Siang (15/8) bangku-bangku di dalam Gedung Kuliah Umum Fakultas Seni Pertunjukan Institut Seni Indonesia Yogyakarta ramai oleh peserta diskusi Ruang Kreatif “Bincang Seni Pertunjukan Indonesia”. Acara ini merupakan satu rangkaian Art Project Development yang diusung oleh Djarum Foundation. Pembicara dalam diskusi ini adalah sutradara film Garin Nugroho, seniman Butet Kertardjasa serta Dekan Fakultas Seni Pertunjukan ISI Yogyakarta, Prof. Dr. Yudi Aryani. Adapun Kusen Alipah Hadi dipercaya untuk memoderatori diskusi tersebut.
Pada diskusi ini Garin mengungkapkan bahwa terdapat dua hal penting yang harus dimiliki seniman Indonesia, yakni kreativitas dalam mencipta dan kreativitas dalam manajemen. “Sebuah karya harus memiliki sistem manajemen yang mampu diolah sesuai dengan karya dan tempat penciptaan karya tersebut,” ungkapnya.
Sejalan dengan pendapat Garin, Butet memaparkan bahwa terdapat dua ranah penting terkait dengan seni pertunjukan, yakni ranah kebudayaan dan ranah industri. Ranah kebudayaan meliputi proses kreatif penciptaan seni pertunjukan beserta aktor-aktornya. Sedang ranah industri adalah tempat untuk menjadikan hasil dari proses kreatif tersebut dapat ditampilkan di atas panggung. “Untuk menghadirkan suatu karya seni di atas panggung, ini tidak sekedar urusan estetika, ini pekara ilmu dagang, meski terkadang kaidah-kaidahnya bertolak belakang dengan prinsip-prinsip dasar di ruang kreatif,” papar Butet.
Namun, Butet menuturkan bahwa permasalahan yang kerap dihadapi adalah tumpang tindihnya tanggung jawab kedua ranah tersebut. “Menjadi ganjil ketika kemudian urusan produksi menjadi subordinasi dari sutradara” ujarnya. Menurut pegiat Teater Gandrik ini, perlu adanya penyetaraan terhadap dua ranah tersebut. Baginya, seni pertunjukan adalah hasil kolaborasi antara eksplorasi kreatif dan manajemen seni produksi.
Mengenai pengalaman dalam memanajemen seni pertunjukan, ketiga pembicara memiliki respon yang cukup beragam. Butet menekankan bahwa kunci utama perihal manajemen keuangan dalam suatu kelompok seni adalah transparansi dan kejujuran. Hal tersebut yang selalu ia terapkan dalam Teater Gandrik. Sedang Prof. Yudi mengenang masa-masa dimana ia mengerahkan seluruh gaji yang dimiliki demi Teater Perempuan tempatnya berkecimpung. Menurutnya, yang mampu mengembangkan sebuah komunitas seni adalah rasa memiliki komunitas tersebut.
Garin memiliki kisah yang berbeda. Berdasar pengalamannya dalam dunia seni pertunjukan dan film, hampir 60% remaja Indonesia mampu berkarya dalam bidang seni. Pria kelahiran tahun 1961 ini juga menuturkan, rata-rata pencipta karya seni bukanlah pencipta yang berbasis teori akademik. Oleh karenanya, dalam hal merekrut akademisi seni, ia menyarankan 70% pengajar adalah pengajar yang memiliki kredibilitas dalam karyanya dan 30% sisanya, adalah pengajar yang berkecimpung dalam hal analisa.
Prof Yudi juga menyinggung mengenai kurangnya perhatian pemerintah terhadap hak kekayaan intelektual seniman, utamanya pada seni pertunjukan. Mengamini yang diungkapkan Prof Yudi, Garin menyebutkan bahwa terdapat satu dilema yang dihadapi seni pertunjukan di Indonesia. “Kesenian yang tidak bersifat mendukung politik, biasanya tidak mendapat perhatian,” tuturnya.
Menyinggung perihal sumberdaya ekonomi yang dibutuhkan dalam suatu produksi seni pertunjukan, Garin menekankan pentingnya mengenali sumberdaya manusia dalam tim produksi suatu seni pertunjukan. Ia juga menuturkan pentingnya pematangan gagasan dan pengetahuan akan kebutuhan suatu produksi seni pertunjukan. Hal tersebut pada akhirnya memungkinkan terbukanya sumberdaya ekonomi bagi suatu pertunjukan. Sutradara film Soegija ini juga menyinggung pentingnya pemanfaatan media sosial sebagai sarana yang menyediakan ruang proses kreatif dan proposal, untuk memamerkan sekaligus menawarkan karya.
Terakhir, Garin menerangkan bahwa penerapan landasan strategi seni budaya penting untuk mendukung peran seni dalam kerangka distribusi pengetahuan. Ia menekankan bahwa praktek dari masing-masing bidang ilmu seni yang ada, bukan hanya dilakukan untuk menjadi seorang seniman. “Hal tersebut juga akan membawa dasar-dasar pertumbuhan berbangsa,” tuturnya.
Billy Gamaliel, selaku program associate Bakti Budaya Djarum Foundation, mengungkapkan bahwa acara ini terselenggara atas keprihatinan Djarum serta Garin Nugroho terhadap nasib seniman muda era ini. Mereka menilai banyak seniman muda, utamanya yang bergerak pada seni pertunjukkan, belum dapat terfasilitasi dengan baik dalam mewujudkan karyanya.
Salah satu peserta diskusi, Putu Alit memberi respon positif terhadap diskusi yang berlangsung. Menurutnya, diskusi tersebut mampu memberi gambaran nyata bagi seniman muda untuk mampu mencari ruang tumbuh bagi karyanya. “Pembicara juga bersedia berbagi kiat berkomunikasi dan bekerjasama dengan pihak ketiga sebagai pendonor dana” ungkap mahasiswa Departemen Politik & Pemerintahan UGM ini.[Krisanti A.D.W.]