Selasa (10/11) petang, Selasar Timur Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UGM tampak ramai oleh sekumpulan orang. Mereka sedang mengikuti sebuah diskusi bertajuk “Menolak Asap, Menolak Diam” yang diadakan secara kolektif oleh mahasiswa, dosen, hingga aktivis LSM. Penyelenggaraan diskusi ini bertujuan untuk mengawal isu asap yang sedang terjadi di Sumatra dan Kalimantan. Sebagai pemantik, sebuah film tentang pembakaran hutan di Sumatra pun ditayangkan. Selanjutnya, moderator membuka diskusi dengan mengenalkan tiga pembicara. Mereka adalah Dr. Maharani Hapsari, MA., dosen Hubungan Internasional UGM, Agus Sutomo, aktivis Lingkar Borneo, dan Ichsan, aktivis Earth Hour Indonesia.
Maharani memulai diskusi dengan pemaparan bahwa isu asap hanyalah dampak dari permasalahan yang lebih besar. Permasalahan tersebut adalah adanya eksploitasi hutan untuk pembukaan lahan kelapa sawit oleh beberapa perusahaan di Sumatra. Kelapa sawit menjadi salah satu komoditas yang strategis, lantaran merupakan bahan baku dari sebagian besar kebutuhan manusia. Oleh karena itu, perusahaan-perusahaan tersebut melakukan pembakaran hutan demi memperoleh keuntungan yang besar. Menurut Maharani, pembakaran lahan dilakukan oleh masyarakat lokal atas permintaan perusahaan. “Parahnya, masyarakatlah yang justru disalahkan,” ujar dosen yang disertasinya membahas tentang perkebunan kelapa sawit di Indonesia ini.
Menyambung pemaparan Maharani, Agus Sutomo menjelaskan eksploitasi hutan untuk pembukaan lahan kelapa sawit juga terjadi di Kalimantan, khususnya Kalimantan Barat (Kalbar). Aktivis yang akrab dipanggil Tomo ini menunjukkan peta persebaran perkebunan kelapa sawit di Kalbar. Dalam peta tersebut, ia menjelaskan bahwa hampir seluruh wilayah di Kalbar dijadikan perkebunan kelapa sawit. Hal ini menyebabkan masyarakat tidak dapat memanfaatkan tanah yang sudah sejak dulu mereka jaga. “Tindakan perusahaan-perusahaan ini menunjukkan terjadinya monopoli sumber daya alam,” paparnya.
Tomo menerangkan bahwa beberapa LSM yang peduli pada kasus ini, termasuk Lingkar Borneo, terus mengawal isu tersebut. Mereka berupaya untuk membawa kasus ini ke jalur hukum. Namun sayangnya, dari 597 perusahaan yang dilaporkan melakukan eksploitasi perkebunan kelapa sawit, hanya tujuh belas perusahaan yang ditetapkan bersalah.
Upaya untuk menanggulangi kasus ini juga disampaikan oleh Ichsan, aktivis yang tergabung dalam Earth Hour Indonesia. Upaya tersebut salah satunya melalui kampanye #beliyangbaik yang diinisiasi oleh World Wildlife Fund (WWF) Indonesia. Ichsan menerangkan, tujuh miliar penduduk di bumi adalah konsumen. “Melalui kampanye inilah, masyarakat diajak untuk berhenti mengonsumsi produk dari perusahaan kelapa sawit yang memanfaatkan SDA secara tidak terpuji,” jelasnya. Sebagai gantinya, masyarakat dapat beralih ke produk yang terdapat label Forest Stewardship Council (FSC) dan Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO). Dua label ini menunjukkan bahwa produk-produk tersebut dihasilkan dari hutan yang dikelola secara bertanggung jawab.
Menanggapi diskusi tersebut, Zulfi Apriyani, mahasiswa Jurusan Sosiologi ’14, berpendapat bahwa isu asap ini harus ditanggapi dengan serius. Ia berharap setelah diadakannya diskusi ini, aksi nyata dapat diwujudkan untuk menyelesaikan permasalahan. Tak hanya itu, ia juga berharap pemerintah juga dapat melakukan tindakan yang tegas. “Dengan begitu, masyarakat tidak terus-menerus dirugikan,” tukasnya. [Tri Utami Rosemawati]