Judul : Confessions of an Economic Hit Man
Penulis : John Perkins
Penerjemah : Herman Tirtaatmaja dan Dwi Karyani
Penerbit : Abdi Tandur
Tebal Buku : 276 Halaman
Waktu Terbit : 2005
Dari dalam gedung putih, nasib jutaan rakyat di berbagai negara dipegang.
Amerika Serikat adalah salah satu negara adidaya di dunia saat ini. Selepas perang dunia II, Negeri Paman Sam seolah berlari menjadi kekuatan utama dunia bersama Uni Soviet (sekarang Rusia). Akan tetapi, Kedigdayaan Amerika Serikat tetap sejalan dengan teori modern world system milik Immanuel Wallerstein. Di dalam teori tersebut, Wallerstein mengatakan bahwa negara maju (Core) akan kembali menjajah negara kecil (periferal) dengan teknologi yang dimilikinya. Di berbagai belahan dunia, kita dapat melihat campur tangan gedung putih dalam perekonomian dan kebijakan suatu negara. Amerika Serikat memang tidak punya negara jajahan resmi saat ini, namun cakarnya mencengkram jutaan rakyat dari banyak negara.
Amerika Serikat menggunakan berbagai cara untuk mencapai kejayaannya saat ini, mulai dari cara diplomatis yang legal, hingga cara-cara hitam. Amerika Serikat dan CIA-nya disinyalir terlibat dalam berbagai peristiwa besar dunia yang akhirnya menguntungkan mereka. Misalnya saja peristiwa perang teluk, Al-Qaeda, pembentukan ISIS, dan sederet peristiwa yang akrab disebut sebagai konspirasi USA. Ada banyak sekali buku yang ditulis membahas objek masalah tersebut. Akan tetapi dari sederet buku tersebut, Confensions of Economic Hitman menjadi salah satu yang paling fenomenal. Buku ini telah memancing kontroversi di seluruh dunia, bahkan sejak penerbitan pertamanya. Maka pantas saja buku ini pernah mengalami penolakan oleh beberapa penerbit. Mereka terlalu takut untuk memproduksi buku yang kontroversial. Sementara itu si penulis sendiri, John Perkins, mengaku telah menerima berbagai ancaman pembunuhan atas karyanya ini.
Hal yang membuat buku ini menjadi begitu berbeda dari buku sejenis lainnya adalah fakta bahwa John Perkins, sang penulis, merupakan pelaku utama dari konspirasi-konspirasi yang telah dilakukan oleh Amerika Serikat. Perkins merupakan mantan jajaran petinggi MAIN, sebuah perusahaan konsultan Internasional yang bekerja untuk korporasi dan birokrat USA. Buku ini menceritakan berbagai pengalaman dan pengetahuan John Perkins selama menjadi EHM, Economic Hit Man (bandit ekonomi), dan mengabdikan diri untuk kapitalisme Amerika Serikat. Selama menjadi EHM, Perkins pernah bertugas di Indonesia, Panama, Arab Saudi, Iran, dan negara-negara berkembang lainnya.
Di dalam buku ini dijelaskan bahwa pasca perang dunia ke-II, Amerika Serikat terlibat dalam persaingan hegemoni dengan dunia komunis. Amerika Serikat yang pada saat itu menganut paham ekonomi liberal dan kapitalis, merasa terancam dengan dunia komunis dan ajaran sosialisme yang mereka tawarkan. Guna ‘menyelamatkan’ dunia dari komunis, para petingi USA mencetuskan ambisi kekuasaan global. Yaitu keharusan penguasaan Amerika Serikat terhadap ekonomi dan perpolitikan seluruh dunia.
Dalam mencapai usahanya tersebut dua kekuatan besar Amerika Serikat, korporasi dan birokrat atau biasa disebut korporatokrasi, bekerjasama. Keduanya sama-sama memiliki kepentingan atas kekuasaan global USA. Korporasi membutuhkan sumber daya negara-negara berkembang untuk memutar roda industrinya. Sementara itu birokrat membutuhkan ketundukan negara-negara lainnya dalam mendukung setiap kebijakan Amerika Serikat di kancah Internasional.
Guna mencapai tujuannya, korporatokrasi menyebar para Economic Hit Man (bandit ekonomi) ke berbagai negara berkembang. Economic Hit Man adalah para ekonom yang memiliki tugas resmi sebagai konsultan, yang akan membawa negara berkembang pada kemajuan industri modern. Para EHM akan menawarkan pembangunan seperti pembangkit listrik, bandara, dan infrastruktur lainnnya. Sehingga angka pertumbuhan ekonomi negara tersebut dapat melesat menuju angka-angka yang fantastis (yang sebenarnya digelembungkan). Akan tetapi, tugas sebenarnya para Economic Hit Man adalah untuk memastikan tujuan korporatokrasi dapat tercapai.
Berbagai intrik telah dilakukan EHM, dalam hal ini John Perkins, guna mencapai tujuannya. Di Indonesia sendiri pada akhir periode 1960-an, Perkins memakai pola yang unik dalam tugasnya. Pertama, EHM melakukan analisis kebutuhan energi Indonesia agar dapat mencapai tingkat pertumbuhan ekonomi tertentu. Tentunya angka-angka yang berkaitan dengan hal-hal yang positif seperti kesejahteraan, investasi, dan lain sebagainya, telah mendapat penggelembungan dan manipulasi agar terlihat menarik dan menggiurkan pemerintahan lokal. Setelah analisis tersebut diterima oleh Indonesia, Amerika Serikat dan Bank Dunia datang menawarkan bantuan hutang untuk pendanaan berbagai proyek yang diusulkan oleh para EHM. Kemudian dalam pemberian bantuan hutang tersebut, Amerika Serikat mengharuskan negara penerima menggunakan jasa korporasi Amerika sebagai kontraktor proyek-proyek tersebut.
Dalam skema kerjasama proyek yang bermula dari analisis para EHM tersebut, dapat terlihat bahwa keuntungan terbesar diperoleh oleh Amerika. Pertama, karena dana hutang yang mereka pinjamkan akan kembali berputar ke Amerika melalui pembayaran kepada korporasi-korporasi Amerika sebagai pelaku proyek. Sehingga bisa dikatakan bahwa Amerika Serikat tidak perlu mengeluarkan banyak uang dalam operasi EHM ini. Kedua, setelah proyek selesai pihak yang paling banyak menikmati listrik dan bandara tersebut sesungguhnya adalah pihak korporasi Amerika Serikat yang melakukan investasi di negara tersebut. Sementara Amerika Serikat meneguk untung, negara penerima bantuan telah jatuh ke dalam sumur hutang yang dalam.
Cara yang berbeda digunakan EHM pada negara Arab Saudi. Pada tahun 1970-an, Saudi Arabia mengancam melakukan embargo minyak kepada Amerika Serikat atas dukungannya terhadap Israel. Perkins yang ditugaskan untuk membujuk kerajaan Arab Saudi, melihat bahwa negara tersebut walaupun kaya, tetapi mengalami krisis lingkungan dan teknologi. Oleh karena itu, Amerika Serikat menawarkan pendampingan teknologi bagi kerajaan tersebut. Sebagai balasannya, Arab Saudi menjamin pasokan minyak untuk Amerika Serikat. Guna mencapai kesepakatan ini, Perkins harus melakukan berbagai sogokan kepada keluarga kerajaan. Bahkan menawarkan wanita kepada salah seorang anggota keluarga kerajaan. Hasilnya, kita bisa lihat saat ini betapa Amerika Serikat dan Arab Saudi menjadi sekutu yang sangat kuat di timur tengah.
Itu hanyalah salah dua dari berbagi aksi John Perkins selama menjadi EHM. Dalam lain kasus, tak jarang bahkan korporatokrasi melakukan manipulasi untuk melenyapkan pihak yang menentangnya. Meskipun dengan cara yang berbeda, namun semuanya memiliki tujuan yang sama. Korporat berhasil mengeruk sumber daya alam negara-negara berkembang. Sementara birokrat berhasil memastikan negara tersebut terlilit hutang yang tidak akan pernah mampu mereka bayar. Dengan demikian akan membuat negara tersebut tunduk mendukung setiap kebijakan Amerika Serikat.
Meskipun merupakan terjemahan, namun bahasa yang digunakan dalam buku ini mudah dipahami dan enak dibaca. Gaya penceritaan yang runtut berdasarkan waktu juga memudahkan pembaca memahami apa yang hendak disampaikan Perkins. Namun sayang, klimaks yang terlalu dini dapat membuat pembaca tidak tertarik untuk membacanya hingga akhir. Dari 35 bab dalam buku ini, 13 bab terakhir hanya menceritakan kegalauan Perkins dalam memutuskan untuk menulis kisahnya atau tidak dalam sebuah buku. Hal itu sangat berbeda dari bab-bab sebelumnya yang mampu memancing atensi dan mengaduk-aduk amarah pembaca.
Bagaimanapun juga, buku ini sangat bagus untuk dibaca. Tidak hanya untuk akademisi hubungan internasional ataupun ekonomi saja, tetapi untuk semua yang ingin mengetahui bagaimana sesungguhnya dunia mereka dikendalikan oleh segelintir orang. Buku ini menyajikan kebenaran sesungguhnya dari berbagai peristiwa-peristiwa besar dalam sejarah manusia, seperti pengalihan penguasaan terusan Panama, Kudeta Shah Iran, kerjasama Arab Saudi-Amerika yang membawa perubahan besar pada wajah Arab, hingga hubungan Amerika-Indonesia pada masa awal pemerintahan Soeharto, dan peristiwa-peristiwa lain yang Perkins terlibat di dalamnya.
Saat membaca buku ini, pembaca akan dibawa melompati jendela dan masuk kedalam dunia Perkins. Untuk kemudian menyaksikan intrik-intrik kelas atas yang berada disekelilingnya. Begitu selesai membaca buku ini, pembaca akan melihat dunia dengan cara yang tak lagi sama. (Tan Sjahiroel)