme dalam bukunya karena ia melihat ketakutan, tidak hanya pada publik tetapi juga terhadap murid-muridnya. Hal ini terjadi karena anak muda sekarang ini mempunyai banyak pertanyaan kritis, tetapi kurang referensi. “Banyak diantara mereka bertanya mengapa bisa mengalami fase gerakan 30 September dan seberapa penting untuk membahasnya,” ujar Satrio. Ia juga mengkhawatirkan guru sejarah yang hanya menggunakan beberapa referensi. “Peristiwa yang melibatkan banyak tokoh hanya direprentasi dengan buku paket dan google, itu sangat menakutkan buat saya,” tambah Satrio.
Akhirnya dengan latar belakang semacam itu, Satrio tergugah untuk menulis tentang tema seputar marxisme. “Saya ingin membuka mata publik bahwa ada sudut pandang berbeda tentang gagasan yang di anggap tabu oleh masyarakat,” ungkap Satrio. Oleh karena itu, ia memilih Aidit sebagai tokoh marxisme di Indonesia yang muncul pada tahun 1950-an.
Satrio menceritakan Aidit mengenal marxisme pertama kali dari Presiden Soekarno. Ketika itu Aidit belajar literatur marxisme secara sembunyi-sembunyi yang disebabkan adanya pelarangan dari pemerintah. “Tokoh ini penting untuk dikenal sebagai orang yang mencintai hukum, mencintai literasi, dan punya progam yang jelas yaitu mendekatkan masyarakat dengan bacaan,” tambah Gusmuh.
Selain itu Aidit yang lahir di Belitung, harus hidup di lingkungan masyarakat yang kebanyakan berprofesi sebagai buruh tambang dan nelayan. Menurut Satrio, kedekatan Aidit terhadap lingkungan sekitar mebuatnya ikut merasakan penderitaan rakyat Belitung kala itu. “Pengalaman itulah yang mendorongnya untuk mengkaji lebih dalam literatur marxisme,” ungkap Satrio.
Aidit berkaca pada sejarah kapitalisme di negara-negara Eropa yang dikuasai oleh rezim oligarki, yang saat itu menurutnya juga terjadi di Indonesia. Oleh karena itu, Satrio mengungkapkan bahwa Aidit ingin membawa kita untuk melihat sesungguhnya politik oligarki itu salah. “Secara garis besar pemikiran Aidit ingin merongrong rezim oligarki yang ada di Indonesia,” imbuh Satrio.
Satrio menambahkan pemikiran Aidit yang demikian tidak seharusnya dianggap seperti hantu dan ditakuti oleh masyarat sampai sekarang. Gusmuh menjelaskan sosok Aidit seharusnya diperlakukan secara adil dalam sejarah Indonesia. Ia ingin agar tidak ada satupun mata rantai sejarah yang terputus. “Aidit ini harus dibicarakan secara bebas dan terbuka,” pungkas Gusmuh.[Nur Rohman]