Judul : Interstellar
Durasi : 169 Menit
Aktor : Matthew McConaughey, Jessica Chastain, Anne Hathaway, Michael Caine
Sutradara : Christopher Nolan
Tahun : 2014
Umat manusia terlahir di Bumi, namun tidak pernah ditakdirkan untuk mati disini.
Empat Oktober 1957, Uni Soviet meluncurkan satelit pertama ke luar angkasa bernama Sputnik 1. Empat tahun berselang, Yuri Gagarin menjadi manusia pertama yang mengorbit di luar angkasa dengan pesawatnya, Vostok 1. Uni Soviet mengambil langkah lebih depan dalam lomba menuju luar angkasa. Sementara itu, Amerika Serikat tak mau kalah dan segera mengambil langkah. 20 Juli 1969, lewat misi Apollo 11, Neil Armstrong mengambil ‘langkah kecil’ baginya dan ‘lompatan besar’ bagi umat manusia dengan menjadi manusia pertama yang mendarat di bulan.
Romantisme misi Apollo 11 seakan menjadi nostalgia akan era keemasan perjalanan luar angkasa yang belum pernah tercapai. Hingga kini, masih banyak galaksi, tata surya, bahkan planet yang belum terjamah di luar angkasa. Tempat-tempat tersebut bisa jadi memiliki kehidupan sendiri atau cocok untuk menopang kehidupan manusia suatu hari nanti.
Tema eksplorasi luar angkasa ini menginspirasi Christopher Nolan, sutradara asal Inggris, untuk menggarap film berjudul Interstellar. Film ini mengambil latar waktu di masa depan, ketika Bumi sudah tidak lagi layak ditinggali manusia. Badai debu yang sering datang dan matinya tanaman lantaran wabah hawar sudah menjadi hal biasa. Akibatnya, peradaban mengambil langkah mundur dan menjadi komunitas agraris yang mengabaikan kemajuan Iptek.
Alkisah Cooper tinggal bersama mertuanya, Donald; putranya, Tom; dan putri bungsunya, Murphy. Cooper, mantan pilot dan insinyur NASA, kini harus menjadi petani dan beradaptasi dengan lingkungan sekitarnya. Suatu hari, Murphy mengira ada hantu di kamarnya yang berusaha berkomunikasi lewat buku-buku yang berjatuhan. Cooper membantah pernyataan tersebut dan meminta putrinya untuk menarik kesimpulan lewat penyelidikan ilmiah. Murphy dengan antusias menerima tantangan dari Ayahnya.
Setelah beberapa waktu menyelidiki, Murphy menarik kesimpulan kalau buku-buku yang berjatuhan itu membentuk kode morse. Cooper menyelidiki fenomena tersebut lebih dalam dan menyadari kalau buku-buku yang berjatuhan itu membentuk kode biner. Dari situlah, mereka mendapatkan sebuah koordinat yang menunjukkan markas tersembunyi NASA yang dikepalai oleh Profesor Brand.
Profesor Brand menyatakan bahwa sudah tidak ada lagi yang bisa dilakukan untuk menyelamatkan Bumi. Satu-satunya harapan bagi manusia untuk menghindari kepunahan adalah dengan mencari planet lain untuk dihuni. Dengan memanfaatkan penemuan sebuah wormhole di orbit Saturnus, misi Endurance digagas sebagai usaha terakhir untuk menyelamatkan umat manusia. Misi ini dimulai dengan menempuh dua tahun perjalanan menuju obit Saturnus dan dilanjutkan dengan perjalanan antargalaksi melalui wormhole. Cooper direkrut sebagai pilot dalam misi Endurance.
Dengan berat hati Cooper meninggalkan Murphy yang tidak terima dengan keputusan Ayahnya. Bersama tiga awak lainnya, Amelia, Doyle, dan Romily, Cooper berpetualang di belantara bintang dan galaksi yang belum pernah terjamah sebelumnya. Keempat awak itu juga ditemani oleh CASE dan TARS, dua robot dengan kecerdasan buatan.
Konflik demi konflik muncul dalam perjalanan mereka. Mulai dari gelombang laut setinggi gunung hingga planet beku dengan kadar ammonia tinggi yang senantiasa mengancam nyawa mereka. Belum lagi dilatasi waktu akibat posisi planet yang berdekatan dengan Gargantua, sebuah lubang hitam yang berotasi mendekati kecepatan cahaya. Efek dilatasi waktu ini memberikan beban tersendiri pada awak Endurance. Pasalnya, beberapa jam yang terlewati di planet itu sama dengan puluhan tahun yang terlewati di Bumi. Kendati banyak menemui halangan, awak Endurance harus menuntaskan misinya sementara Bumi dan umat manusia yang menghuninya semakin dekat dengan ajal.
Sepanjang film, Matthew McConaughey yang memerankan tokoh Cooper memudahkan penonton untuk memahami materi cerita yang relatif kompleks. Sementara hubungannya dengan Murphy yang diperankan Mackenzie Foy dan Jessica Chastain mengisi nuansa humanis dalam Interstellar. Tidak hanya tokoh manusia, CASE dan TARS juga tak jarang melemparkan lelucon utuk sesekali mengurangi tensi di film ini. Penokohan CASE dan TARS menjadi kombinasi yang unik antara HAL 9000 dari film 2001: A Space Odyssey (1968) dan R2-D2 atau C-3PO dalam Star Wars (1977). Konflik yang dinaskahkan dengan baik juga membuat film berdurasi 169 menit ini tidak membosankan untuk ditonton. Namun, sangat disayangkan Christopher Nolan bersama adiknya, Jonathan Nolan, sebagai penulis naskah kurang memberikan penekanan di akhir film yang seakan terselamatkan oleh deus ex machina untuk mencapai konklusi yang diinginkan.
Pada pertengahan film, Interstellar baru menunjukkan karakternya sebagai film fiksi ilmiah lewat visualisasi memukau karya Paul Franklin yang didaulat sebagai visual effect supervisor. Hoyte Van Hoytema sebagai sinematografer pun berhasil menggambarkan setiap aksi dalam film ini dengan baik. Tidak ketinggalan, Hans Zimmer sebagai komposer turut memberikan dimensi tersendiri dalam Interstellar melalui musik yang didominasi suara organ, instrumen musik tiup kayu, dan eksperimen paduan suara. Sekilas, musik yang mengisi Interstellar memiliki karakter yang mirip dengan musik garapan Phillip Glass untuk film tahun 1982 berjudul Koyaanisqatsi.
Apa yang membedakan Interstellar dari kebanyakan film fiksi ilmiah lainnya adalah bagaimana film ini mampu merangkai ‘fiksi’ berdasarkan pemahaman ‘ilmiah’ yang sebenarnya, terutama dalam bidang Astrofisika. Jonathan Nolan menghabiskan 4 tahun mempelajari relativitas di California Institute of Technology untuk menyempurnakan naskahnya. Selain itu, Kip Thorne, astrofisikawan asal Amerika Serikat, diangkat sebagai konsultan ilmiah dalam film ini.
Untuk mendapatkan penggambaran wormhole dan Gargantua yang akurat, Kip Thorne menyusun model matematis berdasarkan persamaan relativitas umum Albert Einstein. Dengan model matematis ini, Paul Franklin beserta timnya merancang software baru untuk mensimulasikan efek gravitational lensing akibat fenomena ini. Alhasil, terciptalah sebuah penggambaran akurat dari wormhole dan lubang hitam tanpa mengurangi nilai estetikanya. Tidak hanya itu, penelitian yang dilakukan untuk film Interstellar juga berujung pada penulisan dua karya ilmiah dalam bidang Astrofisika dan Pemrograman Komputer.
Sejak A Trip to the Moon pertama kali diputar pada tahun 1902, tema perjalanan luar angkasa telah banyak diangkat ke layar lebar. Namun, Interstellar memiliki nilai lebih dengan menekankan optimismenya dalam menanggapi perjalanan luar angkasa. Kali ini Christopher Nolan memang tidak menyuguhkan twist yang tersembunyi rapih seperti pada The Prestige (2006) atau akhir yang menggantung ala Inception (2010). Lewat Interstellar, Christopher Nolan justru menawarkan sebuah permasalahan nyata kepada penontonnya.
Matahari akan terus berekspansi dalam jutaan tahun ke depan hingga akhirnya melenyapkan Bumi. Sementara itu, manusia terus mencemari lingkungannya hingga semakin tidak layak huni. Bisa jadi besok, sebuah meteor besar menghantam Bumi dan umat manusia akan menghadapi takdir yang sama seperti dinosaurus. Kesimpulannya, Bumi tidak dapat menopang kehidupan manusia selamanya. Tetapi berbeda dengan dinosaurus, manusia memliki ilmu pengetahuan yang terus berkembang dan hasrat alami untuk terus mengeksplorasi dunianya. Maka dari itu, perjalanan luar angkasa merupakan realitas yang harus dihadapi untuk menjaga keberlangsungan umat manusia dan lebih memahami tempat kita di antara jutaan galaksi [Kevin M]