Alunan suara gamelan mengiringi naiknya dalang menuju panggung. Sang dalang tampak gagah mengenakan beskap. Ia memainkan wayang gunungan, Semar, dan Gareng secara bergantian, sambil memperkenalkan Sanggar Ulee Balang. âGunungan menggambarkan alam semesta, sedangkan Semar dan Gareng menggambarkan manusia,â jelas Ahmad Mahbub, konseptor dari Sanggar Ulee Balang.
Setelah dalang meninggalkan panggung, masuklah empat orang bermuka pucat yang mengenakan baju hitam kusam. Mereka berjalan terseok-seok. Tangan keempat orang itu diikat dengan tali tambang kasar oleh empat prajurit mengenakan surjan sambil membawa tombak di tangan. Tali kemudian dilepas, keempat orang berbaju hitam didorong hingga terjatuh oleh keempat prajurit. Salah satu orang berbaju hitam itu bangun lalu mendeklamasi sebuah puisi tentang bencana tsunami di Aceh, diiringi musik yang menyayat hati. âSuara sumbang itu, berdengung, membisikkan umpatan … sumpah serapah âŠâ âDosa? Dosa?! Dosa?!â sahut ketiga orang berbaju hitam, seolah menyatakan bahwa tsunami di Aceh merupakan akibat dosa penduduknya. Terdengar erangan dan tangisan dari ketiga orang tersebut di tengah suasana panggung yang mencekam.
Setelah puisi dideklamasikan, kedelapan orang itu meninggalkan panggung secara perlahan dan digantikan oleh dua belas penari Saman. Tari Saman menjadi penutup dari penampilan Sanggar Ulee Balang. Penampilan Sanggar Ulee Balang merupakan bagian dari acara Mahakarya 2014 yang mengangkat tema âWarna Budaya Indonesia di Yogyakarta Istimewaâ. Mahakarya 2014 adalah acara penutup rangkaian Pelatihan Pembelajaraan Sukses Mahasiswa Baru (PPSMB) Departemen Bahasa, Seni, dan Manajemen Budaya (DBSMB) 2014 Sekolah Vokasi UGM. Selain Ulee Balang, ada sembilan sanggar lainnya yang tampil yaitu Nggembe, Kancrik, Ewer, Cele, Tilangga, Sangkarut, Kustin, Karembong, dan Biliâu. Nama kesepuluh sanggar itu diambil dari pakaian adat daerah-daerah di Indonesia. âIndonesia memiliki beraneka ragam budaya. Dalam Mahakarya ini, kebudayaan dari berbagai daerah di Indonesia tampil tetap istimewa walau tidak di tempat asalnya,â tutur ketua panitia Mahakarya 2014, Sika Hairunnisa. Tidak hanya penampilan dari sepuluh sanggar DBSMB, musikalisasi puisi, Sasandoensi dari FIB UGM, dan Guest Star Batiga Band pun memeriahkan Mahakarya 2014.
Penonton pun disuguhi dengan penampilan yang tidak kalah menarik dari Sanggar Kustin. Kustin adalah nama pakaian adat Kalimantan Timur yang dikenakan oleh suku Kutai dari golongan menengah ke atas pada upacara pernikahan. Penampilan mereka dimulai dari masuknya lima orang dengan membawa dan memainkan bambu panjang. Disusul dengan masuknya seorang wanita yang mengenakan gaun batik panjang dengan sayap kupu-kupu berwarna abu-abu. Menurut Agus Ferryansyah, salah satu anggota Sanggar Kustin, wanita tersebut merupakan maskot dari Sanggar Kustin sebagai penarik minat penonton. Wanita itu berjalan dari satu sudut ke sudut lain di panggung, sesekali ia memutar badannya dan memamerkan sayap kupu-kupu pada kostumnya. Setelah itu, sang maskot dan lima orang pemain bambu turun dari panggung dan digantikan oleh enam penari yang mengenakan pakaian adat Kalimantan Timur. Setelah tari kipas selesai ditampilkan, masuklah tim paduan suara yang mengenakan kemeja putih dan bawahan hitam, menyanyikan lagu âIndung-indungâ dengan iringan gitar. Penampilan mereka diakhiri dengan dibentangkannya kain putih menutupi panggung, lalu tampillah seorang sinden bernyanyi âRama Obongâ sambil berjalan menuju ke depan panggung ditemani oleh si wanita kupu-kupu. Kelima pemain bambu yang tampil di awal pertunjukan pun menyusul naik ke atas panggung, memainkan kembali bambu mereka dengan indah.
Sanggar Biliâu pun tampil menghadirkan pertunjukan terakhir. Dua orang laki-laki masuk mengenakan kaos, celana pendek, dan peci sambil membawa senter. Mereka terlihat sedang tersesat di sebuah museum. Tiba-tiba, mereka melihat empat patung laki-laki dan empat patung perempuan. Mereka terkejut karena ternyata kedelapan patung itu bisa bergerak. Akhirnya kedua orang laki-laki itu turun dari panggung dan kedelapan patung itu menarikan tarian tradisional Gorontalo secara berpasangan. Setelah itu, dua orang laki-laki tadi kembali lagi dan memperkenalkan sanggar mereka, Sanggar Biliâu. Lalu masuklah tim paduan suara ke atas panggung dan penari di depan panggung. Mereka menyanyikan lagu daerah Gorontalo âBinde Bilu Hutaâ dan lagu âSuwe Ora Jamuâ sebagai penutup penampilan mereka.
Di penghujung acara Mahakarya 2014, diumumkanlah pemenang tiga nominasi yang dibuat oleh panitia. Nominasi Sanggar teraktif diraih oleh Ulee Balang, nominasi Sanggar Terkreatif diraih oleh Kustin, dan nominasi Sanggar Terajin diraih oleh Sanggar Biliâu. âAcara Mahakarya 2014 seru dan menghibur. Kita jadi bisa mengetahui tarian dan pakaian adat dari daerah-daerah di Indonesia,â kata Zahratun Mufika, salah satu penonton.[Amalia Ayu Hapsari, Dian Ayu Septiani Wiwitan, Fitria Eka Putri]