Pagi itu, Minggu (26/04), suasana Pusat Studi Kebudayaan (PSK) UGM tampak ramai. Terlihat di antara mereka beberapa sastrawan kawakan, seperti Iman Budhi Santosa, Mustofa W. Hasyim, Ulfatin C.H., dan Budi Sarjono. Mereka berkumpul dalam rangka melakukan diskusi dengan guru-guru yang tergabung dalam Musyawarah Guru Mata Pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia se-Yogyakarta. Diskusi yang bertajuk âDialog Bahasa dan Sastra Guru Bahasa Indonesia bersama Sastrawanâ ini berlangsung mulai pukul 9.30 hingga 12.00. Menurut Dr. Aprinus Salam, M.Hum., selaku Kepala PSK, diskusi ini merupakan diskusi pertama terkait sastra yang diminta secara langsung oleh sastrawan. âDiskusi antara sastarawan dan guru Bahasa dan Sastra Indonesia dilaksanakan atas inisiatif dari sastrawan yang merasa prihatin dengan kemampuan guru-guru Bahasa dan Sastra Indonesia, serta minimnya minat siswa terhadap sastra,â tutur Aprinus.
Diskusi yang lebih menitikberatkan pada proses berbagi pengalaman mengenai bahasa dan sastra ini dilakukan dengan metode sharing. Diskusi diawali dengan penyampaian kegelisahan para guru selama mengajar bahasa dan sastra. Berdasarkan keterangan dari beberapa guru, mayoritas permasalahan yang mereka alami adalah pengembangan kreativitas. Seorang peserta diskusi yang merupakan guru SMAN 1 Yogyakarta mengatakan bahwa salah satu faktor penghambat kreativitas adalah banyaknya penekanan pada hal-hal yang bersifat teori. âKami sebagai guru merasa banyak hal yang teoritis yang lebih ditekankan dalam pembelajaran, sehingga sulit untuk menciptakan proses kreatif,â tutur Budi Nugroho, S.Pd.,.
Lebih lanjut, Sri Marlina S.Pd., M.A. selaku guru MA Mu’allimaat, mengatakan bahwa permasalahan lainnya adalah masih dinomorduakannya mata pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di sekolah. Hal ini terlihat dari kebijakan di berbagai sekolah yang lebih memfokuskan mata pelajaran eksak daripada bahasa. Bahkan di beberapa sekolah, Bahasa dan Sastra Indonesia tidak masuk ke dalam fokus pembelajaran karena dianggap tidak sulit dan sangat mudah meraih nilai tinggi. Salah satu contohnya adalah SMAN 4 Yogyakarta.
Menurut pemaparan Siti Mulyani, S.Pd., M.Hum., guru Bahasa dan Sastra Indonesia di SMAN 4 Yogyakarta, para siswa di sekolah ini tidak terlalu memperhatikan pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia. Hal ini karena nilai rata-rata siswa ketika Ujian Nasional telah mencapai A. âSaya berdoa semoga tahun ini, sekolah kami mendapat nilai rata-rata B untuk Bahasa dan Sastra Indonesia agar mata pelajaran ini lebih diperhatikan lagi oleh siswa,â ujarnya.
Menanggapi keluh kesah guru bahasa dan sastra Indonesia, Iman Budhi Santosa mengatakan bahwa menjadi guru merupakan tantangan yang berat. Seorang guru harus lebih mengutamakan kekreatifannya dalam berkreasi ketimbang mengurusi hal-hal yang sifatnya administratif. Selain itu, seorang guru harus mempelajari teori-teori yang berkaitan dengan Sastra Indonesia. Hal ini menjadi penting mengingat fungsinya sebagai akademisi. âBerbeda dengan para sastrawan yang tidak membutuhkan teori ketika menulis, seorang guru tetap harus mempelajari teori-teorinya,â tambah Iman.
Diskusi yang menjembatani sastrawan dengan guru Bahasa dan Sastra ini terlaksana dengan baik. Hal ini dikarenakan tersampaikannya beberapa aspirasi dari para guru mengenai pembelajaran Bahasa dan Sastra serta kreativitas menulis baik guru ataupun siswa. Aprinus mengatakan bahwa tidak menutup kemungkinan diskusi seperti ini akan dilaksanakan kembali. Â Â Â Â Â Â Â Â Â Mengingat diskusi kali ini hanya sebatas dialog, tujuan yang diharapkan adalah para sastrawan memahami permasalahan yang dialami oleh guru-guru Bahasa dan Sastra Indonesia. Tak hanya itu, dialog ini juga diharapkan dapat meningkatkan kemampuan guru di bidang Bahasa dan Sastra Indonesia. Pada akhir diskusi Aprinus mengatakan bahwa PSK sangat terbuka dan bersedia untuk memfasilitasi diskusi yang berkaitan dengan bahasa, sastra, dan juga budaya. âPSK siap untuk mewadahi diskusi dan pertemuan-pertemuan seperti ini,â tutupnya. [Abiyyu, Â Juli]
Â