Kamikatsu, sebuah kota di dataran tinggi Jepang mengalami masalah yang serius. Perkenomian kota ini runtuh setelah bangkrutnya Industri limau yang menjadi andalan. Untuk bangkit dari kondisi ini pun, sepertinya merupakan hal yang sulit. Pasalnya, sebagian besar penduduk kota ini merupakan lansia. Namun, Eda salah satu pemuda setempat tidak berkecil hati. Ia optimis kotanya dapat bangkit lagi. Pemuda itu melihat potensi dari tanaman yang ada daerahnya. Bagian daun dari tanaman itu dapat digunakan sebagai penghias makanan. Dengan menjualnya Ia berharap dapat menyelamatkan perekonomian kotanya yang sudah layu.
Tidak banyak penduduk desa yang mendukung idenya ini. Mereka menilai gagasannya ini tidak masuk akal dan terkesan spekulatif, namun tidak demikan dengan Kaoru. Menurutnya gagasan Eda ini patut untuk dipertimbangkan. Meskipun banyak pertimbangan, akhirnya ia dan kedua penduduk seusianya memutuskan untuk mewujudkan gagasan Eda. Dengan keterbatasannya sebagai seorang lansia, Kaoru tetap bersemangat memajukan perekonomian daerahnya.
Kisah Eda dan Kaoru untuk mengembangkan perekonomian desa masih belum selesai. Suami dari Kaoru, ternyata tidak mendukung ide tersebut dan melarangnya untuk membantu Eda. Pasangan lansia ini akhirnya mengalami pertengkaran setelah puluhan tahun mengarungi bahtera rumah tangga. Kisah inilah yang menjadi fokus utama film yang berjudul Jinsei Irodori .
Pemutaran film “Jinsei Irodori” ini sendiri termasuk kedalam rangkaian acara The 9th Jogja-NETPAC Asian Film Festival (JAFF). Dalam sesi tanya-jawab sang sutradara, Osamu Minorikawa, melalui seorang alih bahasa menjelasakan bahwa fenomena Koureka Shakai adalah inspirasinya dalam membuat film ini. Fenomena ini terjadi akibat presentase penduduk lansia lebih besar dari penduduk yang lain. Biasanya keadaan ini akan menimbulkan banyak masalah bagi daerah yang dilandanya. Namun sebaliknya, para lansia di Jepang tak ingin menjadi benalu yang menggantungkan hidup pada anak – anak mereka. Bagai pohon sakura yang tetap berbunga walau sudah di usia senja, mereka tetap ingin berkarya tanpa peduli usia.
Hal sebaliknya terjadi di negara kita. Presentase penduduk lansia di Indonesia masih terbilang rendah. Hal tersebut dikarenakan peluang hidup masyarakat Indonesia memang lebih rendah dibanding negara – negara lain. Sementara itu laju pertumbuhan penduduknya terus meningkat. Sehingga terjadilah ketimpangan populasi usia penduduk yang mencolok.
Melalui karyanya ini, sang sutradara tidak hanya ingin mengispirasi lansia yang ada di negara asalnya saja. Namun ia juga berharap karyanya mampu menginspirasi para lansia di dunia, terutama yang mempunyai masalah sama dengan negaranya. Sehingga muncul Kaoru – Kaoru baru dari berbagai belahan dunia yang mampu membangkitkan daerahnya.
Sebagai penonton, Aulia Noor lulusan S1 Hubungan Internasional UGM mengungkapkan sarannya kepada penyelenggara JAFF. Ia berharap acara ini dilestarikan dan jika bisa dikembangkan. “Jarang – jarang ada acara pemutaran film yang berkelas dan dapat disaksikan dengan harga terjangkau”, ungkap Pria berkaca mata itu. Selain itu baginya bisa bertemu dan berdialog langsung dengan Sutradara film yang ditonton adalah sesuatu kejutan yang luar biasa dari acara ini.
Sementara itu Indah Mutiara, yang kami temui setelah pemutaran film, mengungkapkan kepuasannya karena selain bisa menyaksikan film yang berkualitas, sarjana psikologi UGM ini juga mendapat tambahan pengetahuan serta tips – tips pembuatan film yang ditontonnya.
Festival film bertaraf Internasional ini tak hanya menghibur, namun juga bertujuan untuk mengedukasi masyarakat, khususnya sineas di tanah air. Salah satunya dengan diadakannya Public Lecture, atau seminar umum tentang sinema di asia. Selain itu ada Community Forum untuk komunitas film dari daerah yang ingin berinteraksi. Ada juga Festival Corner sebagai ruang bagi komunitas sastra non film untuk ikut menerjemahkan sebuah film ke dalam berbagai bentuk karya seni lain.
Acara kali ini diselenggarakan di beberapa lokasi di Yogyakarta, yaitu Empire XXI, Taman Budaya Yogyakarta dan Bentara Budaya Yogyakarta. Selain itu yang berbeda dari tahun – tahun sebelumnya, tahun ini diadakan program Open Air Cinema yang digunakan JAFF untuk menyapa langsung masyarakat di pedesaan yang masih awam dengan film. Beberapa desa yang terlibat dalam program Open Air Cinema antara lain berada di desa Giriloyo, Nitiprajan, Sidoakur, dan Banyusumilir [Hakam].