Korporasi selalu berusaha menguasai negara untuk mencapai kepentingan-kepentingan kapitalistisnya.
Freeport telah melakukan aktivitas pertambangan di bumi Papua sejak 1967, tepatnya di Gunung Erstbeg, tanah Amungsa. Sejak awal kedatangannya, korporasi ini telah memicu banyak sekali konflik dengan warga lokal di tanah Amungsa. Bahkan, tak jarang konflik tersebut memakan korban jiwa dari masyarakat lokal. Ironisnya, pemerintah yang seharusnya dapat menjadi penengah, malah selalu mengambil sikap membela Freeport. Pemerintah bahkan tak segan untuk menurunkan satuan terbaiknya, Komando Pasukan Khusus (Kopassus), untuk menyerang warga lokal, demi melindungi kepentingan korporasi.
Sikap berat sebelah pemerintah dalam setiap konflik yang melibatkan Freeport, tak hanya terjadi pada masa orde baru yang sarat militerisme dan KKN. Akan tetapi, sikap tersebut juga terjadi pascareformasi, periode yang dianggap sebagai titik balik demokrasi dan HAM di Indonesia. Pada masa orde baru, konflik yang terjadi melibatkan Freeport dan masyarakat adat yang menentang keberadaannya. Herman Muningof, seorang uskup Jayapura, menuliskan bahwa pada periode ini terdapat ratusan masyarakat asli Papua yang disiksa dan dihabisi oleh TNI. Mereka dianggap menentang keberadaan Freeport.
Pada masa itu, siapa pun yang menentang Freeport akan langsung dicap sebagai simpatisan OPM oleh TNI, sehingga boleh dihabisi. Sementara setelah reformasi, konflik yang terjadi membawa isu kesejahteraan buruh dan pendulangan emas liar oleh warga. Sedikitnya satu orang buruh dan tiga pendulang emas tradisional tewas di kawasan Freeport, ditembak oleh polisi dan TNI. Deretan peristiwa-peristiwa tersebut menunjukkan keberpihakan pemerintah terhadap korporasi asing yang bermodal besar.
Kenyataan tersebut di atas membuat Adrianus Bintang Hanto Nugroho menulis tesis berjudul Kekuatan Modal dan Perilaku Kekerasan Negara Pada Masa Orde Baru dan Pasca Orde Baru. Mahasiswa S-2 Hubungan Internasional UGM ini mengambil Freeport McMoran sebagai obyeknya. Freeport adalah salah satu korporasi asing pertama di Indonesia, setelah UU. No.1 tahun 1967 tentang penanaman modal asing dikeluarkan. Adrianus menggunakan studi pustaka sebagai metode pengumpulan data. Hal ini sebagai upaya untuk melihat pola pendekatan yang dilakukan Freeport dalam mempengaruhi pemerintah, baik pada masa orde baru mau pun setelahnya.
Pada masa orde baru pemerintahan Republik Indonesia berjalan secara asimetris, lembaga eksekutif jauh lebih superior dibandingkan lembaga lainnya. Dalam situasi tersebut, Freeport cukup mendekati Presiden Soeharto dan kroni-kroninya untuk dapat mempengaruhi negara. Cara-cara seperti ini disebut sebagai upaya untuk menguasai posisi-posisi penting. Pemilik modal mampu mempengaruhi kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah, meskipun tidak memliki posisi apa pun di dalam pemerintahan.
Adrianus mengatakan, Freeport menggunakan beberapa cara untuk mendekati Soeharto. Cara Pertama dilakukan dengan membangun hubungan emosional. Salah seorang petinggi Freeport yang dikenal dekat dengan Soeharto adalah James Moffet. Awalnya, Moffet dikenal akrab dengan orang-orang kepercayaan Soeharto, seperti Ginandjar Karatasasmita (Menteri Pertambangan dan supupu Soeharto) dan Mohammad Hasan (penasihat Soeharto). Melalui orang-orang ini lah Moffet dapat berkenalan dengan Soeharto dan menjadi akrab dengan keluarganya.
Cara kedua dilakukan dengan memberikan sejumlah uang. Sejak 1980, Freeport telah membiayai sejumlah penerbangan Soeharto dan keluarganya ke luar negeri. Bahkan, kutipan Adrianus dari buku Denis Light, Freeport in Suharto’s Indonesia, mengatakan bahwa sejak tahun 1994, Freeport membayar 5-7 juta dollar per tahun kepada Soeharto sebagai upeti atas perbaruan kontrak pada tahun tersebut. Cara terakhir adalah dengan membagi beberapa persen saham kepada Soeharto. Pada 1991, Freeport menjual 10 persen sahamnya kepada Soeharto dengan suatu mekanisme rumit yang melibatkan Mohammad Hasan dan Aburizal Bakrie.
Sementara pascareformasi, Freeport menghadapi situasi negara yang lebih demokratis. Lembaga eksekutif, legislatif dan yudikatif berada dalam posisi yang seimbang dalam pemerintahan. Dalam situasi tersebut, korporasi dituntut mengubah cara-cara pendekatannya. Kekuasaan yang tak lagi terpusat kepada presiden, membuat mereka harus juga mendekati instansi-instansi lain. Hal ini tampak dari kedekatan mereka dengan petinggi-petinggi TNI, Polri, dan Pemerintah Daerah.
Laporan keuangan Freeport menunjukkan bahwa sejak 2001 hingga 2010, telah menggelontorkan dana 79,1 juta dollar kepada Polri dan TNI sebagai bayaran atas perlindungan yang mereka berikan. Sementara itu, dana CSR milik Freeport yang banyak dialokasikan kepada daerah, berhasil membuat Pemerintah Daerah bersimpati, bahkan bergantung pada Freeport. Hasilnya, Freeport pasca orde baru tetap disokong oleh pemerintah. Bahkan pada tahun 2007, Freeport dimasukkan ke dalam 126 objek vital negara, sehingga berhak mendapatkan perlindungan TNI dan Polri.
Dari uraian di atas, dapat dilihat bahwa modal raksasa yang dimiliki korporasi mampu menjadi suatu kekuatan yang amat besar. Melalui kekuatan ini, korporasi tetap dapat mempengaruhi pemerintah, meski situasi dan kondisi negara berubah. Korporasi tetap dapat menguasai posisi-posisi penting dengan menerapkan strategi lain untuk menghasilkan kebijakan-kebijakan yang menguntungkan mereka. Hal ini sejalan dengan pemikiran Millband, bahwa kapitalis (yaitu korporasi) dapat menggunakan negara sebagai instrumen untuk mencapai kepentingannya. Bagaimana pun, kolonialisme, atau upaya menguasai negara, apa pun bentuknya adalah ujung tombak bagi para kapitalis dalam mengembangkan usahanya untuk membangun dominasi di dalam masyarakat.
Tesis ini ditulis dengan bahasa yang sederhana dan narasi yang baik, sehingga dapat dipahami oleh semua pembaca, bahkan oleh orang yang awam dalam masalah politik kepentingan. Namun sayang, tesis ini “miskin” penjelasan atas beberapa istilah dan subjek yang terdapat didalamnya. Hal ini membuat pembaca harus menerka-nerka maksud dari istilah dan subjek tersebut. (TanSjahiroel)