Oleh: Asef Saiful Anwar
WASNADI masih berusaha menyangkal mimpinya, terutama pada bagian ketika gadis kecil bersayap kupu-kupu itu berujar: “Lima hari lagi kamu akan masuk surga.”
Tentu, sebagaimana manusia beragama langit umumnya, ia gembira mendapatkan kabar itu, bahkan senyum-senyum sendiri beberapa jenak setelah beranjak dari tidurnya. Namun, sehabis mandi fajar, ia baru tersadar bahwa syarat pertama untuk masuk surga haruslah mati terlebih dahulu. Persoalannya, masih ada cita-cita yang belum dicapai dan rencana-rencana yang belum dikerjakan. Surga bukan tempat untuk mewujudkan cita-cita dan mengerjakan rencana yang memang dirancang untuk terjadi di dunia.
Cita-cita besar Wasnadi sejak lama ingin menjadi seorang sastrawan yang dermawan, yang tidak mungkin terwujud bila waktu yang dimilikinya hanya lima hari, sementara kumpulan cerita pertamanya masih mengantre untuk diterbitkan dua bulan lagi. Sastrawan yang hidup lama pun banyak yang gagal jadi dermawan, apalagi bila hanya memiliki waktu kurang dari sepekan dan ia masih belum diakui sebagai sastrawan. Di negerinya mustahil seseorang disebut sastrawan tanpa karya yang diterbitkan. Sejumlah orang yang puisi, cerpen, atau novelnya sudah banyak diterbitkan pun belum tentu diakui sebagai sastrawan. Memang, karya-karya Wasnadi kadang muncul di media massa dan sesekali memenangi sejumlah perlombaan menulis, tapi sekali lagi, itu belum cukup sebagai modal untuk disebut sebagai sastrawan, apalagi sastrawan yang dermawan.
Di surga nanti pun, tempat seluruh kenikmatan dikumpulkan dan disatukan—juga diseragamkan—tak mungkin ada gelar sastrawan baginya karena ia tak pernah mendengar para penghuni surga meluangkan waktu dengan membaca buku, apalagi membaca karya sastra. Ahai, adakah waktu luang bagi para penghuni surga yang senantiasa tengah sibuk berbahagia tanpa lelah dan bosan? Di sana ia pun tak akan bisa menjadi seorang dermawan karena setiap penghuni surga hidup tidak dalam kekurangan dan senantiasa dalam kecukupan tiada tara.
Ketika sampai pada kesimpulan mimpinya tidak akan mendatangkan kebahagiaan, Wasnadi berusaha menyangkalnya. Mimpi hanyalah bunga tidur, yang begitu saja layu ketika seseorang telah bangun, demikian batinnya. Lagipula siapakah dirinya telah dijamin masuk surga sebelum meninggal? Siapa pula gadis kecil bersayap kupu-kupu itu? Kalau memang ia akan masuk surga, kenapa Tuhan masih membangunkannya? Siang itu ia kembali pada rutinitasnya, terutama memasukkan kehidupan tetangga-tetangganya ke dalam tulisannya dengan imajinasi yang semena-mena.
Gadis kecil itu muncul lagi malam harinya, masih dengan berita yang sama, tetapi jumlah hari telah berkurang di dalam perkataannya: “Empat hari lagi kamu akan masuk surga”. Wasnadi bangun bercucur keringat dingin dengan perasaan terbelah: senang bila benar masuk surga, tapi sedih karena kematiannya tinggal menunggu hari. Dini hari itu juga ia tuturkan mimpinya kepada kekasihnya melalui ponsel.
“Kamu lebih banyak menceritakan ketakutanmu daripada mimpimu yang hanya sekilas,” kata kekasihnya sebelum mengakhiri percakapan dan meneruskan dengkuran, tanpa menyinggung apakah ia percaya Wasnadi akan masuk surga atau menyanggah mimpi itu hanya imajinasinya yang terbawa tidur. Meski demikian, perkataan itu menunjukkan apa yang sejak kemarin mulai dirasakannya: ia takut pada kematian walaupun telah dijamin akan masuk surga.
Tidak hanya cita-cita besarnya yang tak akan pernah terwujud, harapan-harapan lainnya pun harus bisa ditanggalkan satu-persatu bila benar tak kurang dari sepekan lagi ia akan masuk surga, seperti: punya rumah di tepi sawah (menurut cerita di surga ada sungai, tapi tidak dikisahkan di sana ada sawah), bertemu penulis pujaannya, Etgar Keret (entah di forum apa dan kapan, tapi dunia lebih memungkinkan daripada surga yang pasti memisahkan mereka karena keyakinan), memelihara rambut gondrongnya hingga memutih seluruhnya lalu menggeraikannya tiap pagi dan sore sambil bersepeda agar angin mengibarkannya (di surga nanti semua orang akan kembali muda lagi, apalagi ia akan mati muda sebelum genap berumur dua lima), menghidu kopi racikan istrinya tiap pagi hari sebelum menyeruputnya dan mulai memasukkan para tetangga ke dalam ceritanya (apa yang pernah didengarnya di surga ada sungai susu, bukan sungai kopi), mengajari anak-anaknya baca-tulis serta menceritakan muasal berikut kegunaan setiap benda yang mereka saksikan (apakah di surga masih berguna keterampilan dan pengetahuan?), dan harapan-harapan lainnya yang mustahil terjadi di surga.
“Kebahagiaan dan kenikmatan yang ada di surga itu lebih besar dan lebih banyak daripada seluruh harapanmu itu,” demikian kata imam langgar yang ada di samping tempat tinggalnya sesaat setelah salat subuh, tanpa membenarkan mimpinya atau mendebatnya. “Bila benar kamu akan masuk surga, kamu harus mulai bisa melepaskan seluruh harapan itu. Percayalah, kehidupan setelah di dunia ini lebih baik, apalagi bila jelas-jelas kamu akan masuk surga.”
Ucapan imam langgar itu tidak membuat ketakutan Wasnadi hilang. Ia hanya sedikit tenang karena telah mencurahkan segala keresahannya. Pun kekhawatirannya tidak terjadi. Imam langgar tak segalak dan tak sekaku yang dibayangkannya. Bahkan, tak menyinggung perihal mimpi itu datangnya dari setan atau iblis atau siluman atau apa pun yang hendak menggoda Wasnadi agar abai beribadah.
Wasnadi memang rajin beribadah. Tapi, niat ibadahnya lebih banyak untuk memohon kemauan-kemauannya daripada memuja dan menyembah Tuhan. Niat salatnya lebih untuk berolahraga—seperti yang pernah dibacanya dari beberapa buku tentang khasiat gerakan salat untuk kesehatan—daripada benar-benar rukuk dan bersujud pada Tuhan. Sembahyang baginya ruang untuk merenung yang baik dan kegiatan paling meditatif sehingga kerap kali ia menemukan ide untuk menyelesaikan cerita yang sedang ditulisnya saat duduk tahiyat atau malah sesaat setelah takbiratul ihram. Karena itu pula tak jarang ia melakukan banyak salat sunah bila saat melaksanakan salat wajib ia belum kunjung menemukan penyelesaian sebuah cerita. Tentu, sebagai musuh utama dan paling nyata bagi manusia, seharusnya setan tahu isi hati Wasnadi yang seperti itu. Jadi, tak mungkin setan masuk mimpinya hanya untuk menjebaknya agar tak lagi rajin beribadah beberapa hari sebelum kematiannya.
Pikiran-pikiran itu membuat sarapannya berlangsung cepat. Hari berlalu siang tanpa ada satu pun tetangganya yang berhasil ia masukkan ke dalam cerita. Sadar bahwa hari itu tak mungkin memasukkan tetangganya ke dalam cerita, ia pun mencoba memasukkan mimpinya saja, terutama tentang gadis kecil bersayap kupu-kupu.
Alih-alih mengembangkan sosok itu dengan imajinasinya, Wasnadi malah sibuk mengingat apakah gadis kecil itu pernah ditemuinya? Ia mengingat dengan bantuan asap kreteknya, wajah-wajah gadis kecil yang dikenalnya bermunculan, bersamaan, belasan. Ia pilih satu-satu dengan mengibaskan asap kreteknya dengan tiupan moncong bibirnya. Berkali-kali, tapi tak ada satu pun wajah yang mirip.
Dengan kenekatan, ia memejamkan matanya, mengingat, dan mulai menggambar wajah gadis kecil itu, hanya wajah, tanpa tubuh, tanpa sayap kupu-kupu. Ia tanyakan hasil gambar itu kepada orang-orang terdekatnya, tapi tak ada satu pun yang mengenali wajah itu.
“Bukannya aku tidak kenal,” kata seorang kawannya, “tapi gambarmu ini tidak jelas. Gambarmu terlalu berantakan untuk disebut sebagai wajah manusia.” Ia mengerti. Usahanya hari itu gagal sejak ia memutuskan menggambar gadis kecil itu dengan kemampuan menggambarnya yang ala kadarnya.
“Memangnya siapa gadis kecil ini?” tanya kawannya, lalu ia mengulang cerita yang juga dituturkannya kepada orang-orang yang menanyakannya saat ia bertanya tentang sosok yang digambarnya. Seperti juga orang-orang lain, kawannya ini tertawa sebelum menyebutnya gila dan menasihatinya untuk berfoya-foya dulu sebelum masuk surga.
Gadis bersayap kupu-kupu itu muncul lagi malam harinya, masih dengan berita yang sama, tetapi jumlah hari semakin berkurang di dalam perkataannya: “Tiga hari lagi kamu akan masuk surga.” Ia bangun dengan ketakutan yang bertambah. Telah tiga kali mimpi itu datang dengan adegan yang sama: ia tengah berendam di dalam bak plastik sembari menikmati kerupuk bersaus. Gadis kecil itu terbang mengepakkan sayap kupu-kupunya di atas bunga sepatu yang tumbuh dalam kaos kaki yang hendak dicuci. Gadis itu lalu berkitar ke depan wajahnya untuk mengucapkan kalimat itu, kemudian ia mendapati tubuhnya basah berkeringat dingin di atas kasur yang berserakan remahan kerupuk.
Dini hari itu juga berulang kali ia menelepon ponsel kekasihnya, tapi tak pernah dijawab. Selepas subuh ia temui lagi imam langgar.
“Sekali lagi, kalau memang benar kamu akan masuk surga, kamu tak perlu takut. Sepertinya harapan-harapan yang kamu angankan itu yang jadi sumber ketakutanmu. Manusia memang harus punya harapan di dalam hidupnya, masalahnya kamu akan mati, jadi sekarang kamu coba mulai susun harapanmu setelah mati.”
Wasnadi mencerna kalimat imam langgar dengan amat lama sementara sang imam mulai mematikan lampu langgar. Ia mulai insyaf kalau selama ini tak pernah memikirkan kehidupannya setelah kematian. Apa yang didoakannya selalu untuk terjadi di dunia, bahkan ibadahnya untuk kepentingan duniawinya. Kalaupun ia berharap masuk surga, seperti melalui doanya atau yang diamininya pada doa imam langgar, adalah doa agar tidak terkena azab neraka. Ia tahu di surga ada tujuh puluh dua bidadari yang senantiasa siap sedia melayani, tapi sama sekali sampai sekarang bukan itu yang membuatnya tertarik ingin masuk surga. Ia percaya di surga ada sungai susu dan madu, tapi bukan itu juga yang membuatnya tertarik untuk masuk surga, mengingat lidahnya lebih suka pada susu jahe, dan tentu kopi.
Ia ingin masuk surga karena tidak mau lidahnya ditarik hingga putus lalu ditumbuhkan kembali untuk ditarik sampai putus dan ditumbuhkan hanya untuk ditarik sampai putus lagi, berulang-ulang. Ia ingin masuk surga karena tidak mau kemaluannya dipotong-potong lalu ditumbuhkan kembali untuk dipotong-potong dan ditumbuhkan hanya untuk dipotong-potong lagi, berulang-ulang. Ia ingin masuk surga karena tidak mau tubuhnya dililit besi berapi dan diinjak gajah berapi hingga hancur dan disatukan kembali untuk dililit besi berapi dan diinjak gajah berapi hingga hancur lagi, berulang-ulang. Ia ingin masuk surga karena takut dimasukkan neraka.
“Bagaimana kalau tidak ada neraka?” tanya imam langgar, seolah menanyakan apa yang dipikirkannya. Wasnadi tambah merenung dan bingung. Mengapa Tuhan hanya menyediakan dua pilihan dalam kehidupan berikutnya sementara di dunia ini terhampar banyak pilihan? Percakapan dengan imam langgar berhasil mengalihkan ketakutannya pada pikiran-pikiran yang bebas hingga ia berani bertanya: kalau Bapak bermimpi seperti saya bagaimana?
“Ya jelas saya tidak akan percaya. Kalaupun saya percaya, saya tidak akan takut dan bingung seperti kamu. Saya akan menjalani hari-hari seperti biasa, sewajarnya. Dengan waktu yang sekarang tinggal tiga hari, tidak mungkin saya membayar tunggakan sekolah anak-anak, tidak mungkin saya menebus gelang dan cincin istri saya di pegadaian, apalagi melunasi cicilan rumah. Saya hanya akan memaksimalkan waktu yang ada agar mereka siap saya tinggalkan. Memang terasa kejam ya meninggalkan keluarga dengan beban hidup sementara saya akan masuk surga duluan. Syukurnya, itu tidak terjadi pada saya. Mungkin karena saya selama ini yakin dan percaya sebelum masuk surga atau neraka, manusia akan menunggu dulu di alam barzah sebelum datang hari penghakiman.”
Memaksimalkan waktu, demikian kata kunci pertama yang ditangkap Wasnadi dari tuturan imam langgar sebelum mereka berpisah di pagi itu. Hutang atau janji, demikian kata kunci kedua yang mulai dipikirkannya. Untuk harapan-harapan dan cita-cita besarnya, ia bisa berdamai dengan dirinya sendiri sembari mulai meyakini bahwa kenikmatan dan kebahagiaan di surga adalah segalanya. Tapi untuk hutang atau janji, ia harus melunasinya sebab itu hak orang lain yang wajib dipenuhinya sebelum meninggalkan dunia. Dan jalan untuk itu adalah dengan memaksimalkan waktu. Mengenai hutang ia tidak pernah memiliki masalah. Untuk janji ia tak pernah mengobral, hanya perlu memenuhi satu saja, yakni janji menikahi kekasihnya tahun ini setelah kumpulan ceritanya terbit.
Tak mungkin pernikahan dimajukan dalam tiga hari ke depan, ia tahu penghulu terlalu sibuk dan dokumen-dokumen syarat pernikahan juga pasti ribet untuk dirampungkan dengan ruwetnya birokrasi. Bila pun bisa tiga hari ke depan mereka menikah, masakah ia tega meninggalkan kekasihnya setelah buru-buru menanam benih di rahimnya lalu ngeloyong begitu saja ke surga sendirian? Lagipula ia ingin menikah bukan karena dorongan seksual atau demi keturunan semata. Ia memang ingin hidup bersama kekasihnya di tepi sawah dengan rumah sederhana yang terkadang kotor oleh lumpur yang dibawa anak-anaknya setelah bermain di sawah. Ah, ia harus hapus gambaran itu, mulai fokuskan pikiran pada jalan keluar. Dan ia menemukan jalan kejujuran ketika sampai di hari keempat tanpa memejamkan mata sejenak pun.
“Aku percaya pada ucapanmu, tapi aku tidak percaya pada mimpimu. Taruhlah itu benar, ya mau tidak mau aku harus merelakanmu, toh kamu akan masuk surga. Apakah perlu menangisi seseorang yang akan masuk surga? Tidak mungkin aku menghalangimu untuk masuk surga. Aku belum berpikir dengan siapa nanti akan hidup sebelum benar-benar menyaksikan kamu mati.”
Jawaban kekasihnya demikian ringan dan lancar seolah Tuhan telah makin melempangkan jalannya menuju surga. Ia tak meragukan cinta kekasihnya, yang mungkin tinggal dua hari itu. Setidaknya, ia telah tahu bila meninggal kelak ia tidak lagi menjadi beban pikiran bagi kekasihnya. Hari keempat itu ia habiskan bersama kekasihnya untuk bertemu sejumlah kawannya, para tetangganya, pulang ke rumah orangtuanya, dan bersilaturahmi ke rumah saudara-saudaranya dengan maksud pamit mati yang oleh mereka sulit dimengerti.
“Karena kamu yakin ini hari terakhirmu, apa pun yang kamu inginkan akan aku penuhi,” kekasihnya menggoda ketika mereka berada di dalam kereta pada malam hari kelima. Wasnadi hanya tersenyum, memejamkan matanya lalu menyandarkan kepalanya di pundak kekasihnya. Bawa aku ke rumah sakit, katanya. “Kau sakit?” tanya kekasihnya, ia menggeleng dan kembali tersenyum tanpa membuka matanya.
Seperti melantur ia tuturkan rencana yang mulai disusunnya sejak hari ketiga: mendonorkan seluruh bagian tubuhnya untuk kepentingan penelitian organ manusia. Ia ingin sebuah kematian yang bermartabat, sebab apa artinya masuk surga bila tak meninggalkan sesuatu yang berguna bagi dunia?
Pertanyaan itu mengambang dan tenggelam ditelan suara kereta. Gerimis turun memerciki kaca jendela. Dari kaca yang sedari tadi ditatapnya itu, kekasihnya melihat bayangan seekor kupu-kupu yang terbang dan mendarat di atas kepala Wasnadi sebelum seorang gadis kecil menangkapnya. Segera ia palingkan wajahnya, tapi ia tak melihat apa pun kecuali kepala Wasnadi yang terlelap di pundaknya.***
Asef Saeful Anwar adalah penulis kumpulan cerpen berjudul Lamsijan Memutuskan Menjadi Gila (PSK UGM, 2014).
2 komentar
Ih, cerita yang keren.
Suka…
Bagus ceritanya