Judul : Invictus
Durasi : 2 jam 13 menit
Aktor : Morgan Freeman, Matt Damon
Sutradara : Clint Eastwood
Tahun : 2009
Tak kan pernah terjadi lagi daratan yang indah ini (Afrika Selatan) akan menjadi ajang penindasan antara satu dengan yang lain – Pidato peresmian Presiden Nelson Mandela.
Politik Apartheid menjadi hal yang jamak terjadi di berbagai bangsa. Tak terkecuali pada bangsa adikuasa Amerika Serikat, Apartheid muncul sebagai fenomena substansial adanya diskriminasi ras dalam sistem politik dan kebijakan.
Adapun Apartheid sebagai sebuah kisah sejarah yang terjadi Afrika Selatan dimulai sejak 1910 ketika Hendrik Verwoed berhasil menyatukan Afrika Selatan dalam Uni Afrika Selatan. Sejak saat itu, kebijakan untuk memisahkan mayoritas orang kulit putih dan mayoritas kulit hitam yang menimbulkan diskriminasi antara keduanya dimulai. Salah satu kebijakan itu adalah Native Land Act (Undang-undang Pertanahan Pribumi). Undang-undang yang ditetapkan pada 1913 tersebut melarang kulit hitam membeli tanah di luar daerah yang sudah disediakan bagi mereka. Berbagai aturan politik Apartheid dibuat untuk mendiskriminasikan kulit hitam dan kulit putih, serta untuk merendahkan ras kulit hitam dengan sistem perbudakan. Sistem pemisahan ras yang diterapkan oleh rezim kulit putih sangat kental terasa hingga memasuki tahun 1900 dimana terjadi peralihan jabatan presiden di bawah kepemimpinan Nelson Mandela.
Kemunculan Nelson Mandela menjadi semacam “nabi” pada masa itu, yang dipuja sekaligus dicaci oleh pengikut dan pengkritiknya. Masa pemenjaraan 27 tahunnya bukan berarti terbayar dengan diperolehnya jabatan presiden. Dengan status sebagai presiden kulit hitam pertama membuat Mandela menerima banyak kritik terutama dari ras kulit putih. Cara pikir Mandela yang dapat melihat celah solusi dalam suatu permasalahan pun membuat orang dekatnya sering kebingungan mengikuti cara pikir Mandela.
Mandela adalah tokoh kulit hitam pertama yang menjabat sebagai presiden atas sistem keterwakilan penuh. Sistem ini adalah modernisasi proses politik praktis di mana untuk pertama kalinya semua penduduk, baik kulit hitam maupun kulit putih mempunyai hak suara dalam pemilihan umum. Karena warga kulit hitam telah merasakan perbudakan yang menyiksa sejak lama maka mereka membutuhkan tokoh pemimpin yang dapat melindungi hak warganya, termasuk hak warga kulit hitam. Menurut mereka sifat tokoh pemimpin tersebut ada pada diri Nelson Mandela sehingga banyak suara yang mendukung Mandela terpilih menjadi pemimpin di Afrika Selatan.
Seorang pemimpin harus menggambarkan kebijaksanaan dalam suatu kebijakan. Pemimpin harus menentukan masalah dasar apa yang benar-benar krusial bagi negara yang ia pimpin. Setelah mengetahui masalah apa yang harus dipecahkan, pemimpin dengan segala pertimbangannya segera menentukan cara untuk mengimplementasikan gagasan agar dapat memecahkan masalah. Dalam ilmu kebijakan publik hal ini disebut sebagai policy delivery system atau dengan kalimat sederhana diartikan sebagai cara atau sarana yang dirancang serta diarahkan menuju tercapainya tujuan yang dikehendaki. Film yang berjudul Invictus ini mencoba menggambarkan kisah nyata bagaimana perjalanan hidup Nelson Mandela yang diperankan oleh Morgan Freeman sebagai tokoh penumpas politik Apharteid.
Sebagai seorang pemimpin, Madiba (panggilan Mandela dari nama klan yang ia miliki) menganggap bahwa rasa nasionalisme lah yang utama harus dibangun dalam masa kepemimpinannya. Masalah ekonomi dan masalah lain dalam wilayah negara adalah masalah yang dianggap sebagai “dinding rumah” dan nasionalisme menjadi “pondasi rumah” nya. Pada saat itu keadaan elite ekonomi didominasi oleh ras kulit putih. Apabila pada saat itu terlihat jelas gap antara ras kulit hitam dengan ras kulit putih, sedangkan ras kulit putih yang saat itu memegang andil roda ekonomi, lalu bagaimana menyatukan mereka dan menjalin kerjasama ekonomi apabila tidak adanya rasa nasionalisme diantara dua kubu tersebut?
Pada awal masa kepemimpinan Madiba, ia dijadwalkan untuk menghadiri undangan pertandingan rugby, saat itu tim rugby nasional Afrika Selatan yang bernama Springbok melawan tim rugby Australia. Madiba melihat fenomena bahwa seluruh warga kulit putih Afrika Selatan mendukung tim nasional Springbok, sedangkan warga kulit hitam Afrika Selatan mendukung tim lawan. Fenomena ini disebabkan karena sejak diperkenalkannya rugby di Afrika Selatan (1861) hingga UU apharteid ditetapkan (1948), rugby adalah olahraga yang hanya dimainkan oleh orang kulit putih. Oleh karena itu rugby menjadi simbol rasisme di Afrika Selatan. Alasan ini lah yang mengakibatkan warga kulit hitam di Afrika Selatan menjadi “anti Springbok”.
Didasari karena kebencian warga kulit hitam terhadap Springbok maka ada keinginan mereka untuk meniadakan tim nasional ini. Dengan melihat sejarah tim Springbok sering mengalami kekalahan ketika pertandingan, warga kulit hitam menjadikan ini sebagai alasan dalam tuntutan pembubaran tim nasional rugby Afrika Selatan. Mayoritas warga kulit hitam di Afrika Selatan yang terhimpun dalam National Sports Council menyatakan tuntutan pembubaran tim Springbok dalam rapat intern mereka.
Melihat adanya tuntutan pembubaran tim rugby Afrika Selatan yang berpotensi meruncingkan perpecahan negara, Madiba menemukan celah strategi agar dapat meredamnya. Madiba secara mendadak memutuskan untuk menghadiri rapat intern National Sports Council agar dapat menyampaikan pemikirannya untuk mempertahankan Springbok. Ironis memang, Nelson Mandela seorang berkulit hitam yang diangkat sebagai presiden dan diharapkan mampu membela kepentingan ras kulit hitam, namun nyatanya ingin tetap mempertahankan tim yang sama sekali dibenci oleh rakyat yang satu ras dengannya.
Dalam kesempatan itu ia menjelaskan bahwa jika terjadi keputusan pembubaran tim Springbok yang selama ini didukung oleh ras kulit putih, maka akan membenarkan anggapan akan adanya penyingkiran ras kulit putih ketika Nelson Mandela menjadi pemimpin Afrika Selatan. Selain itu, apabila pembubaran Springbok menjadi kenyataan maka sama saja hilang kesempatan untuk merangkul warga kulit putih. Hilangnya kesempatan untuk merangkul warga kulit putih sama saja memperlambat jalan kesuksesan membangun negara dalam bidang ekonomi, politik, dan bidang lainnya yang mayoritas masih dikuasai oleh kulit putih. Saat penyampaian pemikirannya dalam rapat itu, hanya ada 12 orang yang mendukungnya. Walaupun sangat sedikit dukungan terhadap keputusannya, Madiba tetap bertekad tidak akan membubarkan tim nasional rugby Afrika Selatan.
Tekad Nelson Mandela untuk mempertahankan Springbok pada dasarnya bertujuan agar menghapuskan permusuhan antara kulit hitam dengan kulit putih. Mandela ingin membangun kesatuan seluruh rakyat dalam pimpinannya. Kesatuan tersebut dapat terwujud apabila ada kesadaran akan rasa nasionalisme. Bennedict Anderson (1983) dalam bukunya yang berjudul Imagined Communities berpendapat bahwa nasionalisme adalah sebuah komunitas politik berbayang yang dibayangkan sebagai kesatuan yang terbatas dan kekuasaan yang tertinggi. Berbayang dalam konteks tersebut mempunyai arti bahwa rakyat memang tidak mengenal keseluruhan dari penduduk satu negara, namun karena adanya rasa kebersamaan maka rakyat mampu membayangkan komunitasnya (negara) sehingga menjadi dasar dari nasionalisme. Jadi pada intinya nasionalisme dapat terbangun apabila ada rasa kebersamaan.
Langkah pertama Madiba untuk mempertahankan Springbok adalah memperbaiki kualitas permainan tim tersebut agar mampu menarik rasa kebanggan rakyat ketika tim nasional mereka memenangkan pertandingan. Lalu Madiba mengundang kapten tim Springbok yang bernama Francois Pienaar (diperankan oleh Matt Damon) untuk datang dalam jamuan minum teh. Pada pertemuan itu Madiba mencoba membuka mata Francois agar mampu menjadi sumber inspirasi bagi seluruh anggota tim. Menurut Madiba, menginspirasi orang lain dan membuat orang lain lebih baik dibanding anggapan mereka sendiri adalah sumber kekuatan untuk meningkatkan kualitas Springbok.
Target Madiba ialah menjadi pemenang dalam Piala Dunia Rugby sehingga negara yang ia pimpin, Afrika Selatan, mempunyai kebanggan terhadap negara sehingga dapat menciptakan persatuan. Tujuan lain Madiba berharap Springbok dapat menjadi pemenang adalah mendapatkan pengakuan dunia atas keberadaan Afrika Selatan, sehingga meraih pencitraan yang baik untuk menutup berita buruk politik apharteid yang sudah menjadi sorotan dunia.
Latihan semakin keras dilakukan untuk meningkatkan kualitas bermain, namun perlu dilakukan strategi pencitraan agar menarik hati seluruh rakyat Afrika Selatan terutama ras kulit hitam untuk mendukung tim nasional mereka. Mandela menginstruksikan agar Springbok melakukan tour coarching clinic atau klinik pelatihan di seluruh negeri. Dalam tour tersebut Springbok melatih remaja Afrika Selatan bagaimana taktik bermain bola, dari sanalah mereka mulai merenggut hati rakyat Afrika Selatan baik ras kulit hitam maupun ras kulit putih.
Piala Dunia telah tiba, hasil yang semakin meroket terlihat ketika tim rugby Afrika Selatan berhasil mengalahkan lawan satu persatu. Pada hal ini media sangat berperan dalam pencitraan Springbok sekaligus sebagai media yang mengekspose kemenangan tim rugby. Dimulai dari prestasi Springbok yang semakin cemerlang maka akan muncul kebanggaan dari simbol nasional di hati rakyat Afrika Selatan. Lambat laun persatuan ras kulit putih dan ras kulit hitam dapat terlihat. Semenjak Springbok kerap memenangkan pertandingan, rugby menjadi olahraga favorit yang dimainkan oleh rakyat baik rakyat kulit putih maupun kulit hitam.
Pada bagian akhir film ini menceritakan bahwa Springbok lolos memasuki babak final dan memenangkan pertandingan atas tim Selandia Baru. Seluruh rakyat Afrika Selatan dengan perbedaan warna kulitnya melebur menjadi satu dalam stadion untuk mendukung tim yang sama, Springbok, tim nasional rugby Afrika Selatan.
Film ini membukakan mata dunia bagaimana Nelson Mandela mengambil suatu keputusan yang tidak dipikirkan oleh orang lain. Mandela menemukan cara untuk menimbulkan rasa nasionalisme melalui olahraga. Nasionalisme yang tumbuh dapat meleburkan diskriminasi ras yang telah mendarah daging di Afrika Selatan.
Pemikiran-pemikiran Nelson Mandela, salah satunya melalui sarana olahraga yang terpotret dalam film ini adalah bukti usaha Mandela dalam penumpasan politik apharteid yang sudah berpuluh tahun terjadi di Afrika Selatan. Film Invictus ini menghadirkan alur cerita yang mudah dicerna karena penggambaran pemikiran Mandela dari sisi kebijakan melalui olahraga dinilai sebagai kebijakan yang “halus dan merakyat”. Penulis menggunakan istilah “halus dan merakyat” dengan alasan untuk mendamaikan masalah yang sudah turun temurun Mandela tidak menggunakan aksi kekerasan, melainkan menggunakan sarana olahraga yang jauh dari kesan kekerasan. Selain itu olahraga adalah suatu kegiatan yang sangat dekat dengan keseharian rakyat, sehingga penonton yang melihat film ini pun mengerti bahwa ada semangat nasionalisme yang dirasakan ketika rakyat mendukung tim nasional mereka dalam pertandingal level dunia. [Ashilly Adhicsti]