Sore hari (11/03), lapangan indoor Gelanggang dipenuhi oleh anggota unit kegiatan mahasiswa (UKM) persilatan yang berasal dari UKM Merpati Putih, Perisai Diri, Propatria, serta Persaudaraan Setia Hati Terate (PSHT). Masing-masing berkumpul dan menampilkan teknik dan gerakan silat yang berbeda-beda. Keempat UKM tersebut, bersama dengan sepuluh UKM lainnya, tidak luput dari isu kebijakan penggabungan UKM.
Kebijakan ini muncul karena pihak Direktorat Kemahasiswaan (Ditmawa) ingin mengembangkan karakter dan softskill bagi mahasiswa melalui UKM. Melalui nomenklatur, beberapa UKM yang ada diharapkan dapat membangun karakter melalui kegiatan-kegiatan yang ada di UKM. Untuk itu, pihak Ditmawa melakukan pembenahan terhadap UKM-UKM yang ada.
Kebijakan nomenklatur telah digulirkan sejak tahun 2012. Namun, menurut Margi, selaku ketua UKM Perisai Diri (PD) , wacana ini tidak pernah diinformasikan secara jelas kepada pihak UKM. Pihak UKM pun kemudian tidak menggubris wacana kebijakan ini secara serius. âKami (pihak UKM) hanya menganggap isu ini seperti kebijakan-kebijakan sebelumnya yang tidak ada tindak lanjutnya,â jelas Bimo selaku Ketua Forum Komunikasi UKM (FORKOM UKM).
Namun, pada akhir Januari lalu, Ditmawa mengundang perwakilan dari sepuluh UKM untuk menghadiri pertemuan di rektorat. Pertemuan ini dilaksanakan untuk mensosialisasikan kebijakan nomenklatur yang rencananya akan diwujudkan pada akhir Maret. Termasuk dalam sepuluh UKM tersebut adalah keempat UKM pencak silat, Inkai, Karate Kala Hitam, Unit Penalaran Ilmiah (UPI), Gama Cendekia, serta dua badan pers mahasiswa UGM (Balairung dan Bulaksumur).
Pemberitahuan kebijakan ini menuai protes yang cukup keras dari pihak UKM. Mereka mengeluhkan pemberian sosialisasi yang terlalu mendadak, perancangan kebijakan yang dinilai kurang konsisten dan sepihak, serta kurangnya detail mengenai kebijakan ini. âPemberitahuan mengenai kebijakan ini baru dilakukan ketika sudah mencapai tahap final,â aku Bimo.
Margi mengaku tidak setuju dengan kebijakan ini. Salah satu alasan utamanya adalah karena perbedaan cara kerja, visi misi, dan filosofi dari masing-masing UKM. Contohnya UPI dan Gama Cendekia (GC), meskipun secara kasat mata sama tetapi pendekatan dan kultur keduanya berbeda. Selain itu, beberapa UKM juga memiliki organisasi induk di luar lingkup kampus yang berdiri sendiri dan memiliki kepengurusan yang independen. Sebagai contoh adalah keempat UKM silat serta UKM Karate Inkai dan Kala Hitam. Kebijakan penggabungan UKM, menurut mereka, berisiko memutus hubungan antara UKM dengan organisasi induk yang terkait.
Namun, hal yang berbeda diklaim Dr. Drs. Senawi, M.P. selaku Direktur Kemahasiswaan. Menurut Senawi, kebijakan ini bukan nomenklatur UKM melainkan penataan UKM. Penataan UKM yang dimaksud adalah memberi evaluasi terhadap UKM-UKM dan menghapus indikasi kepentingan dari pihak luar di dalam UKM. Hal ini bertujuan agar menghasilkan UKM-UKM yang sehat, yang dapat menjadi bagian dari proses pendidikan.
Beliau menuturkan bahwa orang sukses tidak cukup hanya mengandalkan kecerdasan intelektual, tetapi harus memiliki kecerdasan secara komprehensif. Kecerdasan komprehensif yang dimaksud adalah kecerdasan intelektual, emosional, spiritual, sosial dan lain-lain. Untuk mewujudkannya tidak cukup hanya dengan kegiatan intrakurikuler, tetapi diikuti juga dengan kegiatan ekstrakurikuler.
Lebih lanjut, Senawi menyatakan bahwa penataan UKM dilakukan untuk âmenjualâ nama UGM di kompetisi dan ajang antaruniversitas. Menurut beliau, UKM-UKM di UGM itu untuk kepentingan UGM sendiri, bukan kepentingan pihak-pihak luar. Selain itu, penataan UKM dipersiapkan agar UKM-UKM dapat menampung seluruh mahasiswa baru UGM yang berjumlah 10.000 mahasiswa. Selain penataan UKM, kebijakan ini juga mencakup rencana pembenahan gelanggang mahasiswa. âGelanggang mahasiswa dibangun 40 tahun yang lalu. Jumlah mahasiswa 40 tahun yang lalu tidak sebanding dengan jumlah mahasiswa sekarang.â Ungkap Senawi.
Namun, mengenai alasan penataan UKM sebagai usaha untuk âmenjualâ dan meningkatkan prestasi UKM, Margi tidak setuju. Ia berpendapat, masing-masing UKM, khususnya UKM silat dan bela diri lainnya, telah mencetak banyak prestasi dalam wadahnya sendiri. Ciri khas dan perbedaan yang ada dalam setiap UKM menurutnya merupakan suatu dorongan untuk berkarya. Justru yang ia khawatirkan adalah terjadinya penyusutan prestasi karena hilangnya âkekhasanâ di antara UKM.
Menanggapi beberapa UKM yang tidak setuju dengan kebijakan ini, Beliau mengindikasi adanya kesalahpahaman. âMungkin mereka secara tidak sadar terbawa emosi.â tutur beliau heran dengan UKM yang tidak setuju. Pihak Dirmawa menegaskan tidak mencampur adukkan pencak silat, karate dan lain-lain. Prinsip dari penataan UKM ini adalah Cabang Olahraga (Cabor) sesuai dengan aturan KONI. Di dalam aturan tersebut, terdapat pengelompokan olahraga atau disebut Cabor, seperti Cabor yang menggunakan raket apa saja, Cabor permainan apa saja, dan Cabor bela diri apa saja. Sesuai dengan aturan tersebut, pengelompokan UKM berdasarkan cabor pencak silat dan karate.
Selain penataan UKM, Dirmawa juga memiliki agenda lain. Ke depannya, setiap mahasiswa diwajibkan mengikuti UKM. Hal ini dimaksud agar ketika lulus tidak hanya selesai sekian sks, tetapi juga harus ada sekian poin kegiatan softskill. Bahkan pihak Dirmawa sudah membangun sistem rekam jejak mahasiswa. Nantinya, mahasiswa harus mengisi apa saja aktifitasnya selama satu semester agar bisa registrasi. Dari hasil rekam jejak mahasiswa itu akan dihasilkan Curriculum Vitae (CV) dengan format yang seragam.
Menurut Senawi, penataan UKM ini sudah bergulir dengan paradigma redesain kurikulum. Arah dari redesain kurikulum tadi adalah penguatan karakter dan penguatan softskill. Dari penataan UKM ini mengarah pada rencana dimasukkannya UKM ke Satuan Kredit Semester (SKS), bisa empat sampai delapan SKS. Namun, kebijakan UKM dimasukkan ke dalam kebijakan adalah tanggung jawab pihak akademik. âYang kita (Dirmawa) bangun adalah secara kualitatif. Kita arahkan (kebijakan ini) ke sana.â tegas Senawi.
Terlepas dari beragam simpang siur yang beredar mengenai kebijakan nomenklatur, pihak UKM berharap, rektorat mampu bersikap lebih transparan dalam menginformasikan kebijakan yang akan diterapkan. Selain itu, pihak UKM juga menekankan pentingnya komunikasi dua arah. Hal ini untuk memastikan kesalahpahaman seperti ini tidak perlu terjadi lagi. Menurut Bimo, hal yang dibutuhkan UKM saat ini adalah hubungan dengan rektorat yang saling mendukung. âKalau Ditmawa mau berkomunikasi dengan kami lebih lanjut dan mendengarkan aspirasi kami, kami juga akan berusaha untuk mendukung kebijakannya,â tutupnya. [Pungky Erfika Suci, Royyan Akmal Dharma]