Gelap malam perlahan terbias oleh pendar-pendar biru yang menyorot tiga pria di atas panggung. Dua di antaranya duduk di belakang seperangkat gamelan, sedangkan yang satu lagi berdiri di sisi kanan panggung. Perlahan jemari pria yang berdiri itu menari pada tombol-tombol klarinet. Kemudian, alunan lembut musik klarinet memenuhi gedung pertunjukan. Tubuh sang pemain bergerak luwes mengikuti irama. Dari samping tampak siluet wajahnya yang berhidung mancung. Pria ini adalah Ron Reeves, pemusik asal Australia. Ia memainkan pembuka dari komposisi Sweet Sap to Suite yang merupakan ciptaannya. Komposisi singkat ini menggabungkan beberapa alat musik tradisional dari Indonesia dan luar negeri.
Nada demi nada dihasilkan oleh klarinet dengan memesona. Para penonton mulai terbuai oleh permainan Ron dan pembawaannya yang memikat. Pria ini mengenakan setelan berwarna gelap dan sehelai bandana merah di kepala. Jari-jarinya bergerak dengan mantap di atas klarinet, didukung oleh pernapasannya yang stabil. Musik Ron yang terdengar mendayu-dayu membuat para penonton seolah terlempar ke nirwana. Perlahan alunan tersebut semakin lemah dan akhirnya berhenti sama sekali. Selama sekian detik suasana sunyi. Para penonton menahan napas, tak sabar menanti kelanjutannya.
Alunan siter dari Sudaryanto lalu memecah keheningan itu. Berbeda dengan Ron, ia mengenakan pakaian adat Jawa. Tangan kanannya menggesek dawai siter dengan lembut, sedangkan tangan kirinya menekan-nekan gagang siter sesuai nada. Matanya setengah terpejam dan ia tampak sepenuhnya larut dalam musik. Permainan Sudaryanto disusul oleh Anang yang menabuh gender, sejenis saron yang memiliki sepuluh hingga empat belas bilah logam. Alat musik tradisional itu menimbulkan suara yang meninggalkan kesan mendalam. Alunan gender dan siter sahut-menyahut dengan harmonis.
Ketiga pemusik ini berkolaborasi memainkan Sweet Sap to Suite. Komposisi tersebut diciptakan untuk memadukan beragam alat musik tradisional. Tak hanya memainkan alat musik, Sudaryanto juga membawakan tembang Jawa. Ia menyanyikannya secara lambat dan berulang-ulang bagai membaca mantra. Suaranya yang dalam berpadu dengan iringan alat-alat musik dari Ron dan Anang. Dengan gaya yang kompak, mereka berhasil memancing tepuk tangan meriah dari para penonton.
Tak hanya Ron and Friends yang beraksi malam itu. Setelah pertunjukan mereka usai, penampilan Lahere & Karinding Towel pun dimulai. Delapan orang berjalan beriringan masuk ke panggung. Setiap orang memegang karinding, yaitu alat musik tradisional yang terbuat dari pelepah kawung atau bambu. Alat musik ini terdiri dari bagian jarum tempat keluarnya nada, bagian untuk digenggam, dan bagian panenggeul (pemukul). Mereka memainkannya dengan cara memukul bagian panenggeul sehingga bagian jarum bergetar. Kemudian karinding dirapatkan ke rongga mulut dan terdengarlah suara yang khas. Harmoni yang mereka ciptakan mirip seperti suara air yang menetes-netes di kolam.
Setelah beberapa menit memainkan intro instrumental, kedelapan orang itu menghentikan permainannya. Kemudian, tiga orang yang membawa alat musik istimewa masuk ke panggung. Mereka memainkan kolaborasi instrumental yang bergaya unik dan sedikit mistis. Dua orang di antaranya membawa semacam kentongan yang diikat dengan tali. Mereka memutar-mutar alat ini sejajar dengan kepala sehingga tercipta suara mendengung. Sementara itu, orang yang satu lagi membawa alat musik dari kayu yang mirip busur panah. Ia juga memutar-mutarnya dengan luwes sehingga terdengar suara menebas-nebas. Ada pula dua orang lain yang memainkan seruling dan alat musik gesek. Perpaduan beragam suara itu menciptakan suasana yang menggetarkan jiwa.
Para pemusik yang tengah beraksi ini merupakan pencinta instrumen keluarga Lamelafon yang tergabung dalam grup Asosiasi Harpa Mulut Indonesia. Ada yang berasal dari Surakarta, Tuban, Banjarmasin, Bandung, Subang, hingga Padang Panjang. Setiap orang memiliki ciri khas dalam bermusik yang dipengaruhi oleh tempat kelahirannya. Sebagian alat musik yang dimainkan pun dibuat sendiri dari barang bekas. Pertunjukan mereka turut dimeriahkan oleh dua orang pemusik dari Amerika. Salah satunya adalah pria bernama Richard Bennet. Ia muncul dari arah tempat duduk penonton dengan membawa pianika. Perlahan, Richard berjalan ke panggung. Alunan pianika berciri khas blues mengiringi langkah-langkahnya. Jenis musik dari Amerika ini mengekspresikan kemurungan dan kesedihan.
Richard bukanlah satu-satunya pemusik asing yang menyedot perhatian penonton. Kemunculannya disusul oleh kedatangan Paula Jeanine Bennet di panggung. Perlahan alunan musik yang tadinya sedih berubah menjadi bersemangat. Terdengar melodi yang sudah akrab di telinga, disusul oleh suara Paula yang merdu. Kelompok ini memainkan tembang Jawa berjudul Cucak Rowo. Paula menyanyikan bait demi baitnya dengan menawan, “Manuke manuke cucak rowo, cucak rowo dowo buntute…. Buntute sing akeh wulune, yen digoyang ser-ser aduh enake…”.
Acara malam itu berhasil dimeriahkan oleh Ron and Friends serta Lahere & Karinding Towel. Ada juga dua kelompok lain yang tampil, yakni Gayatri dan Ensemble Kyai Fatahillah. Setiap kelompok memiliki ciri khas tersendiri dalam bermusik. Pesona mereka mampu meramaikan malam penutupan Yogyakarta Gamelan Festival (YGF) ini, Senin (17/8). Acara internasional tahunan tersebut telah diadakan sebanyak dua puluh kali. Tahun ini, terdapat beberapa rangkaian acara yang berlangsung pada 13-17 Agustus. Ada upacara tumpengan, sarasehan tentang gamelan, serta Pameran “Gamelanggeng” dan aneka konser di Taman Budaya Yogyakarta. Selama tiga hari, YGF menampilkan beragam pertunjukan gamelan yang berbeda. “Acara ini diharapkan mampu menyuarakan keberadaan gamelan dan mengajak setiap orang untuk berkontribusi,” ujar Setyaji Dewanto, General Manager YGF. [Ratu Pandan Wangi]