“Visi kita membentuk Jogja semakin hijau dan sejuk, serta berhati nyaman,” ucap Satyawan Pujiatmoko, Dekan Fakultas Kehutanan (FKT) UGM, membuka seminar pada Jum’at (27/11). Seminar yang bertajuk “Jogja Deposit Pohon Beton, Ruang Terbuka Hijau (RTH)-ku Dimana ?” itu diadakan oleh Lembaga Eksekutif Mahasiswa (LEM) FKT. Mereka mengangkat isu tersebut karena melihat pesatnya pertumbuhan bangunan di Yogyakarta, tetapi tidak disertai dengan tersedianya RTH yang mencukupi.
Diskusi yang bertempat di Auditorium FKT UGM itu, akhirnya dibuka oleh Ahmad Maryudi selaku moderator dengan mempersilahkan pembicara pertama, Prof. Dr. Chafid Fandeli. Chafid membenarkan permasalah semakin sempitnya RTH di Yogyakarta. Menurutnya keadaan itu terjadi melihat semakin padatnya penduduk di kota Yogyakarta mencapai sekitar lima belas ribu jiwa per kilometer persegi. Yogyakarta dengan 119 universitasnya baik swasta maupun negeri, juga perlu ruang untuk kegiatan studinya. Selain itu pertumbuhan hotel dan apartemen di Yogyakarta yang semakin marak, juga menambah masalah penyempitan RTH. “Dengan demikian, wajar jika RTH di Yogyakarta semakin sempit,” tegas pria yang juga dosen di FKT tersebut.
Menurut Chafid, RTH memiliki fungsi yang vital dalam suatu daerah perkotaan. Fungsi yang ia maksudkan disini seperti mengendalikan pencemaran udara, tanah, dan air di kota itu. Setelah masalah pencemaran terselesaikan, menurut Chafid, maka akan terwujud keseimbangan ekosistem dalam wlayah perkotaan. “Oleh karena itu, adanya RTH dapat membuat lingkungan sebuah kota menjadi lebih sehat,” ujar Chafid.
Chafid menjelaskan lebih lanjut, sebenarnya peraturan mengenai tersedianya RTH dalam wilayah kota sudah ditetapkan. Pasal 36 Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 2010 menjelaskan bahwa RTH dalam suatu kota minimal harus tiga puluh persen dari wilayah kota tersebut. Namun jika kita melihat diwilayah kota Yogyakarta sendiri jumlah tersebut malah kurang dari batas yang ditetapkan tersebut.
Totok Pratopo Ketua Pemerti Kali Code menawarkan progam restorasi sungai sebagai solusi permasalahan lingkungan. Menurutnya kehidupan tumbuhan berawal dari ketersediaan nutrisinya, dalam hal ini air. Maka dari itu dengan memperbaiki sungai sebagai salah satu sumber mata air, menurut Totok akan memberikan kehidupan untuk lingkungan di sekitarnya. “Melalui sungai kita dapat memberikan memulihkan RTH,” terangnya.
Chafid menambahkan solusi yang paling efektif untuk memperbaiki lingkungan adalah dengan menanam pohon. Ia menerangkan dalam akar pohon terdapat anoda dan katoda yang akan membersihkan pencemaran yang ditimbulkan oleh logam berat dalam tanah. Selain itu, Chafid menerangkan bahwa gas karbondioksida di udara juga akan diserap oleh pohon dan diganti dengan oksigen. “Oleh karena itu, pohon jadi solusi mudah yang terbaik,” ucapnya.
Solusi lain ditawarkan Joko Setyono, Sekretaris Badan Lingkungan Hidup (BLH) Yogyakarta. Tawarannya berupa menjalani hidup yang terinspirasi dari budaya Jawa, yaitu Mangasah Mingising Budi, Memasuh Malaning Bumi, Hamemayu Hayuning Bawana. Maksudnya disini yaitu harus selalu belajar tentang alam, sehingga timbul kesadaran untuk membersihkan masalahnya. Joko mengatakan bahwa setelah melakukan itu semua, maka tinggal menjaga dan melestarikan alam yang sudah indah.
Kemudian mengenai realisasi dari solusi-solusi yang ditawarkan, Joko memiliki pendapat tersendiri. Ia menekankan bahwa untuk memperbaiki lingkungan dimulai dari lingkup sosial yang paling kecil, yaitu kehidupan rumah tangga. Menurutnya kebiasaan memperbaiki sesuatu dari rumah masing-masing akan berdampak besar jika dilakukan secara menyeluruh oleh masyarakat. Hal itu senada dengan pendapat Maryudi, tetapi ia disini tidak menunjuk pada rumah tangga malah pada individunya masing-masing. Ia berkata demikian karena melihat pemerintah sekarang sudah memiliki banyak masalah untuk diselesaikan, baik lingkungan ataupun sosial.
Hal lain diungkapkan Albertus Regi Merian, salah seorang peserta seminar. Ia berharap semua pihak lah yang harus bertindak secepat mungkin untuk menyelamatkan lingkungan. Ia menambahkan bahwa kita tidak bisa menunggu lama-lama menunggu rusaknya lingkungan ini. “Lingkungan juga bisa marah, jika kita hanya bermain-main saja tanpa memperhatikannya,” pungkas Albertus. [Abdul Hakam]