Manukan, 6-8 November 2014
Untuk Ninuchkha…
KAMPUNG Sukamaju diterpa kegegeran. Yu Sumi, penjual pecel paling enak di seantero desa itu, suatu hari memutuskan untuk tidak lagi berjualan.
Tiga hari yang lalu Yu Sumi tiba-tiba mengemasi dagangan yang baru digelarnya dan pergi begitu saja dari para pelanggan yang sudah mengantri sejak pagi. Sambil merengut, ia cepat-cepat meninggalkan halaman Sekolah Dasar No.3 Sukamaju tempatnya biasa berjualan.
Tidak ada yang menyangka Yu Sumi akan berbuat seperti itu. Yu Sumi dikenal sangat ramah dan baik. Tak sekalipun ia pernah marah atau bertengkar dengan orang lain. Ia tidak memiliki musuh. Ia tidak pernah mendendam, bahkan kepada pemuda-pemuda desa yang mampir ke bakulnya hanya untuk menggodanya dan ujung-ujungnya cuma berhutang.
Yu Sumi sangat baik. Bahkan kadang terlalu baik.
Di hari ketiga absennya Yu Sumi, ibu-ibu kampung Sukamaju mulai kebingungan. Mereka telanjur terbiasa membeli pecel Yu Sumi untuk sarapan anak-anak dan para suami. Kini, setiap pagi mereka harus menghadapi rengekan anak-anak mereka yang minta dibikinkan makan dan omelan suami mereka yang menganggap mereka tidak becus mengurus rumah tangga. Ibu-ibu yang biasanya menghabiskan pagi harinya di depan rumah untuk membicarakan orang lain, kini harus bangun lebih pagi untuk memasak bagi keluarga mereka.
Tanpa disadari, mereka menjadi sangat bergantung kepada Yu Sumi.
Di hari keempat absennya Yu Sumi, giliran para pemuda desa yang kebingungan. Mereka kehilangan ritual pagi yang selama ini mereka gemari, makan pecel sambil menggoda Yu Sumi. Dan kemudian berhutang lagi padanya.
Kini pemuda-pemuda desa kehilangan alasan untuk bangun pagi. Mereka bangun saat matahari sudah meninggi dan akibatnya mereka jadi malas melakukan apa-apa. Sawah-sawah jadi terbengkalai, toko-toko buka lebih siang, jalanan desa menjadi sepi.
Tanpa disadari, seluruh desa Sukamaju menjadi sangat bergantung pada Yu Sumi.
***
Kades Rohim selaku aparat yang paling bertanggung-jawab atas stabilitas desanya merasa sangat prihatin atas kondisi desa Sukamaju. Tiap pagi (Kades Rohim memiliki ritual berjalan-jalan keliling desa tiap pagi dan sore dengan sepedanya) ia selalu saja mendengar tangisan anak kecil yang merengek-rengek atau suara pasangan suami istri yang tengah bertengkar. Kades Rohim juga tak pernah lagi melihat pemuda-pemuda desa menyapanya di jalan. Jalanan desa menjadi sepi dari orang, tapi riuh oleh suara-suara keributan dari dalam rumah-rumah di sekellingnya.
Kades Rohim tidak tahan lagi. Ia menggunakan segala upaya untuk mencari tahu penyebab tutupnya warung Yu Sumi. Tiap sore, ia menggunakan waktunya (dan statusnya sebagai kepala desa) untuk berkeliling dan mencari informasi. Ia tidak peduli jika dianggap mau tahu urusan orang lain. Ia tidak peduli jika dianggap kurang kerjaan. Ia yakin bahwa yang ia lakukan ini demi warganya juga. Dan Kades Rohim sudah membulatkan tekadnya.
***
Sore harinya, saat ia menjalani ritual keliling desa dengan bersepeda, Kades Rohim mampir ke rumah Bu Siti. Ia tahu pasti bahwa tiap sore para ibu seringkali berkumpul di depan rumah Bu Siti untuk sekadar ngobrol dan sesekali bergosip.
“Selamat sore, ibu-ibu…,” sapa Kades Rohim sembari turun dari sepedanya.
“Sore, Pak Kadees!” Serempak ibu-ibu yang tengah berkumpul balas menyapanya.
“Ada apa, nih, tumben, Pak? Ada pengumuman, ya?” tanya Bu Siti antusias. Kades Rohim hanya tersenyum. Ibu-ibu yang lain ganti merapat ke arah Kades Rohim yang tengah memarkir sepedanya di pagar rumah Bu Siti.
Tanpa membuang waktu lagi, Kades Rohim langsung bertanya kepada mereka.
“Ibu-ibu tahu kemana Yu Sumi?”
Suasana makin tegang. Ibu-ibu melirik ke arah Bu Siti. Yang dilirik pun menjadi gelagapan. Bu Siti memang dianggap sebagai ‘juru bicara’ dalam kelompok-pembahas-kehidupan-orang-lain itu.
“Eee…eee…,” gumam Bu Siti. Kades Rohim makin tertarik.
“Ada yang mau disampaikan, Bu Siti?” tanyanya.
“Anu Pak Kades. Yu Sumi sudah nggak jualan lagi,” sahutnya.
“Iya…itu saya sudah tahu. Bu Siti tahu kenapa?” tanya Kades Rohim lagi.
Bu Siti terlihat salah tingkah. Matanya beredar ke kawan-kawannya yang juga berpandangan.
“Anu, Pak…itu…katanya gara-gara Pak Guru Joned mau nikah,” jawab Bu Siti.
Kades Rohim terkejut. Sebagai kepala desa, ia sudah tahu rencana pernikahan Pak Guru Joned sejak seminggu yang lalu. Dalam hati ia membatin, apa hubungan antara pernikahan Pak Guru Joned dengan mogoknya Yu Sumi?
Tiba-tiba Bu Rani ikut bicara. “Iya. Bener kata Bu Siti, Pak. Yu Sumi itu sudah lama suka sama Pak Guru Joned. Bapak sadar enggak kenapa Yu Sumi pilih tempat jualan di depan SD Sukamaju padahal SD di desa sebelah lebih besar dan lebih dekat dari rumahnya?”
Kades Rohim menggeleng. Serentak ibu-ibu menghela nafas sambil melemparkan tatapan ‘oh-dasar-lelaki’ kepadanya.
“Yu Sumi itu sehabis menggelar dagangannya pasti selalu membikinkan pecel untuk Pak Guru Joned. Mumpung sayuran dan nasinya masih hangat, Yu Sumi pasti menyisihkan sayuran dan nasi pertama buat pak Joned,” lanjut Bu Rani.
“Pak Kades tahu siapa orang yang selalu mengantri paling pagi di depan dagangan Yu Sumi??” Bu Siti tiba-tiba bertanya kepada Kades Rohim.
Kades Rohim menggeleng. Ia memang jarang membeli pecel Yu Sumi.
“Pak Guru Jonedd!!!” Serentak ibu-ibu itu menggumamkan suaranya.
Kades Rohim tertegun.
“Berarti sebenarnya mereka saling suka?” tanya Kades Rohim.
Sekali lagi ibu-ibu yang ada di sana melemparkan pandangan ‘oh-dasar-lelaki’ kepadanya.
***
Esok harinya Kades Rohim menaiki sepedanya ke perbatasan desa. Yu Sumi tinggal berdua bersama simboknya di sebuah rumah kecil di pinggiran sungai. Sungai itu merupakan perbatasan alami antara Desa Sukamaju dengan desa sebelah, Desa Sinarengga. Pak Guru Joned tinggal di desa itu.
Rumah Yu Sumi tidak jauh berbeda dengan rumah-rumah di Desa Sukamaju lainnya. Ukurannya sedikit lebih kecil dengan tembok yang tidak dilapisi sehingga menunjukkan deretan bata merah penyusunnya. Satu hal yang membedakannya dengan rumah-rumah lainnya adalah pekarangan yang sangat luas. Di pekarangan itu terdapat banyak sekali jenis sayuran dan tanaman bumbu dapur. Tampaknya Yu Sumi meramu pecelnya dengan isi pekarangannya.
Kades Rohim memasuki pekarangan yang luas itu. Seketika ia menyadari ada sesuatu yang ganjil. Tanaman-tanaman itu banyak yang layu dan mati. Daun-daunnya terkulai ke bawah dan beberapa di antaranya bahkan telah kering. Tanah yang ada di pekarangan itu pun tampak keras dan pecah-pecah. Seperti tidak tersentuh air untuk waktu yang cukup panjang.
Saat Kades Rohim memarkirkan sepedanya di samping pintu, tiba-tiba seorang lelaki keluar dari dalam rumah. Lelaki itu tertunduk dan nyaris menabrak Kades Rohim. Keduanya terkejut. Lelaki itu mendongakkan kepalanya. Pandangannya bertemu dengan Kades Rohim.
“Pak Joned?” gumam Kades Rohim.
“Eee..ee…. Sel…selamat sore, Pak Kades,” Pak Guru Joned tampak panik seperti maling yang tertangkap basah.
“Wah, kok tumben kemari, Pak?” tanya Kades Rohim.
Pak Joned makin salah tingkah. “Saya..saya main aja, Pak. Eh…mau pesen pecel.”
“Lha, Yu Sumi udah lama nggak jualan, tho?” kejar Kades Rohim.
Pak Guru Joned makin salah tingkah. Mukanya kini memerah.
“Iy…iya, Pak, makanya saya ke sini. Eh, saya pamit dulu ya, Pak. Mari, Pak.”
Pak Guru Joned lalu bergegas meninggalkan rumah itu.
Kades Rohim hanya geleng-geleng kepala melihat tingkah Pak Guru Joned. Tanpa banyak membuang waktu lagi, ia lalu masuk ke dalam rumah.
“Assalamualaikum….Lhadalah, kenapa Yu?”
Kades Rohim terdiam. Yu Sumi tengah menangis sesenggukan di atas kursi di ruang tamunya. Melihat Kades Rohim di depan pintunya, Yu Sumi ikut terkejut. Ia gelagapan saat berusaha menghapus airmata dan menetralkan emosinya.
“Oh…Pak…Pak Kades. Monggo masuk, Pak.” Suaranya masih bergetar.
Kades Rohim langsung masuk dan duduk di hadapan Yu Sumi.
Tiba-tiba pandangannya tertuju ke atas meja tamu di depan Yu Sumi. Tampak secarik undangan berwarna keemasan tergeletak setengah terbuka di atas meja. Di sampulnya yang keemasan itu tertulis nama pasangan yang akan menikah : Joned & Sintya.
Kades Rohim langsung paham maksud kedatangan Pak Guru Joned.
“Dia yang mengantar ini tadi?” tanya Kades Rohim tanpa basa-basi.
Yu Sumi mengangguk. Isakannya sesekali masih terdengar.
“Lhah, tega bener dia! Kenapa harus dia yang datang langsung? Dia kan bisa suruh orang.” Kades Rohim merasa amarahnya mulai naik. Ia sungguh tidak tega melihat Yu Sumi yang menangis.
“Pak Joned…. Dia….dia minta saya untuk memasak makanan buat resepsinya, Pak.”
“Apa!!”
Amarah Kades Rohim tidak tertahankan lagi. Ia benar-benar tidak habis pikir. Kenapa Pak Guru Joned bisa setega itu meminta Yu Sumi memasak untuk resepsi pernikahannya. Apakah guru itu tidak tahu kalau Yu Sumi mencintainya? Apakah guru itu bahkan harus diajarkan untuk mengeja perasaan Yu Sumi?
“Terus kamu mau, Yu?” tanya Kades Rohim.
Yu Sumi mengusap air matanya. Ia menegakkan kepalanya untuk memandang Kades Rohim. Sambil menghela napas, Yu Sumi menganggukkan kepalanya.
“Nggih, pak Kades. Saya mau kok. Ndak enak kalo Mas Joned udah dateng langsung ke sini tapi saya nggak mau bantuin….” ujarnya.
“Pak Joned pasti tahu kalau kamu cinta sama dia, tho? Kok tega-teganya dia minta kamu masak buat resepsinya?” tanya Kades Rohim.
“Katanya dia suka sama pecel saya, Pak Kades….” sahut Yu Sumi lemah.
“Siapa yang enggak suka sama pecelmu, Yu? Semua orang di sini juga suka pecelmu! Semua ingin kamu jualan lagi, Yu.” pinta Kades Rohim padanya.
Yu Sumi mengangguk.
“Iya, Pak. Saya juga tahu itu. Makanya saya punya satu syarat buat Pak Joned,” jawabnya.
“Apa itu?” Kades Rohim mengernyitkan dahinya.
***
Satu hari sebelum resepsi pernikahan Pak Guru Joned. Suasana rumah sang mempelai wanita tampak sibuk. Di teras dan halaman depan, beberapa lelaki berseliweran mengatur kursi-kursi dan dekorasi. Janur kuning pun telah melingkar di beberapa penjuru rumah. Di bagian dalam rumah, giliran ibu-ibu dan para remaja putri yang sibuk. Mereka mengatur beberapa kelengkapan yang akan dipakai untuk akad nikah dan resepsi yang dilaksanakan setelahnya.
Kesibukan yang lebih besar terlihat di dapur. Ruangan yang tidak seberapa besar itu penuh dengan ibu-ibu. Hampir semua ibu-ibu dari Desa Sukamaju ada di sana. Sambil berdesak-desakan, mereka mempersiapkan serbaneka makanan, kue-kue, buah-buahan, hingga minuman yang akan disajikan esok hari.
Yu Sumi juga ada di dapur itu. Ia tengah berdiri di depan cobek berukuran besar, agak jauh di sudut dapur yang berukuran lumayan besar itu. Cobek itu sudah berisikan butiran kacang tanah yang sebagian telah ditumbuk. Kini Yu Sumi tengah membubuhkan garam, daun jeruk, dan segenggam cabe merah.
“Sini, Dik Sintya, mbok dicoba ngulek sambalnya….” Yu Sumi memanggil perempuan yang dari tadi ada di sampingnya.
“Aahh, jangan ah, Mbak Sumi. Nanti aku malah bikin jadi nggak enak….” sahut perempuan yang ada di sampingnya.
Ia adalah Sintya, calon mempelai Pak Guru Joned.
“Ayo dong, mbok dicoba dulu. Nah, biar seger rasa pecelnya, bisa ditambahin daun jeruk nipis. Pilih yang masih ijo ya, jangan yang udah layu. Nanti jadinya pait.”
Sintya hanya manggut-manggut pertanda mengerti. Ia menggenggam batu ulekan cobeknya terlalu keras sehingga beberapa butir kacang terjatuh ke lantai. Sintya memekik.
Yu Sumi tertawa melihat kekikukan Sintya. Ia tidak tahan untuk menggodanya.
“Hayo….ngulek-nya yang bener lho, Dik. Kata orang tua, kalo bisa ngulek sambel sampai halus nanti bakalan disayang mertua lho….”
Sintya merengut mendengar kata-kata Yu Sumi. Tapi tak berapa lama kemudian ia juga ikut tertawa.
Yu Sumi hanya tersenyum melihatnya. Wajahnya tampak sumringah, seakan-akan tak tersisa sedikitpun rasa sedih yang tempo hari sempat membayanginya.
Yu Sumi tak menyangka bahwa Sintya adalah perempuan yang sangat baik. Ia rela belajar banyak hal agar siap menjadi istri yang baik bagi Pak Guru Joned.
Saat Yu Sumi pertama kali mengutarakan niatnya untuk mengajari Sintya membuat pecel, Sintya malah tersenyum. Tidak pernah terbersit sedikit pun rasa marah atau cemburu, meskipun Sintya tahu bahwa mereka mencintai pria yang sama.
Sikap Sintya membuat Yu Sumi merasa terkejut. Ia juga merasa terharu melihat Sintya menerima dengan tulus tawarannya itu.
Ia sadar, ia tidak mungkin mendapatkan cinta Pak Guru Joned. Meskipun sebenarnya mereka saling menyukai, tetapi Pak Guru Joned sudah menetapkan pilihannya.
Dan Yu Sumi tahu, pilihan itu adalah pilihan yang baik. Sintya adalah perempuan yang baik.
Biarlah rasa cinta itu mereka bagi dalam sepiring pecel yang menjadi kesukaan Pak Guru Joned. Biarlah rasa cinta Yu Sumi turut tersalurkan lewat tangan Sintya.
***
Bu Siti dan Bu Rani, dua orang petinggi serikat gosip Sukamaju itu, cepat-cepat menangkap kedekatan antara Yu Sumi dan Sintya. Mereka merasakan hal yang janggal di sana. Kenapa kedua orang yang sama-sama mencintai Pak Guru Joned bisa begitu akur di tengah-tengah persiapan pernikahan Pak Guru Joned?
Tetapi mereka lebih merasakan adanya bibit obrolan baru di kelompok-pembahas-kehidupan-orang-lain mereka.
Bu Siti dan Bu Rani masih asyik mengamati tingkah-polah Yu Sumi dan Sintya di dalam dapur saat Kades Rohim menegur mereka.
“Waduh, ada apa ini ibu-ibu?”
Bu Siti dan Bu Rani terkejut mendengar suara Kades Rohim. Bu Rani bahkan sampai kumat latahnya. Mereka menoleh ke belakang dan mendapati Kades Rohim tengah memandangi mereka sambil senyum-senyum.
“Oh eng..nggak apa-apa kok, Pak Kades. Ini cuma..eh…cuma mau beres-beres,” sahut Bu Rini. Mereka pun cepat-cepat berlalu dari tempat itu.
Yu Sumi tak sengaja mendengar suara Kades Rohim. Ia lalu keluar untuk menghampiri Kades Rohim.
Melihat wajah Yu Sumi yang sumringah saat menghampirinya, Kades Rohim tersenyum.
“Bagaimana, Yu, lancar ngajar masaknya?” tanya Kades Rohim.
Yu Sumi tertawa. “Ah Pak, wong saya juga cuma ngajarin bikin pecel itu….” sahutnya.
“Berarti sekarang Yu Sumi bakal jualan lagi dong?” tanya Kaes Rohim.
Yu Sumi hanya tertawa kecil. Tanpa menjawab pertanyaan Kades Rohim, Yu Sumi pamit untuk keluar. Saat berjalan di halaman, ia berpapasan dengan rombongan pemuda yang biasanya menjadi langganan pecelnya. Rombongan itu langsung sibuk menggoda Yu Sumi, seakan melepaskan kerinduan yang selama ini ditekan. Yu Sumi menanggapi candaan mereka dengan tawa yang lepas.
Kades Rohim tersenyum. Ia sudah mendapatkan jawaban untuk pertanyaannya.
*) Putu Agung Nara Indra Prima Satya merupakan Pemenang I Lomba Cerpen yang diadakan dalam rangka HUT Balairung ke–29 pada 29 Oktober 2014.