Kebijakan UKT telah dua tahun berjalan. Namun, realitasnya tak sepenuhnya sesuai harapan.
UGM sebagai world class university selalu berusaha memberikan yang terbaik untuk para mahasiswanya. Salah satunya UGM terus melakukan penyesuaian kebijakan dengan pemerintah. Sejak dua tahun lalu pemerintah telah menetapkan kebijakan pendidikan tiggi yang terjangkau oleh semua kalangan masyarakat. Berangkat dari konsep tersebut, maka lahirlah sistem tarif Uang Kuliah Tunggal (UKT). UKT merupakan kebijakan yang diterapkan oleh UGM untuk meringankan beban kuliah melalui sistem subsidi silang. Dalam sistem ini, mahasiswa dibedakan menjadi beberapa tingkatan tarif. Tingkatan yang lebih besar mensubsidi tingkatan yang lebih kecil. Namun yang terjadi di lapangan, masih banyak karut-marut dalam penerapan UKT terhadap para mahasiswa.
Tujuan dari sistem UKT baik, namun ternyata sejak tahun pertama dilaksanakan banyak terjadi problema. Mahasiswa yang mengalami sistem ini menghadapi beragam permasalahan. Distribusi kelas UKT yang harus dibayarkan tidak sesuai dengan pendapatan orangtua dan terkesan pukul rata, hingga gap antar tingkatan yang terlalu mahal. Permasalahan tersebut kini bertambah dengan diberlakukannya tingkatan baru dalam UKT yaitu UKT 6. Pada ketentuan tahun 2013 tingkat tertinggi adalah UKT 5 yang ditujukan untuk mahasiswa dengan penghasilan orang tua lebih dari 5 juta rupiah. Sekarang dengan adanya kebijakan baru UKT 5 ditujukan untuk mereka yang mempunyai penghasilan orang tua antara 5 hingga 10 juta rupiah. UKT 6 adalah tingkatan baru yang ditujukan untuk mereka yang penghasilan kedua orang tuanya lebih dari 10 juta rupiah.
Sejarah UKT berawal dari tahun 2013 dengan keluarnya SK Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (DIKTI) nomor 97/E/KU/2013. DIKTI meminta agar perguruan tinggi menghapus uang pangkal bagi mahasiswa baru program S1 reguler. Perintah ini berlaku mulai tahun akademik 2013 / 2014, sebagai ganti uang pangkal maka dilaksanakan Tarif Uang Kuliah Tunggal. Dihapusnya uang pangkal bertujuan agar biaya kuliah yang harus dibayarkan per semester lebih merata. Di UGM sendiri pelaksanaan kebijakan tarif UKT mulai diberlakukan pada tahun 2013. Pada tahun 2014 sistem UKT yang sudah ada berkembang dari awalnya 5 tingkatan kini menjadi 6 tingkatan. UKT diharapkan mampu menjawab permasalahan mahalnya tarif kuliah di UGM. Melalui sistem subsidi silang UKT dipandang mampu memberikan setiap mahasiswa kewajiban membayar sesuai dengan kemampuannya.
Tim riset Balairung mencoba melihat permasalahan dalam kenaikan sistem UKT. Untuk menulis artikel ini digunakan dua sumber data. Data pertama yang berasal dari badan advokasi tingkat fakultas yang digunakan untuk melihat tingkat pengaduan terkait kenaikan UKT. Data kedua yang berasal dari survey terhadap 25 responden digunakan untuk mengetahui sejauh mana mereka menolak atau menyetujui kenaikan tingkatan pada UKT. Kami mencoba melihat respon mahasiswa dengan cara membandingkan data permohonan keringanan UKT antara tahun 2013 dan 2014. Data ini mengambil dua kluster sebagai representasi fakultas – fakultas di UGM. Fakultas yang terdapat di masing – masing klaster dipilih secara acak. Kluster sosial humaniora diwakili oleh FISIPOL dan Hukum, sementara kluster saintek diwakili oleh Fakultas Teknik dan Kedokteran. Berdasarkan data sekunder tersebut ternyata permohonan pada klaster soshum menunjukkan penurunan.
Hal ini dapat terlihat dari jumlah pengaduan yang masuk pada DEMA FISIPOL yang turun dari 36 aduan pada tahun 2013 menjadi 16 aduan pada tahun 2014. Ada juga pengaduan yang masuk pada DEMA Justisia yang turun dari 4 aduan pada tahun 2013 menjadi hanya 2 aduan pada tahun 2014. Data tersebut dapat dijadikan acuan bahwa sistem UKT 6 tingkat memberikan pembagian tarif yang proporsional bagi para mahasiswa di klaster soshum. Sedangkan data dari dua fakultas klaster sains atau medika malah menunjukkan kenaikan pengaduan, bahkan hampir dua kali lipatnya. Ini terlihat dari jumlah pengaduan permohonan keringanan UKT pada BEM Fakultas Teknik yang pada tahun 2013 berjumlah 28 naik menjadi 47 pada tahun 2014. Di fakultas kedokteran pada 2013 pengaduan yang masuk berjumlah 39 aduan dan pada tahun 2014 naik menjadi 83. Hal ini menunjukkan masih banyak yang perlu dibenahi dalam sistem UKT 6 tingkat pada klaster saintek/medik.
Jika melihat konsep awal, pemberlakuan sistem UKT dipandang tepat. Mereka yang kurang mampu akan mendapatkan UKT 1 dan 2, dimana masing – masing sebesar 500 ribu dan 1 juta. Sementara mereka yang berpenghasilan lebih akan mendapatkan UKT 3, 4, 5 dan 6. Akan tetapi, pada kenyataannya sistem ini sangat memberatkan golongan berpenghasilan menengah yang terpaksa harus mendapatkan UKT tingkat 4, 5, bahkan 6. Hal ini paling terasa pada klaster saintek atau medika dimana jarak tarif antar tingkat UKT 3,4 dan 5 bisa mencapai lebih dari dua juta. Maka wajar sekali kenaikan tingkat permohonan penurunan keringanan UKT pada klaster saintek dan medika pada tahun 2014 hampir dua kali lipat dari pada saat 2013. Sistem 6 tingkat pada UKT memang menolong golongan tidak mampu dan terasa pantas bagi golongan yang kaya. Akan tetapi, hal ini juga lebih mencekik golongan menengah yang kuliah di UGM.
Kemudian untuk mengetahui pendapat mahasiswa mengenai kenaikan tingkatan UKT, kami mengadakan survey dengan metode random sampling. Responden diperoleh dari mahasiswa angkatan 2013 dan 2014 yang berada di fakultas teknik, kedokteran, ilmu budaya, isipol, dan hukum. Dari 25 responden yang kami survei, 9 responden mengatakan setuju dengan kenaikan tingkatan UKT sedangkan 16 responden mengatakan tidak setuju dengan alasan yang beragam. Mahasiswa pro kenaikan UKT berpendapat bahwa dengan adanya kenaikan tingkat, UKT bisa lebih sesuai dengan pendapatan orang tua. Dengan begitu, pemerataan tarif pendidikan dapat lebih berjalan. Sedangkan yang tidak setuju berpendapat bahwa sistem 6 tingkat pada UKT memberatkan mahasiswa dan bertentangan dengan konsep pendidikan murah. Selain itu, mereka juga mengeluhkan bahwa UKT hanya mempertimbangkan gaji kotor orang tua tanpa melihat tanggungan lain.
Tujuan awal sistem UKT dibuat untuk meringankan beban mahasiswa dengan menghilangkan uang pangkal. Diharapkan pelaksanaan UKT di lapangan dapat sinergis dari tujuan awal. Tentu kita tidak ingin mahalnya biaya pendidikan justru membuat mahasiswa merasa terbebani selama menjalani studinya di UGM. UKT yang telah berjalan selama dua tahun ini masih menyimpan banyak kekurangan. Salah satu argumen yang paling sering dikemukakan oleh mahasiswa adalah UKT hanya melihat gaji kotor tanpa mempertimbangkan tanggungan. Hal ini dirasa tidak adil karena ada banyak keluarga dengan pendapatan diatas 5 juta ,namun memiliki banyak tanggungan. Misalnya saja anak lebih dari satu, potongan perbulan gaji, kredit, dan lain – lain. Seharusnya terdapat banyak indikator yang menjadi pertimbangan dalam dasar penetapan UKT.
Biaya pendidikan seharusnya terjangkau bagi semua kalangan. Hal itu telah dijamin dalam undang-undang dasar. Baik yang miskin, menengah, maupun yang kaya seharusnya dapat saling menikmati manisnya pendidikan. Ironis, ditengah digadang – gadangkannya prinsip pendidikan murah masih banyak kalangan yang memberi label mahal terhadap biaya kuliah di perguruan tinggi. Label kuliah mahal seharusnya sudah lama kita tinggalkan jika memang bangsa ini ingin menjadi bangsa yang beradab dan cerdas. [Andreas Redi Kurniawan, Syahirul Alim Ritonga]
2 komentar
UKT kalau dibuatkan standar seperti penentuan UMK bisa tidak ya?
MIsal…
Kelompok 4 penghasilan 3 kali UMK, dikurangi dengan standar minimal hidup layak dengan tanggungan maksimal 4 orang (seperti BPJS)
Kelompok 5 dengan penghasilan 4 kali UMK, dan syarat sama..
dan seterusnya sampai maksimal 6 kali UMK dikurangi dengan standar hidup layak dan tanggungannya.
PTN Bukan PTS & PTN Milik Negara & Negara Milik Rakyat => PTN Milik Rakyat.
Rakyat akan menyelamatkan PTN apabila PTN akan Collapse, NAMUN Keuangan PTN tidak transparant & tidak Accountable pada Rakyat.
Sebelum UKT PTN bisa dinaikkan, Keuangan PTN perlu transparansi & Rektor mempertanggung-jawabkan setiap keuangan yang diluar kewajaran pada Rakyat sebagai Stake Holder PTN.
Apabila bila Rektor tidak mampu / sanggup, Ganti Saja. Lelang Jawatan Rektor yang mampu saja.