“Yang fana adalah waktu. Kita abadi:
memungut detik demi detik, merangkainya seperti bunga
sampai pada suatu hari
kita lupa untuk apa.
“Tapi, yang fana adalah waktu, bukan?”
tanyamu.
Kita abadi.”
Puisi di atas berjudul Yang Fana Adalah Waktu, diciptakan oleh Sapardi Djoko Damono pada 1978. Sastrawan dengan ciri khas puisi pendek dan sederhana ini meninggalkan tanda tanya dalam benak pembaca puisinya. Apa yang menginspirasi Sapardi dalam menciptakan puisi tersebut? Barangkali Sapardi tengah gelisah memikirkan keadaan masyarakat pada masanya. Kegelisahan akan keadaan masyarakat ini juga dirasakan oleh Yudi Ahmad Tajuddin, pendiri Teater Garasi, 36 tahun kemudian. Yudi pun tergerak untuk meminjam kalimat pertama pada puisi tersebut sebagai judul pertunjukan teater yang disutradarainya. “Teater Yang Fana adalah Waktu. Kita Abadi ini terinspirasi dari keadaan masa kini, khususnya pasca 1998,” ucap Yudi.
Teater yang awalnya berjudul Sehabis Suara tersebut ditampilkan di Pusat Kebudayaan Koesnadi Hardjasoemantri (24/06) dengan konsep pertunjukan yang unik. Keunikan dari pertunjukan ini adalah keterbukaan dan keterpaduan konsep panggung yang menyatukan ruang ganti pakaian dan ruang pentas. Dalam setiap babak, pemain berganti pakaian secara terbuka di depan panggung. Selain itu, teater ini menampilkan beberapa babak yang ditandai dengan masuknya pria berpakaian ala montir untuk mengatur tampilan panggung. Konsep pertunjukan ini menjadi salah satu keunikan pementasan Teater Garasi yang jarang dilakukan oleh teater lain.
Pertunjukan dimulai dengan kemunculan seorang pria berewok berbaju abu-abu di panggung yang berlatar putih. Badannya diserong ke sebelah kanan lalu ia mengayun-ayunkan tangannya. Merasa kurang pas dengan posisinya, ia menyerongkan badannya ke sebelah kiri bak orang yang sedang latihan tinju. Gerakan itu ia lakukan secara berulang dalam keheningan.
Seorang wanita berbaju merah lalu masuk ke bagian tengah panggung diiringi dengan musik. Wanita itu masuk dengan wajah kebingungan. Ia bersujud dan mendekatkan telinganya ke lantai seolah ingin menguping. Wanita tersebut kemudian berdiri dan melangkah ke depan panggung, lalu kembali bersujud dan mendekatkan kembali telinganya ke lantai. Ia berdiri lalu mundur ke tempat semula dan melakukan gerakan yang sama secara berulang.
Berbagai gerakan bebas dan berulang yang ditampilkan oleh pemain memang sudah menjadi ciri khas Teater Garasi untuk membebaskan pemainnya mengekspresikan pemaknaan terhadap tema pertunjukan. Pada awal pertunjukan ini, bagian yang paling menarik adalah ketika rekaman wawancara salah seorang korban PKI diputar dengan iringan musik yang menghentak. Suasana panggung berubah mencekam. Tiba-tiba, cairah berwarna merah bak darah menitik layaknya gerimis di atas panggung. Lantai dan dekorasi awan panggung yang berwarna putih berubah jadi merah. Panggung dihujani darah. Namun, pemain masih sibuk dengan tariannya meski tubuh sudah berlumur darah.
Selanjutnya, seorang pria bertopi dan berjaket ala koboy dengan bawahan sarung di pinggir kiri panggung mencoba mengecek suara mikrofon. “Cek cek cek satu dua tiga dicoba,” ucap pria tersebut. Ia mengarahkan laki-laki dengan pakaian ala montir untuk membersihkan panggung yang penuh darah tadi. Latar berganti menjadi suasana di salah satu ruang makan. Seorang ibu, yang mengenakan rok dan tutup kepala, maju ke depan panggung untuk bermonolog dengan mimik wajah yang polos. Ia menceritakan tentang keadaan keluarganya pada lebaran tahun 2002. Pertunjukan ini diselingi dengan aksi teatrikal para pemain yang bertingkah seperti anjing berebut daging. Melalui adegan ini, sang sutradara seolah menyinggung manusia yang banyak bertingkah seperti hewan untuk memenuhi isi perutnya.
Panggung kembali dimasuki lelaki berpakaian montir dengan mengatur panggung menyerupai keadaan di dalam angkutan umum. Suasana panggung berubah menjadi gaduh oleh suara kendaraan. Suara klakson mobil, knalpot motor, sirine ambulans saling beradu dan salip menyalip. “Melayu melayu melayu!” teriak salah seorang pria yang berpakaian seperti supir angkot dengan handuk kecil putih di lehernya. Sang sopir beberapa kali mengumpat karena dibuat mengerem mendadak oleh pengendara lain yang menyalip semaunya. “Oh Jakarta”, begitulah tema yang tengah dipertunjukan pada babak ini. Suasana yang digambarkan seolah bermaksud mengolok-olok kehidupan jalan raya Jakarta yang amburadul dan sumpek.
Pada pertengahan pertunjukan, Yudi mengutip karya penulis naskah drama asal Inggris, Howard Barker, sebagai latar suara. Karya yang dikutip adalah 13 Object yang merupakan naskah dengan tema ketidakamanan, kesedihan, keindahan, cinta, kehilangan, iman, seks, puisi, seni, dan persepsi. Panggung berganti latar menjadi sebuah ruang makan. Lantai panggung yang putih berubah menjadi hijau. Babak ini merupakan kelanjutan dari monolog ibu yang bercerita tentang suasana keluarga pada lebaran tujuh tahun kemudian. Hal yang cukup menarik perhatian pada babak ini adalah adanya sebuah monumen berbentuk patung manusia yang mengangkat tangan kanannya sebahu. Patung ini terletak di bagian kanan belakang panggung dan dibungkus dengan terpal biru.
Pertunjukan diakhiri dengan lagu “Syahid daku, syahidlah daku” yang dibawakan oleh pemain. Setelah lagu berakhir, pemain satu per satu masuk lalu melakukan tarian. Para pemain menari bebas mengikuti gerakan yang ingin dilakukan oleh tubuh mereka masing-masing. Dor! Dor! Dor! Salah seorang pemain berbaju hijau tertembak. Namun, ia tetap melanjutkan tarian dengan tubuh yang bercucuran darah. Musik semakin menghentak dan membuat suasana mencekam. Seorang pria duduk di sebuah kursi dengan megafon yang terkait pada helm di kepalanya. Pria tersebut lalu terangkat ke atas bersama kursi yang ia duduki. Panggung perlahan dipenuhi asap dan cahaya perlahan meredup, lalu gelap total.
Tepuk tangan riuh menandai berakhirnya pertunjukan. Sekali lagi, pertunjukan Teater Garasi tidak mudah ditebak alur ceritanya. Monumen yang tertutup terpal biru itu, misalnya. Persepsi tentang akan dibukanya penutup monumen pada bagian akhir pertunjukan ternyata salah. Monumen itu bukanlah sebuah hadiah yang akan dibuka pada akhir cerita untuk penonton. Namun, monumen itu adalah simbol. “Monumen itu menggambarkan ada suatu hal yang masih terus ditutupi, namun sebenarnya selalu menghantui kita khususnya pasca 1998,” ucap Erythrina Baskoro, salah seorang pemain pada pertunjukan ini. Monumen itu merujuk pada persoalan bangsa yang saat ini belum terselesaikan, yaitu PKI dan pembantaian 1998 yang sering disinggung pada dialog dan monolog pertunjukan.
Sang sutradara seakan berpesan bahwa ada yang belum tuntas pada momentum sebelum 1998 yang masih menjadi pekerjaan rumah bagi manusia pasca 1998 untuk diselesaikan. Kepadatan kota, permasalahan agama, pergaulan bebas, keluarga yang berantakan, tenaga kerja wanita, dan pengangguran merupakan gambaran dari persoalan sosial saat ini. Masyarakat jadi terlalu sibuk dengan persoalan-persoalan tersebut, sehingga ramai-ramai menutup mata, akan pekerjaan rumah soal berbagai tragedi kemanusian sebelum 1998 yang masih belum terselesaikan. [Sitti Rahmania]