Hari itu, Rabu tiga Desember, waktu menunjukkan pukul dua belas siang. Tampak seorang laki-laki dewasa sedang menyapu teras sebuah bangunan yang didirikan pada masa Orde Lama. Di depannya terdapat pekarangan hijau luas dengan rumput-rumput yang terawat dan tanaman-tanaman yang tidak begitu rimbun. Di bagian depan bangunan tersebut terdapat sebuah papan nama yang bertuliskan Museum UGM.
Bangunan yang terletak di jalan Bulaksumur blok D6 dan D7 tersebut baru menjadi museum pada akhir tahun 2012. Kala itu, beberapa orang berkumpul untuk mewujudkan harapan dari para pendiri UGM yang menginginkan pendirian museum guna menceritakan perjalanan UGM. Maka tahun 2012 akhir, mulai dibentuk Focus Group Discussion (FGD) untuk membahas pembentukan kepanitiaan pembangunan Museum UGM. Pada awal tahun 2013, dimulailah perombakan bangunan D6 dan D7 tersebut untuk dijadikan sebuah museum. Enam bulan kemudian, tepatnya tanggal 11 Juni 2013, dilakukanlah Soft Opening sebagai tanda bahwa museum sudah dapat diakses atau dikunjungi oleh masyarakat umum, dosen maupun mahasiswa. Namun, Â museum ini sampai saat ini belum pernah diresmikan secara simbolik oleh Rektor UGM.
Menurut Widodo, STP, M.Sc., pengelola sekaligus pendiri Museum UGM, tujuan utama pendirian museum ini adalah untuk menjaga nilai-nilai luhur UGM agar kepribadian warga UGM sesuai dengan nilai-nilai tersebut. Hal itulah yang menjadi dasar pendirian museum ini. âOleh karena itu, kita tidak boleh lupa akan sejarah tentang masa lalu kita,â ujarnya.
Atas dasar itulah, museum ini berisikan benda-benda tentang sejarah pendirian UGM, perkembangan dari masa ke masa, kiprah UGM untuk bangsa, dan cita-cita UGM ke depan. Akan tetapi, koleksi museum masih belum lengkap yang ditandai dengan masih kosongnya beberapa katalog. Tidak hanya itu, beberapa di antaranya masih diletakkan begitu saja tanpa ada penjelasan historialnya. âSebenarnya koleksi  Museum UGM sudah ada, tetapi hanya belum ditata di tempatnya saja,â ujar Widodo. Ia menambahkan penghambat dari penempatan benda-benda koleksi museum adalah ketidakjelasan pengelola  museum ini.
Meskipun masih terdapat beberapa kekurangan, Widodo menyampaikan museum ini memiliki arti yang penting bagi berdirinya UGM. Hal ini dikarenakan kita dapat melihat potret para tokoh yang berjasa bagi UGM dan bangsa. Potret tersebut tidak hanya sebatas foto, melainkan juga benda yang sering dipakai oleh tokoh. Seperti rektor pertama Sardjito, rektor selanjutnya, Hardjo Soemantri hingga rektor saat ini Dwikorita. Di dalam museum UGM juga terdapat alat peraga satelit yang pertama kali dibuat oleh universitas di Indonesia.
Guna melengkapi kekurangan di atas, maka penyediaan fasilitas dan pelayanan semakin diperkuat. Hal ini dibuktikan dengan waktu buka Museum UGM selama 24 jam, yang normalnya, buka dari pukul 08.00 hingga 16.00 WIB. Alan, salah satu penjaga Museum UGM, menjelaskan bahwa mereka bekerja bergantian dengan membagi shift untuk empat penjaga dalam selang waktu delapan jam sehari.
Selain pelayanan, fasilitas juga terus diperbaiki oleh pihak pengelola, seperti melengkapi katalog-katalog sehingga pengunjung nyaman ketika mendatangi Museum UGM. Akan tetapi, masih diperlukan pengoptimalan, terutama dalam melengkapi benda yang berhubungan dengan sejarah perjuangan UGM dari masa ke masa. Sampai saat ini, kebanyakan benda yang dikoleksi museum sebagian didapatkan dari sumbangan para donatur yang secara sukarela memberikannya ke museum.
Banyak hal menyebabkan Museum UGM mengalami kendala dalam melakukan kinerja secara optimal, seperti kurangnya tenaga dan belum adanya struktur kepengurusan. Padahal, museum ini memilki arti penting bagi UGM yaitu sebagai wadah riset dan penelitian, oleh karenanya museum dikelola dibawah Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (LPPM). Peran lembaga ini tidak hanya sebatas manajemen, tetapi juga mengurusi hal-hal yang bersifat operasional, seperti perawatan benda dalam museum. âSampai saat ini secara de facto museum masih di bawah kepengurusan pihak LPPM, namun secara de jure telah dipindah kepengurusannya ke FIB,â ujar Widodo.
Salah satu yang masih menjadi wewenang LPPM terhadap museum adalah mengenai pendanaan. Anggaran dana operasional Museum UGM sendiri termuat dalam Rencana Kegiatan Anggaran Tahunan (RKAT). Biaya operasional yang dibutuhkan museum tidak sedikit, oleh karena itu dana dari universitas sudah ideal jika dikelola di bawah LPPM. âJika pendanaan dibebankan pada fakultas saja (FIB) maka ruang geraknya akan lebih sempit karena dana operasionalnya terbatas,â tutur Widodo.
Meskipun demikian, pengunjung museum terus mengalami peningkatan setiap bulannya. Pada bulan September pengunjung museum dapat mencapai 40 orang, sedangakan bulan November mencapai 50 orang. Kebanyakan pengunjung adalah mahasiswa UGM, tetapi ada juga mahasiswa dari universitas lain seperti Universitas Atmajaya dan Universitas Bengkulu. Selain itu, museum juga dikunjungi oleh pelajar, masyarakat umum dan turis asing dari Jepang dan Perancis, meskipun jumlahnya hanya 5 sampai 10 orang per bulan.
Sejak museum dibuka pada 11 Juni 2013 hingga saat ini jumlah pengunjung dapat mencapai 2500 orang dari dalam negeri dan 90 orang dari luar negeri. Namun, jumlah pengunjung dari mahasiswa sendiri masih tergolong rendah jika dibandingkan jumlah keseluruhan mahasiswa UGM. âBiasanya mahasiswa akan datang jika disuruh atau mendapat tugas dari dosennya,âungkap Widodo.
Sebagian besar pengunjung mempunyai kesan positif setelah datang ke museum. Hal ini terlihat dari catatan kesan dan pesan yang terdokumentasikan dalam sekertariat museum. Setelah berkunjung ke museum, mereka mendapatkan ilmu baru mengenai sejarah UGM. âSetelah datang ke museum saya jadi tahu sejarah UGM, koleksinya bagus dan menarik,â ujar Fandhi, salah satu pengunjung museum. [Abiyyu, Ardianto, Nofiria]