Iringan gending khas Jawa klasik menggema di aula museum TNI AD Dharma Wiratama, seolah membawa kembali ke jaman kejayaan Kasultanan Mataram abad pertengahan.Tabuhan gamelan yang silih berganti mengikuti gerakan penarikhas Jawa Mataraman klasik diatas panggung. Tari yang bertema penggambaran keagungan raja sebagai manifestasi penguasaan alam semesta tersebut cukup membuat suasana terasa hening ditemani sisa rintik hujan pagi hari. “Klana Raja” itulah judul tari yang ditampilkan oleh Aldi, siswa SMAN 1 Yogyakarta yang mengikuti lomba tari Jawa klasiktingkat SMA dan sederajat se-DIY yang resmi dibuka Sabtu 13/12. Aldi merupakan salah satu dari 22 peserta lomba yang diadakan Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Swagayugama UGM, yang bergerak dibidang tari dan karawitan khas Ngayogyakarta Hadiningrat.
Aldi merupakan satu diantara segelintir anak yang masih melestarikan budaya tari Jawa Klasik. “Dari umur enam tahun saya sudah menggeluti tari, meski awalnya dipaksa orang tua karena susah” ungkapnya ketika mempelajari tari Jawa Klasik untuk pertama kalinya. Ia menuturkan mempelajari setiap tarian membutuhkan waktu sekiranya satu bulan. Bukan hal mudah untuk para pemula. “Mungkin itu yang membuat tari Jawa klasik tak banyak dipelajari, karena rumit dan lama” cetusnya. Ia mengatakan acara semacam ini seharusnya sering diadakan untuk mewadahi penggemar tari Jawa klasik dan bentuk kepedulian pada budaya Jawa Mataraman dari kalangan anak SMA.
Hal senada diungkapkan oleh Suharto Suginata selaku ketua panitia, bahwa acara yang diselenggarakan dua tahunan ini sebagai wadah untuk para penggemar tari Jawa Klasik. Selain itu, untuk mengukur ketertarikan budaya Jawa klasik Mataraman dikalangan anak SMA. “Sebenarnya ingin melihat antusiasme siswa SMA Yogyakarta terhadap tari gaya Yogyakarta itu sendiri”ungkap Suharto yang juga sebagai mahasiswa jurusan Antropologi, 2012. Suharto melanjutkan, lomba ini sebagai bentuk apresiasi Swagayugama terhadap anak-anak muda yang masih mau melestarikan tari klasik di era modern.“Lomba ini bukan untuk mencari pemenang, namun sebagai bentuk penghargaan atas kepedulian teman – teman SMA pada tari klasik” imbuh Sugiharto.
Pagelaran tari ini cukup menyita perhatian banyak orang, salah satunya Annisa Suci Krismawati, siswi SMK N 1 Wonosari yang rela datang jauh untuk menonton acara ini. “Saya datang jauh – jauh dari Wonosari hanya untuk menonton pertunjukkan ini. Acara ini unik dan harus diadakan dari tahun ke tahun, apalagi kita sebagai orang Jawa harus nguri–uri budaya Jawa” cetusnya. Ia juga menyayangkan banyaknya anak SMA yang sudah meninggalkan budaya sendiri, dengan budaya luar yang bebas keluar masuk mempengaruhi kelangsungan hidup budaya nenek moyang.
Ini bertolak belakang denganpertunjukan musikyang selalu penuh sesak oleh penonton. “Kita lihat saja dewasa ini, tak banyak anak SMA yang respect pada pertunjukkan seperti ini, beda dengan konser musik yang selalu penuh sesak. Di Yogyakarta sendiri, acara kebudayaan seperti ini hampir mati karena tak ada yang peduli” keluh Sugiharto. Ia menambahkan, kedepannya acara semacam ini perlu digiatkan lebih, mengingat Yogyakartasudah dikenal sebagai kota budaya. “Malu kalau ditanya orang luar budaya Yogyakartasendiri nggak tahu, katanya kota budaya dan pelajar” pungkasnya. [Surohman Nowianto]