“Yogyakarta adalah tempat di mana anak-anak yang peduli Indonesia dan peduli energi bisa berkumpul,” ujar Hendarko Hinu Hardhanto, ketua komunitas Together We Save Energy (TWSE) membuka acara Sarasehan Aktivis Energi. Kegiatan yang diadakan di Djendelo Café Rabu 20 Mei ini mengangkat tema “Masa Depan Energi Indonesia” dan mengundang sepuluh komunitas untuk berpartisipasi. Komunitas-komunitas tersebut adalah Dewan Energi Mahasiswa (DEM), Koalisi Pemuda Hijau Indonesia (Kophi) Jogja, BEM KMFT UGM, Komunitas Muda Nuklir Nasional (Kommun), Young on Top (YOT) Yogyakarta, Earth Hour Jogja, Society of Petroleum Engineers (SPE) UGM-SC, Gerakan Indonesia Berdaulat (GIB), Komunitas Mahasiswa Sentra Energi (Kamase), dan TWSE selaku penggagas kegiatan.
Topik pertama yang dibahas adalah tentang isu menipisnya cadangan minyak dan gas. Andita Victor Bayu Nugraha, anggota SPE UGM-SC, justru menyangkal isu tersebut. “Seperti yang dikatakan oleh Humas SKK Migas, Rudiarto Rimbono, minyak dan gas itu sebenarnya tidak akan pernah habis karena keberadaan hidrokarbon itu berlapis-lapis di bumi ini,” tegas Victor. Menurutnya, yang menjadi masalah adalah proses eksplorasi yang cenderung tidak mudah dan membutuhkan investasi besar.
Lain lagi dengan Chairil Linggabinangkit selaku ketua KAMASE, organisasi yang bergerak di bidang energi terbarukan. Ia menambahkan, selama ini penggunaan energi terlalu fokus pada minyak dan gas. Chairil berharap, kecenderungan terhadap minyak berkurang dan masyarakat mulai terbuka dengan energi terbarukan. “Bicara tentang energi berarti bicara tentang keseimbangan aspek ekonomi dan lingkungan,” lanjutnya. Ia berpendapat bahwa diversifikasi energi terbarukan dan non-terbarukan dapat menjadi solusi penyeimbang keduanya.
M. Rizki Oktavian selaku anggota Kommun menjelaskan bahwa efisiensi nuklir jauh melebihi sumber energi lain. Energi dari reaksi nuklir yang dihasilkan oleh 1 kg uranium setara dengan 2,5 kiloton batubara. Namun, pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) di Indonesia masih terganjal kebijakan pemerintah. Hal lain yang juga menjadi masalah adalah mengenai mahalnya investasi awal dan penerimaan masyarakat. “Demonstrasi besar-besaran di Jepara dulu terjadi lantaran wacana pembangunan PLTN di Gunung Muria,” jelas Rizki.
Selain isu negatif tentang nuklir, mekanisme kebijakan juga menghambat pemanfaatan potensi energi lain seperti minyak, gas, dan energi terbarukan di Indonesia. “Kebijakan energi akan selalu bergantung kepada political will ,” ucap David Thamrin S., ketua DEM. Dalam membuat kebijakan energi, pertimbangan politis pemerintah memperhitungkan tiga aspek yaitu produksi, implementasi, dan konsumsi. Pemerintah kesulitan mengalihkan sumber energi yang sudah ada ke sumber lainnya. David menjelaskan bahwa mengubah sumber energi berarti mengubah gaya hidup dan banyak aspek lainnya secara luas.
Diskusi kemudian diarahkan untuk membicarakan peran pihak-pihak terkait isu energi. Dimas Ardy F. dari BEM KMFT menghimbau untuk selalu mempertimbangkan rakyat dalam setiap perbincangan dan kajian tentang energi. Oleh karena itu, Dimas menyebutkan bahwa mahasiswa memiliki peran sebagai lidah penghubung antara kebijakan pemerintah dan kebutuhan masyarakat. Kophi juga turut mengutarakan perlunya komunitas turun ke masyarakat. “Yang paling penting adalah bagaimana hal-hal yang kita lakukan dirasakan manfaatnya oleh masyarakat,” ujar Lalu Hendri Bagus Setiawan selaku ketua Kophi Jogja.
Berbagai komunitas lain yang hadir juga turut menyampaikan gagasannya mengenai isu energi dan kontribusi yang dapat dilakukan untuk mengawalnya. “Mahasiswa perlu turun langsung dan melakukan pendekatan kepada masyarakat dalam menyuarakan isu energi,” cetus Rizky Rachmadi dari YOT Yogyakarta. Ia mengatakan bahwa orang-orang berubah bukan karena mereka tahu apa yang lebih baik untuk mereka, tetapi karena mereka kenal dengan siapa yang mau mengubah hidup mereka. [Warih Aji Pamungkas]