“Upaya pemberantasan korupsi terhadap penegak hukum lain selalu mendapatkan serangan balik,” keluh DR. Zainal Arifin Mochtar, S.H., LLM. pada Minggu (25/01). Ketua Pusat Kajian Anti Korupsi (PUKAT) Fakultas Hukum (FH) UGM ini didaulat untuk memandu acara pernyataan sikap akademisi Yogyakarta mengenai Sinergitas Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi serta Penegakan Hukum. Walau mengatasnamakan akademisi, acara ini turut dihadiri anggota masyarakat dari berbagai golongan. Acara yang diadakan di lantai dasar sayap utara Balairung Rektorat UGM ini merupakan rangkaian dari acara aksi yang dilakukan di Markas Besar Kepolisian Daerah (Mapolda) DIY kemarin (24/01).
Kamal Firdaus, S.H., selaku advokat senior, mengawali acara dengan menegaskan bahwa tuduhan yang ditimpakan pada BW tidak dapat berlaku. Sebelumnya, Polri menuduh BW telah melakukan pemaksaan pemberian keterangan palsu pada saksi sengketa Bupati Kotawaringin Barat (Kobar) tahun 2010. Tuduhan ini ditimpakan waktu BW bekerja sebagai advokat. “Padahal advokat memiliki hak imunitas yangdiatur dalam UU atau yurisprudensi Mahkamah Agung,” tambahnya. Imunitas yang dimaksud oleh Kamal adalah adalah hak yang tertulis pada UU No.18 tahun 2003 Tentang Advokat pasal 16. Pasal itu berbunyi, “Advokat tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana dalam menjalankan tugas profesinya dengan iktikad baik untuk kepentingan pembelaan klien dalam sidang pengadilan”.
Senada dengan Kamal, Rahmat Muhajir Nugroho, S.H., M.H. dari Universitas Ahmad Dahlan (UAD) juga menyayangkan penangkapan BW. Ia berpendapat bahwa penangkapan BW adalah pertanda bahaya bagi profesi advokat. “Kasus ini membuktikan bahwa advokat bisa dikriminalisasi dalam tugasnya memberi saranpada klien,” tambahnya. Menanggapi isu kriminalisasi advokat, Arifin menambahkan bahwa kasus ini merupakan rekayasa. Menurutnya, salah satu tugas advokat adalah memilah kesaksian mana yang menguntungkan kliennya di pengadilan. “Kalau dianggap bahwa BW mengarahkan saksi untuk memberikan kesaksian palsu, saya rasa ini kesalahan besar,” tambahnya.
Keanehan dalam kasus BW ini diduga karena Polri tidak lagi netral. Menurut Arifin, petugas yang terlibat kasus BG juga mengerjakan kasusnya BW sehingga terjadi conflict of interest. Oleh karenanya, Polri perlu menerbitkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3). Tak hanya itu, presiden dituntut membuat tim independen untuk mengusut kasus BW. Tim ini akan membuat rekomendasi yang wajib dilaksanakan oleh penegak hukum.Menurut Arifin, tim ini sejenis dengan tim delapan yang pernah dibentuk pada kasus Bibit Samad Rianto dan Chandra M. Hamzah. “Jangan biarkan kasus ini ditangani kepolisian sendiri, karena mereka sudah tidak independen,” ujarnya.
Selain ide pembentukan tim independen, muncul pula wacana penerbitan Perpu yang mengatur imunitas komisioner KPK. Pemberlakuan hak imunitas ini mengacu pada hak imunitas yang dimiliki dalam Ombudsman. Budi Santoso selaku Komisioner Ombudsman memberi contoh mengenai keberhasilannya dahulu saat Ia berhasil menggagalkan kriminalisasi yang menimpa dirinya dengan menunjukkan UU tersebut ke Polri.
Di akhir acara, Prof. Dwikorita Karnawati, M.Sc, Ph.D merangkum tuntutan akademisi menjadi tiga poin. Pertama, menuntut presiden untuk berada pada garis konstitusi dalam memberantas korupsi. Kedua, menghimbau agar hukum ditegakkan dan dituruti prinsip-prinsip dasarnya demi terciptanya keadilan. Ketiga, menuntut Presiden untuk mendukung sistem demokrasi dengan senantiasa mendengar suara tokoh masyarakat, akademisi, LSM, dan siapapun yang peduli terhadap persoalan bangsa.
Selain tuntutan tersebut, harapan datang dari Prof. Drs. Purwo Santoso, M.A., Ph.D., agar pemberantasan korupsi oleh KPK bersama rakyat tidak berhenti pada masa Presiden Jokowi. Melanjutkan Purwo, Ari Sujito, S.Sos., M.Si. menilai tantangan yang harus dihadapi Jokowi adalah sistem oligarki politik. Namun, jika presiden dapat bersikap tegas, maka rakyat akan membelanya. “Jokowi harus yakin, dia menang Pemilu bukan karena partai, tapi karena rakyat,” imbuhnya. [Devananta Rizqi Rafiq]