Unit Kegiatan Mahasiswa merupakan wadah bagi mahasiswa untuk melakukan kegiatan non-akademik. Akan tetapi, bagaimana jadinya bila kegiatan non-akademik menjadi bagian dari penilaian akademik?
Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) merupakan ajang bagi mahasiswa untuk mengembangkan bakat dan potensinya dalam berbagai bidang yang diminati. Mahasiswa bebas memilih kegiatan yang diinginkan karena UKM bukanlah suatu kewajiban. Di samping itu, mahasiswa dapat memutuskan untuk mengikuti UKM atau tidak, karena UKM hanya sebagai pendukung kegiatan akademik.
Saat ini pihak universitas berencana menghargai keikutsertaan mahasiswa di dalam UKM dengan menjadikan UKM sebagai bagian dari Satuan Kredit Semester (SKS). Belum ada mekanisme yang jelas mengenai rencana kebijakan ini. Namun, jika rencana ini diwujudkan, mahasiswa seakan diwajibkan untuk mengikuti UKM. Pihak direktorat meyakini bahwa memasukkan UKM sebagai bagian dalam perhitungan SKS merupakan gagasan yang bagus.
Masuknya UKM ke dalam SKS dapat menjadi nilai tambah bagi mahasiswa. Ketika lulus, mahasiswa akan mendapatkan pendamping transkrip nilai berupa surat keterangan keikutsertaan mereka dalam kegiatan non-akademik.
Di sisi lain, bila rencana tersebut diwujudkan kiranya dapat menimbulkan keterpaksaan bagi mahasiswa yang tidak berminat mengikuti UKM. Keikutsertaan mereka di dalam UKM bukan lagi karena niat untuk menyalurkan atau meningkatkan potensi non akademiknya, melainkan sekadar memenuhi kewajiban yang dikehendaki oleh universitas. Selain itu, aktivitas yang berlangsung di dalam UKM pun cenderung tidak maksimal, sebab banyaknya anggota yang hanya ingin memenuhi tuntutan SKS.
Menanggapi dilema tersebut, divisi riset BPPM Balairung melakukan jajak pendapat untuk mengetahui reaksi dan pendapat mahasiswa UGM mengenai wacana UKM yang dimasukkan ke dalam SKS. Jajak pendapat dilakukan melalui kuesioner yang disebar kepada 76 mahasiswa di 18 Fakultas dan sekolah Vokasi di UGM. Melalui jajak pendapat tersebut dapat diketahui bahwa 35,5% responden menyetujui penghargaan UKM sebagai SKS. Sisanya, 64,5% responden tidak menyetujuinya.
Ada beberapa alasan yang dilontarkan oleh 35,5% responden yang menyetujui rencana ini. Alasan yang paling banyak adalah agar kemampuan mahasiswa tidak hanya dilihat dari segi kognitif atau intelegensi, tetapi juga bakat. Alasan lain yang dipilih oleh 17,2 % responden yang mendukung UKM dimasukkan ke dalam SKS, yakni agar keterlibatan mahasiswa di UKM lebih dihargai, sedangkan 10,3% dari mereka, memilih agar UKM dapat meningkatkan indeks prestasi (IP).
Lebih dari separuh responden, atau tepatnya 64,5% responden yang tidak menyetujui adanya rencana ini juga menyatakan alasannya. Berbagai alasan yang dipilih oleh responden antara lain UKM dapat membebani kemampuan fisik mahasiswa, mengganggu kegiatan luar kampus, dan mengurangi waktu belajar.
Selain ketiga alasan tersebut, terdapat 39,6% responden yang memilih opsi lainnya. Alasan yang paling banyak dikemukakan adalah, mereka merasa terpaksa bila diwajibkan mengikuti UKM. Jika UKM dijadikan mata kuliah wajib, maka semua mahasiswa diwajibkan ikut UKM. Hal ini tentunya tidak menjadi masalah bagi mahasiswa yang berminat mengikuti UKM. Namun, kewajiban tersebut memberatkan mahasiswa yang tidak berminat. Menurut mereka, UKM hanya sebagai wadah pengembangan bakat dan kreatifitas, bukan sebagai penambah indeks prestasi (IP).
Pengertian IP menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), adalah angka yang menunjukkan prestasi seseorang dalam belajar atau bekerja, dalam hal ini kaitannya dengan prestasi mahasiswa di bidang akademik. Apabila mengacu pada pengertian tersebut, UKM yang merupakan kegiatan non-akademik kurang tepat bila dimasukkan ke dalam SKS dan diukur melalui IP. Hendaknya UKM disesuaikan dengan kurikulum yang kini dipergunakan oleh masing-masing jurusan, misalnya terkait sistim penilaian.
Permasalahan lain yang perlu dipertimbangkan sebelum merealisasikan rencana ini adalah ketatnya persaingan mahasiswa untuk menjadi anggota tetap UKM. Banyak UKM yang memiliki kuota terbatas dalam penerimaan anggota baru. Selain itu, proses perekrutan di beberapa UKM juga terbilang panjang. Bahkan, tak sedikit mahasiswa yang gagal dalam serangkaian kegiatan seleksi penerimaan anggota baru.
Menurut data di lapangan, sebanyak 10,5% responden pernah gagal masuk seleksi UKM satu kali dan 2,6% yang lain pernah gagal sebanyak dua kali. Jika mahasiswa gagal memasuki UKM yang diinginkan, mereka pun terpaksa mengikuti UKM yang tidak diminati. Hal ini kiranya membuat peran keanggotaan mereka hanya setengah hati, sehingga hasilnya kurang maksimal.
Pada dasarnya, UKM memang bermanfaat untuk mengembangkan kreatifitas dan keterampilan mahasiswa. Gagasan untuk memasukkan UKM ke dalam SKS kiranya dapat menjadi rencana yang positif. Peran dan keikutsertaan mahasiswa di UKM yang dihargai dalam bentuk IP dapat membantu mahasiswa yang tidak terlalu unggul dalam hal akademik.
Di sisi lain, rencana ini dapat menjadi momok bagi beberapa mahasiswa, sebab terkesan membatasi dan memaksa mereka untuk mengikuti UKM. Tak dapat dipungkiri, mahasiswa lah yang lebih berhak untuk menentukan keikutsertaannya baik di dalam mau pun di luar universitas.[Dita, Risma]
1 komentar
Akan lebih baik jika survei dibedakan menjadi 2: pandangan mahasiswa yang sedang/telah mengikuti UKM dan mahasiswa yang tidak mengikuti ukm tentang wacana diharuskannya mahasiswa mengikuti ukm