Tepat tujuh belas tahun lalu, ratusan polisi berjajar rapi di luar gerbang UGM. Mereka memegang senapan yang ditodongkan pada muka-muka masam mahasiswa yang menuntut reformasi. Kamis (21/05) malam, Dewan Mahasiswa (Dema) Fisipol UGM merefleksikan kembali momen yang menjadi penanda berakhirnya orde baru ini. Dalam refleksi bertajuk “Mei Menggugat” Dema Fisipol mengajak masyarakat untuk menuai kembali ingatan atas sejarah Orde Baru.
Acara diisi dengan diskusi dan aksi menabur bunga. Nama orang-orang yang hilang disebutkan lagi demi mengupas tragedi kemanusiaan yang kian usang oleh perjalanan waktu. Lewat aksi simbolik ini, Dema Fisipol ingin menekankan pentingnya mengingat dosa kemanusiaan yang belum dituntaskan pemerintah. “Itu mengapa kita disini, yaitu untuk menggugat pemerintah agar segera menyelesaikan kasus HAM di Indonesia,” seru Gehan Ghofari, fasilitator aksi malam itu.
Amalinda Savirani, mantan aktivis 1998 yang ditunjuk sebagai pengisi diskusi, mengamini pendapat Gehan. Ia menambahkan bahwa reformasi adalah proses yang urung selesai. Kasus petani Rembang, Kulon Progo atau perampasan tanah untuk pendirian hotel adalah bentuk baru pelanggaran HAM di Indonesia. “Bedanya, dulu yang dilanggar adalah hak politik. Kini, hak ekonomi juga ikut dilanggar,” sesalnya.
Di titik inilah mahasiswa harus bersikap kritis untuk menggugat pemerintah. Linda lalu bercerita tentang gelora mahasiswa saat itu. “Dulu paling takut kalau tertangkap polisi, tapi kita tetap demo besar-besaran untuk mengkritik pemerintah yang absolut,” kenangnya.
Linda menekankan, mengingat lagi demonstrasi mahasiswa ’98 tak membuat mahasiswa terjebak pada heroisme masa lalu. Di setiap masa, mahasiswa merupakan titik nadir sebuah perlawanan. Lewat demonstrasi dan aksi, mahasiswa mampu mengobarkan semangat perlawanan itu. “Mahasiswa adalah satu-satunya aktor penyeimbang pemerintah yang tak bisa ditunggangi kepentingan politik dan ekonomi,” tegasnya.
Menurut Linda, demonstrasi tak bisa dimaknai sekedar metode unjuk rasa. Lebih dari itu, demonstrasi adalah tentang menyusupkan nilai pada masyarakat secara luas. “Di titik ini, demonstrasi adalah pengejawantahan fungsi mahasiswa sebagai moral force,” tutur Linda.
Linda mengatakan bahwa demonstrasi menjadi ciri khas mahasiswa yang masih muda dan berani melawan. Sebaliknya, cara lobi politik dan negosiasi adalah cara orang tua yang tak berani bertentangan langsung. “Cara diplomasi dengan makan bersama, itu kan cara orang yang sudah menyerah,” tandas Linda.
Meski peringatan 21 Mei tak disertai dengan demonstrasi besar di Yogyakarta, Gehan berharap aksi damai malam ini justru menarik empati masyarakat. Selama ini masyarakat dan mahasiswa cenderung apatis dengan demonstrasi yang mengganggu lalu lintas. Menurutnya, dengan aksi damai seluruh kalangan dapat menerima substansi yang diwacanakan. ‘Di titik itulah fungsi kami sebagai moral force tetap terjaga,’ tutur Gehan. [Ganesh Cintika Putri]