Rabu (28/01) pukul 15.00 WIB, Institute for Multiculturalism & Pluralism Studies (IMPULSE) Yogyakarta mengadakan diskusi buku “Membaca Problematika Wilayah & Kota” secara gratis. Acara yang berlangsung di Kantor Arsip dan Perpustakaan Kota Yogyakarta tersebut merupakan agenda rutin yang dilakukan oleh IMPULSE. Pembicara dalam acara tersebut adalah A. Yunastiawan Eka Pramana, Pakar Wilayah dan Kota, dan Nurrul Ria Nisafa, Penyuluh Keluarga Berencana. Topik yang dibahas pada diskusi kali ini adalah masalah lalu lintas. “Topik tersebut diambil karena menjadi masalah wilayah dan kota terparah di Yogyakarta saat ini,” buka moderator.
Moderator mengungkapkan bahwa permasalahan yang parah tersebut dibuktikan dengan masih banyaknya pelanggaran yang dilakukan oleh pengguna jalan. Selain itu, kebijakan-kebijakan lalu lintas pun tidak pernah diterapkan secara serius oleh penegak hukum. Hal ini dibuktikan dengan penindakan hukum yang tidak berlaku secara merata kepada semua masyarakat. “Kalau pejabat atau saudaranya, pasti dibebaskan,” tambahnya.
Hal tersebut didukung oleh pernyataan Nurul. Ia memaparkan bahwa perilaku para pengguna jalan, khususnya pengendara sepeda motor, masih belum patuh terhadap rambu-rambu lalu lintas. Ia menuturkan, masih banyak dari mereka yang melakukan pelanggaran lalu lintas, baik secara terang-terangan maupun sembunyi-sembunyi. Menurutnya, hal ini akan berdampak kepada pola pikir pengendara yang masih muda bahwa melakukan pelanggaan lalu lintas itu sah-sah saja. “Lah, dia saja (pengendara sepeda motor) lewat trotoar, masa’ aku enggak,” terang alumnus Sosiologi UGM tersebut.
Selanjutnya, Yunas menyampaikan bahwa penyebab dari pelanggaran lalu lintas tidak hanya berasal dari pengguna jalan, melainkan juga sistem trasnportasi. Hal ini dibuktikan dengan kesalahan sistem lalu lintas yang dibangun di Yogyakarta, terutama perihal Trans Jogja (TJ). Ia menuturkan masyarakat masih belum siap menerima sistem transportasi modern seperti TJ. Hal ini terbukti dengan masih banyak dari pengguna jalan yang menggunakan kendaraan pribadi, baik sepeda motor maupun mobil. Menurutnya, hal ini adalah sumber kemacetan di Yogyakarta.
Ia juga menambahkan bahwa telah terbentuk permasalahan yang saling terkait lalu lintas antara kemacetan, banyaknya kendaraan pribadi, dan keengganan menggunakan transportasi publik. Maksudnya saling terkait adalah satu permasalahan mempengaruhi permasalahan yang lainnya. “Permasalahan ini ibarat mata rantai yang tidak bisa terputus dan bukti bahwa kita masih tergagap-gagap dalam menyikapi modernitas,” ulas alumnus Perencanaan Wilayah dan Kota UGM itu.
Dalam penuturannya pula, Yunas memberikan solusi untuk mengatasi permasalahan lalu lintas tersebut. Ia yakin, jika seluruh masyarakat Indonesia melakukan perubahan secara individu, dipastikan permasalahan wilayah dan kota akan lebih mudah ditata. Tidak hanya itu, pemerintah juga akan lebih mengembangkan sarana dan prasarana publik karena melihat kesadaran dari masyarakat Indonesia untuk lebih baik. “Tapi, semuanya butuh waktu. Tidak mungkin perubahan terjadi dalam semalam dalam konteks negara,” papar pria berkacamata tersebut.
Hanif, salah seorang peserta diskusi menambahkan bahwa salah satu sumber masalah lalu lintas adalah gengsi. Ia menjelaskan bahwa pola pikir masyarakat Indonesia yang gengsi-konsumtif. Artinya, ukuran sukses seseorang dilihat dari seberapa banyak sepeda motor, mobil, atau gadget yang dimiliki seseorang. Ia meyakini bahwa pola pikir ini terus berkembang dan semakin merambah di Indonesia. “Tidak heran jika kendaraan pribadi semakin banyak karena gengsi,” tutup mahasiswa Artektur UII 2010 tersebut. [Abiyyu Fathin Derian]