Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) merupakan organisasi kemahasiswaan yang terbentuk sebagai sarana penyaluran minat dan bakat mahasiswa. UKM di UGM berjumlah 51 buah yang dapat dibagi menjadi 4 kategori, yaitu olahraga, kesenian, khusus, dan kerohanian. Semua jenis UKM memiliki perwakilan yang tergabung dalam Forum Komunikasi (FORKOM) UKM UGM dan berfungsi sebagai wadah perhimpunan. Lebih lanjut lagi, FORKOM UKM UGM bertugas untuk menampung dan menyalurkan aspirasi masing-masing UKM. Namun, dalam praktiknya, mahasiswa yang tergabung dalam UKM merasa aspirasi tersebut tidak tersampaikan kepada Direktorat Mahasiswa (Ditmawa) sebagai lembaga yang berkaitan langsung dengan UKM. Nabila, Wakil Ketua Inkai, mengungkapkan bahwa tidak ada diskusi antara UKM dan Ditmawa terkait kebijakan yang baru-baru ini ditetapkan oleh Ditmawa.
Ditmawa sendiri secara khusus bertugas untuk menangani urusan kemahasiswaan di UGM. Tugas-tugas Ditmawa diatur dalam Surat Keputusan Rektor UGM nomor 205/P/SK/HT/2007 Bab X mengenai Direktorat Kemahasiswaan. Pada pasal 43 ayat 1 huruf i, surat tersebut membahas bahwa tugas Ditmawa adalah mengelola dan mengembangkan gelanggang mahasiswa dan fasilitas kemahasiswaan milik universitas. Oleh karena itu, pengaturan semua fasilitas kemahasiswaan di Gelanggang Mahasiswa adalah wewenang Ditmawa, termasuk UKM.
Ditmawa sebagai regulator, di awal tahun 2016 ini, secara mendadak mengajak seluruh UKM untuk menghadiri sosialisasi nomenklatur. Isu nomenklatur UKM telah menjadi wacana sejak tahun 2012 hingga sekarang. Nomenklatur sendiri merupakan salah satu program dari Ditmawa yang bertujuan mengefektifkan suatu kegiatan mahasiswa dengan menggabungkan UKM yang dianggap sejenis. Dalam sosialisasi mengenai nomenklatur ini, Ditmawa mengatakan bahwa keputusan tersebut sudah final bahwa akan dilaksanakan nomenklatur kepada setiap UKM, walaupun latar belakang gerakan dari setiap UKM pastinya berbeda. Sosialisasi yang mendadak ini mendapat respon negatif dari para anggota UKM karena mereka merasa kebijakan diambil secara sepihak.
Setiap UKM merasa kurang adanya komunikasi, khususnya komunikasi 2 arah antara UKM dan Ditmawa sehingga mereka belum siap untuk digabungkan. Ditambah lagi, masing-masing dari mereka mempunyai visi, misi, dan karaktersistik tersendiri yang akan menyulitkan kinerja mereka bila nantinya bersatu. Hal senada juga diungkapkan oleh Margi selaku Ketua UKM Perisai Diri. “Kami sebagai UKM yang bergerak di seni bela diri mempunyai kekhawatiran bila kami disatukan. Penggabungan akan menganggu masalah teknis yang berimbas pada turunnya prestasi UKM masing-masing,” ungkapnya.
Berangkat dari kebijakan Ditmawa tersebut, divisi riset BPPM Balairung melakukan jajak pendapat. Metode yang digunakan berupa jajak pendapat dengan kuesioner. Responden dalam jajak pendapat ini berjumlah 152, diambil secara acak dari berbagai mahasiswa yang mengikuti UKM per Maret 2016. Setiap responden diberikan satu lembar yang berisi beberapa poin pertanyaan. Jajak pendapat dilakukan guna mengetahui berbagai respon dari mahasiswa mengenai kebijakan penggabungan UKM oleh Ditmawa.
Dari hasil jajak pendapat yang dilakukan mengenai kebijakan nomenklatur UKM diperoleh data dari lapangan yang dapat dijabarkan. Dari 152 responden yang ditanya mengenai kebijakan penggabungan UKM, sebanyak 98 responden mengetahui, 50 tidak mengetahui, dan 4 responden tidak menjawab. Persentase sebesar 66% berbanding 34%.
Terkait agenda kebijakan nomenklatur dan keberlanjutannya, diperoleh perbedaan yang cukup besar pada data bahwa 133 responden tidak mengetahui, 16 responden mengetahui, dan 3 responden tidak menjawab. Perbandingannya sebesar 89% dan 11%. Sedangkan mengenai persetujuan dari UKM terhadap kebijakan nomenklatur Ditmawa, sebanyak 31 responden setuju, 115 responden tidak setuju, dan 6 responden tidak menjawab. Perbandingan antara responden yang setuju dengan yang tidak sebesar 79% berbanding 21%.
Dari hasil 3 data di atas, dapat disimpulkan bahwa para UKM telah mengetahui program Ditmawa ini, mengingat isu ini telah muncul sejak tahun 2012. Namun besarnya persentase responden yang tidak mengetahui agenda kebijakan ini menandakan kurangnya adanya komunikasi dan sosialisasi lebih lanjut. Sehingga mayoritas responden tidak setuju dengan adanya kebijakan ini.
Data terakhir ditutup dengan pembahasan mengenai rencana UKM selanjutnya setelah mereka digabungkan. Terdapat 10% responden sudah memiliki rencana jangka pendek, 89% responden belum, dan 1% tidak menjawab (abstain). Menelisik lebih jauh lagi, tentang rencana yang jauh ke depan dari UKM pascanomenkaltur, ternyata para UKM belum mempunyai perencanaan lebih lanjut dan belum mengetahui arah gerak dari tiap UKM setelah digabungkan. Terbukti dengan data sebanyak 11% responden sudah menentukan rencana jangka panjangnya masing-masing setelah dilakukannya nomenklatur oleh pihak Ditmawa, dan 89% belum tahu mengenai arah gerak mereka ke depan, baik dibidang perubahan ideologi gerakan hingga pembentukan struktur organisasi yang baru.
Perolehan data tersebut membuktikan bahwa selama ini pihak Ditmawa belum melakukan sosialisasi mengenai program-program dari kebijakan nomenklatur. Hal ini menyebabkan para UKM tidak dapat menentukan agenda kegiatan mereka baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Dan dikhawatirkan kebijakan ini akan menganggu kinerja tiap UKM.
Dari hasil jajak pendapat tersebut dapat disimpulkan ke dalam beberapa poin. Pertama, sejak isu ini bergulir di tahun 2012, belum ada sosialisasi dari Ditmawa kepada UKM secara langsung. Kenyataan tersebut dibuktikan dengan ketidaktahuan UKM mengenai agenda kebijakan dan keberlanjutannya. UKM hanya sekedar mengetahui isu ini sebagai sebuah kebijakan tanpa tahu program-program yang terdapat di dalamnya.
Kedua, ketidaktahuan UKM terhadap program-program dan keberlanjutan kebijakan ini menyulitkan kinerja mereka kedepannya. Para UKM tidak dapat menentukan kegiatan-kegiatan mereka kedepannya baik jangka pendek maupun jangka panjang. Sehingga terdapat kemungkinan kebijakan ini tidak efektif dan dapat menganggu struktur kepengurusan organisasi.
Secara garis besar, responden menyatakan tidak setuju terhadap rencana penerapan kebijakan Ditmawa mengenai penggabungan atau nemenklatur UKM tersebut. Sikap tersebut lahir dari informasi yang bias karena kurangnya komunikasi antara Ditmawa sebagai regulator dengan mahasiswa pegiat UKM sebagai aktor utama yang akan menjalankan kebijakan tersebut. Selain itu, kebijakan Ditmawa selama ini dirasa masih kurang mewadahi aspirasi mahasiswa untuk berkembang di UKM-nya, dibuktikan dengan harapan responden yang ingin didengar aspirasinyanya. Namun bisa saja dihindari jika Ditmawa mau membangun komunikasi dua arah sehingga lebih aspiratif untuk menciptakan keharmonisan antara regulator dan aktor utama. (Kenny, Hidayat)