“Pembangunan desa tidak hanya bersifat fisik namun juga penyejahteraaan rakyat,” ujar Sri Sultan Hamengkubuwono IX pada bangsal Kepatihan, Sabtu (31/1). Kali itu Sultan memberikan materi sebagai pemantik diskusi dalam acara Obrolan Rakyat. Ratusan orang yang terdiri dari pemuda Karang Taruna, mahasiswa, Kepala Desa, dan PNS dari berbagai SKPD di DIY mengikuti diskusi yang bertajuk “Undang-Undang Desa dalam Kerangka Keistimewaan Yogyakarta”. Acara ini mendatangkan dua pembicara, yakni Budiman Sudjatmiko selaku mantan Ketua Panitia Khusus (Pansus) UU Desa dan Sultan Hamengkubuwono X. Kedua pembicara tersebut memantik diskusi mengenai implementasi UU Desa No. 6 Tahun 2014 di Yogyakarta.
Sebelum pemberlakuan UU Desa, Yogyakarta telah memberlakukan UU Keistimewaan, yaitu UU No. 13 tahun 2012. Lima keistimewaan yang dimiliki Yogyakarta diakomodasi melalui Dana Keistimewaan (Danais). “Setiap kawasan yang ingin memajukan kawasannya terlebih dulu harus mengajukan proposal. Setelah disetujui barulah dana bisa dikucurkan,” ungkap Sultan. Ia menjelaskan, selama ini potensi desa hanya terwakili oleh kawasan. Kawasan tersebut dapat terdiri dari beberapa desa yang memiliki ciri khas yang sama. “Jadi pemanfaatan Danais harus jelas, tidak boleh sekadar hibah,” tambahnya.
Pasca dikeluarkannya UU Desa, ketentuan mengenai desa mengalami perubahan. Desa diberikan otonomi yang lebih besar. Salah satu konsekuensinya, pendanaan masing-masing desa sudah ditentukan besarannya. menyimpulkan adanya pendanaan yang lahir atas beberapa UU membutuhkan kesinambungan. “Kita perlu mengawinkan antara UU Desa, UU Otonomi Daerah, dan UU Keistimewaan. Tentu ini terkait dengan penggunaan APBD, APB Desa, dan Danais,” papar Gubernur DIY tersebut.
Penerapan UU Desa menimbulkan perubahan dalam kelembagaan. Sultan mengungkapkan, perubahan kelembagaan telah meminta bantuan dari berbagai pihak, termasuk universitas. Konsekuensinya, kelembagaan masing-masing kabupaten/kota bisa tidak sama, disesuaikan dengan kebutuhannya. Kebutuhan tersebut di antaranya adalah dalam hal pengawasan. Beberapa penanya seperti Anton Kusumo pun menyatakan kehawatirannya akan penerapan UU Desa. Ia mempertanyakan integritas perangkat desa yang ada sekarang. “Bagaimana pengawasan terhadap penggunaan dana desa tersebut supaya tidak ada yang korupsi?” tanyanya.
Kekhawatiran akan korupsi ini membuat Sultan menjabarkan, pengawasan terhadap pengelolaan dana desa akan dilakukan oleh mekanisme asistensi. “Kami akan membentuk tim tersendiri untuk menjalankan pengawasan dan asistensi terhadap pengelolaan dana desa,” ujarnya. Sultan juga menambahkan, dirinya berharap agar mekanisme pengawasan ini dapat dilakukan secara mandiri oleh masyarakat desa. Ia mencontohkan, pengawasan mandiri ini dapat ditempuh dengan transparansi proyek pembangunan yang harus dilakukan oleh perangkat desa. “Nanti, jika warga desa menemukan kejanggalan atau indikasi korupsi, maka bisa langsung melaporkannya,” ungkap Sultan.
Peluang korupsi dan penyelewengan memang meliputi penerapan UU desa. Tambah lagi, menurut Budi, salah satu penasihat Jokowi saat masa Pemilu 2014, nilai dari UU Desa adalah membangun kesejahteraan masyarakat desa. Angka kemiskinan yang menginjak 10 % yang berasal dari desa, diharapkan dapat menurun. Arie Sudjito, Sosiolog UGM selaku moderator berkesimpulan, “Desa yang selama ini menjadi objek, kini dituntut menjadi subjek.”
Menjadikan masyarakat sebagai subjek dapat dimulai dari sejak perencanaan, pelaksanaan, hingga pengawasan. Budi menjelaskan, pelaksanaan UU Desa jangan sampai justru menciderai maknanya, yakni menyejahterakan rakyat desa. Budi kemudian memberikan tantangan pada pemuda Karang Taruna se-DIY untuk menjadi pendamping. Pendamping ini nantinya kan memberikan pelatihan managemen organisasi dan pelatihan-pelatihan lain. Harapannya, desa akan siap menjalankan amanat UU Desa, yakni mampu mandiri mengatasi masalah dan membangun kesejahteraan. GKR Condondrokirono, Ketua Tarang Taruna DIY, menyatakan siap menjalankan tantangan tersebut. Namun, peran serta masyarakat desa tetap menjadi tombak jalannya UU Desa. “UU Desa dengan pendambingan itu semangatnya bagus sekali, tapi yang terpenting adalah pemberdayaan masyarakatnya,” harap Untung Sukaryadi, Kepala Dinas Sosial DIY. [Krisnia Rahmadany, Nuresti Tristya Astarina]