Sungguh sulit dipercaya, di tengah proyek modernisasi besar-besaran yang disponsori negara dan korporasi, orang-orang modern masih terjebak pada tradisi kolot yang tanpa disadari menggiring peradaban ke ujung tanduk; Di tengah tuntutan akan sesuatu yang selalu baru, yang sebenarnya juga semacam tradisi, mereka melanggengkan tradisi yang hanya logis jika didasari atas satu alasan: ahistorisitas. Wahai para penyadur laporan praktikum; pembaca salinan presentasi dosen; penadah recehan proyek dosen; pengutip daftar pustaka karya sebelumnya yang mana juga hasil salinan karya sebelumnya dan seterusnya, pernahkah kalian bertanya, tatanan macam apa yang kalian tuju? Atau setidaknya, memikirkan lamunan macam apa yang akan terbayang di masa tua kalian?
Sementara itu, para elit partai kampus yang juga tidak kalah kolot memajang senyum menyeringai di pinggir-pinggir jalan mengemis minta diperhatikan menjelang Pemilihan Raya Mahasiswa (Pemira) yang entah kehendak siapa. Perhelatan tahunan ini seakan ada begitu saja dan mahasiswa dipaksa mengamini pentingnya acara paling tidak penting ini. Comot isu UKT sedikit, pemaksaan cuti sedikit, Relokasi PKL sedikit, jadilah legitimasi untuk mendorong mahasiswa ikut serta memilih salah satu calon. Mahasiswa dibuai dengan lamunan penyelesaian persoalan mereka; diminta mengurusi ketua UKM yang sama sekali tidak punya posisi apa-apa dalam menentukan kebijakan; lalu menunggu dalam ketidakpastian.
Tidak adil juga sebenarnya menghakimi sikap pragmatis mahasiswa untuk mendapatkan nilai terbaik sebagai sesuatu yang salah. Sebab, mereka hanya orang-orang yang terjebak dalam sistem feodal pendidikan tinggi. Di tengah ketidakpastian masa depan yang ternyata tidak seindah bualan mimpi acara televisi, sikap semacam ini adalah sebentuk keputusasaan. Sudah tunduk patuh pada yang mulia dosen pun, tidak ada jaminan bakal mendapatkan penghidupan yang layak. Mereka masih harus mengantri dengan baju berkerah necis untuk memasukkan surat lamaran, menjadi buruh rendah yang dibuai pula mimpi bertengger di puncak karir yang hanya bakal didapatkan oleh segelintir orang yang mau menjilat pantat atasan sampai mengkilat.
Para elit partai kampus yang menjalin patronase dengan bapak-bapak mereka di parpol juga tidak bisa dihakimi begitu saja. Mereka butuh ajang untuk menampilkan diri bahwa mereka anak yang layak menjadi korban ambisi sang bapak mengikuti jejaknya. Tidak sedikit pula yang kemudian memutuskan untuk kembali menjadi mahasiswa taat, walaupun agak telat, dan ikut menjadi barisan pemuda terancam menganggur. Segelintir kader partai kampus yang lain, yang berhasil menokohkan dirinya setidaknya di kalangan mereka sendiri, melenggang ke parpol yang masih memiliki alur kaderisasi ke kampus.
Beruntung bagi mereka yang masih bisa menterjemah gerak daun yang tergantung di ranting yang letih, seperti kata Subagio Sastrowardoyo dalam puisinya Nada Awal. Jalan apa pun yang kemudian dipilih adalah sebentuk kesadaran diantara keterlenaan manusia-manusia modern akan bualan konstruksi korporasi. Dua dikotomi yang telah tersaji di atas hanya menggambarkan betapa kita tidak banyak berkutik selain hanya merawat kesadaran. Seperti kata tokoh fiktif Paman Doblang yang diciptakan WS Rendra, “Kesadaran adalah matahari. Kesabaran adalah bumi. Keberanian menjadi cakerawala. Dan perjuangan adalah perlaksanaan kata-kata.”
Demikianlah kesadaran berpolitik itu bermula. Politik bukan konotasi hina yang dibentuk politikus, bukan juga korporat, yang kemudian disebut juga politik-praktis. Politik adalah mengecek linimasa facebook begitu terbangun di pagi hari; juga ketidaktahuan muasal tiap butir nasi yang dijejalkan ke mulut; zat devolutif emisi gas karbon dari bahan bakar fosil yang memenuhi langit-langit kota. Beruntunglah bagi mereka yang masih tidak lupa caranya tertawa dalam merawat sikap politiknya untuk tidak begitu saja putus asa; menghidupi ruang-ruang alternatif; mendialogkan ide-ide progresif; dan menghindari hingar-bingar saling memuji para pemuja ketenaran.
Ahmad Syarifudin
Mahasiswa Sastra Indonesia FIB UGM