Sore itu gemuruh keras terdengar membelah gelapnya langit. Awalnya pertanda itu hanya didengar sambil lalu bagi mereka yang sudah kenal baik gejolak Merapi. Bukankah gunung agung ini senantiasa menjadi tempat mereka berpulang? Tetapi hari itu tak biasa, dentuman yang membuat nyali bergetar berulang kali terjadi. Bahkan belum sempat kaki berlari, lahar panas terlihat meletup begitu cepat menuruni lereng, melumat habis kehidupan. Membuat warga berhamburan keluar rumah, menyelamatkan diri, sambil meneriakkan nama Sang Ilahi. Tangis, kegelapan, kekacauan, dan kehilangan berbaur, bersamaan dengan koar ganas api dan bau hangus yang membumbung di langit Merapi.
Empat tahun silam, tepatnya tanggal 26 sampai 28 Oktober 2010, Merapi meletus. Walau sempat diprediksi akan terjadi erupsi, warga Yogyakarta, bahkan yang merupakan penduduk Merapi tetap tak berdaya menghadapi amarah sang alam saat itu. Pepohonan habis terbakar. Rumah rata dengan tanah. Orang-orang kehilangan sosok yang mereka cinta. Entah sanak keluarga, sahabat, atau teman. Sejak kejadian itu, kehidupan Merapi lumpuh. Sejauh mata memandang, material letusan menyelimuti tanah lereng gunung, tak menyisakan sedikitpun tempat harapan untuk tumbuh.
Namun seperti hakekat kehidupan yang terus berganti, lambat laun Merapi bangkit. Perlahan tetapi pasti penduduk mulai bergerak. Bahu membahu membangun kembali kehidupan Merapi seperti sedia kala. Tentu bukan perkara mudah, mengingat masifnya dampak letusan pada daerah mereka. Sama-sama menjadi korban, membuat mereka juga ingin sama-sama bangkit dari rasa kehilangan dan keputusasaan. Bersama-sama, mereka mencoba menemukan kembali titik keseimbangan alam dan manusia di lereng Merapi.
Seperti kisah Nenek Tukinem, perempuan renta berusia 78 tahun ini meneruskan kehidupannya dengan menjadi pedagang panggul. Nenek Tukinem yang bertempat tinggal di Pangukrejo, sudah sejak 2011 nyambut gawe di daerah Volcano Tour Merapi.
Nenek Tukinem terpaksa beralih profesi dari awalnya bertani dan berternak menjadi berdagang dan berkebun, karena erupsi telah melenyapkan ladang penghidupannya itu. Saat ditemui, Nenek Tukinem terlihat ceria dengan kerudung hijaunya yang menutup dada, juga kebaya kuning dan jarik berwarna merah yang membalut tubuh tuanya. Tak segan ia menyapa ramah tiap wisatawan Merapi yang lewat, sambil sesekali menawarkan dagangannya.
Walaupun ia seorang pedagang panggul, Nenek Tukinem tidak membawa dagangannya sendiri. Terkadang dagangannya dibawakan oleh jip tetangga. Berangkat dan pulang berdagang, ia selalu ditemani oleh warga sekitar. Ketika ditanya alasan dibalik kesehariannya tersebut, Nenek Tukinem tertawa sambil menunjuk kaki kirinya, “Diterke wong simbah sikile lara, lho iki simbah sikile aboh. Dinunutke jip. (Diantar karena Nenek kakinya sakit, ini lho kaki Nenek memar. Jadi Nenek ditumpangkan jip, red.)”
Dalam sehari Nenek Tukinem bisa mendapat keuntungan maksimal sebesar Rp 25 ribu. Keuntungan seperti itu biasanya diperoleh pada hari Sabtu dan Minggu saat ramai. Namun ia akui, sekarang ini pengunjung tidak seramai dahulu karena tempat wisata Merapi sudah tidak lagi terpusat tetapi terbagi menjadi dua, yaitu di bunker dan Kinahrejo. Penghasilan berdagang yang tak seberapa dia gunakan untuk keperluan sendiri. Kedua anaknya sudah memiliki keluarga masing-masing. Sementara suaminya sudah meninggal lima belas tahun silam.
Seperti warga Merapi lainnya, Nenek Tukinem enggan untuk meninggalkan Merapi. Erupsi tidak membuatnya trauma. “Tidak, mau takut apa? Sekarang sudah tentram, sudah tidak ada suara gemuruh,” tuturnya dengan Bahasa Jawa sambil tersenyum. Kecintaan terhadap tanah kelahirannya juga ia petuahkan kepada anak cucunya, “Jangan sampai pergi dari tanah kelahiran sendiri.”
Nenek Tukinem juga sempat membagikan kisahnya saat menjadi korban erupsi Merapi. Pertama kali mengungsi, ia sempat ditempatkan di YKPN Yogyakarta. Setelah tinggal di YKPN selama lima minggu, Nenek Tukinem dipindahkan lagi ke Stadion Maguwoharjo dan tinggal disana selama seminggu. Sesudah Merapi diputuskan berstatus aman, ia dipulangkan kembali ke kediamannya di lereng Merapi. Sekembalinya ke Merapi Nenek Tukinem langsung membangun sendiri rumahnya yang roboh. Ia teringat kulitnya berubah menghitam karena membawa kayu dan batu. Namun kegigihan Nenek Tukinem tidak berhenti di situ saja. Setelah rumahnya jadi, beliau kembali menggarap lahan untuk ditanami kopi, teh, pisang, dan lainnya. Sebagian hasil panen kebun ia jual dan sebagian lagi ia bagikan ke para tetangga.
Seperti halnya kisah Nenek Tukinem, penduduk lain di lereng Merapi juga bergerak bangkit dan seolah saling membangkitkan satu sama lain. Seiring dengan kembali rimbun dan hijaunya lereng, warga juga kembali mematik sumbu kehidupan dengan membangun kembali usaha dan rumah mereka, sedikit demi sedikit. Penduduk tak peduli apakah nanti Sang Merapi kembali memuntahkan isi bumi. Mereka sudah terlanjur akrab dengannya dan tetap memutuskan Merapi sebagai tempat peraduan mereka selamanya. Cinta mereka pada tanah kehidupan lebih besar daripada resiko yang membayangi.
Bersama, segenap warga Merapi bahu-membahu membangun kembali. Dengan landasan kekeluargaan, mereka melanjutkan apa yang sempat tertunda. Kini harapan itu semakin terlihat nyata seiring dengan usaha yang mereka kerahkan. Nenek Tukinem hanyalah salah satu dari banyak korban, dengan kisah berbeda tetapi bermuasal dari sebab yang sama.
Bagi Nenek Tukinem dan segenap penduduk lereng Merapi potensi bencana yang dimiliki oleh gunung agung ini bukan alasan untuk pergi. Melainkan merupakan panggilan bagi mereka untuk selalu kembali.
Oleh: Alisia Djailani, Annisa Sholihah (peserta Balairung School of Journalism)