Warga Ibukota harus tahu dan turut tanggung djawab bahwa kotanya harus selalu merupakan simbol dari negara dan bangsanya jang besar, bahwa kotaraja oleh karenanja harus mendjadi kota Indroktinasi, kota Teladan, dan kota Tjita-tjita.– Soekarno
Judul : Membayangkan Ibu Kota, Jakarta di Bawah Soekarno
Penulis : Farabi Fakih
Penerbit : Ombak
Tebal buku : xxxiii + 205 halaman
Cetakan : Maret 2005
Jakarta menyimpan banyak sejarah di dalamnya. Ibu kota Indonesia ini menyisakan berbagai bukti kekuasaan masa lalu yang terlihat dari ketercampuran struktur kekuasaan masa lalu dan masa kini. Jakarta yang dulunya bernama Batavia, ibu kota Hindia Belanda, mencatatkan berbagai peristiwa pada masa kolonial.
Batavia kini telah menjadi Jakarta, sisa-sisa kekuasaan harus pergi dari wajah Jakarta. Soekarno sebagai Presiden Republik Indonesia pertama berusaha menghapuskan sisa-sisa kolonial tersebut. Usaha-usaha Soekarno untuk Jakarta inilah yang ingin diceritakan Farabi dalam buku ini. Farabi lebih menekankan pada pembangunan wajah kota Jakarta dan fungsi kota Jakarta dari masa ke masa terutama saat pemerintahan Soekarno.
Farabi menceritakan bahwa Batavia, ibu kota Hindia Belanda, merupakan embrio Jakarta masa kini. Sejak berdirinya, Hindia Belanda yang merupakan wilayah jajahan Belanda, terjadi peningkatan jumlah penduduk Eropa di dalamnya. Orang-orang Eropa yang menetap di Hindia Belanda semakin meningkat terutama di Batavia, sehingga terdapat kebutuhan untuk dapat tinggal gaya kehidupan yang biasa dialami di Eropa. Oleh karena itu, terdapat kebutuhan untuk memodernisasi kota dengan berbagai proyek pembangunan di Batavia. Hal tersebut menimbulkan gambaran bahwa Batavia dibangun untuk orang-orang Eropa. Gambaran inilah yang ingin dihancurkan oleh Soekarno.
Soekarno memiliki keyakinan bahwa Indonesia harus berperan menjadi bagian penting dunia. Berbagai usaha dilakukan untuk membuktikan hal itu, agar Indonesia dapat dipamerkan dalam forum dunia, seperti saat Jakarta menjadi tuan rumah Asian Games 1962. Soekarno bahkan ingin membuat Jakarta menjadi kota mercusuar untuk proyek NEFO (New Emerging Forces) yakni kelompok negara yang pernah dijajah seperti Asia-Afrika melawan OLDEFO (Old Estabilish Force) yakni kelompok negara penjajah atau blok barat (hal 60). Oleh karena itu, Jakarta menjadi mercusuar bagi semua perjuangan manusia, simbolisasi dari perjuangan melawan imperialisme. Namun secara bersamaan, Indonesia juga mengalami kemunduran dalam berbagai bidang terutama dalam bidang ekonomi yang semakin terpuruk.
Pada masa jabatanya sebagai Presiden, Soekarno telah membangun banyak gedung-gedung mewah di Jakarta. Kota yang terletak di barat Pulau Jawa ini bagi Soekarno adalah tempat untuk melakukan berbagai uji coba. Beberapa bangunan mewah yang berhasil dibangun diantaranya adalah Hotel Indonesia, Kompleks Senayan dan Gelora Bung Karno, Masjid Istiqlal, Taman Impian Jaya Ancol, dan yang paling terkenal, Monumen Nasional. Melalui berbagai gedung-gedung mewah yang sudah didirikan, Soekarno ingin menunjukan kepada dunia hasil yang telah dibuat Indonesia melalui pembangunan ibu kotanya. Akan tetapi, sebenarnya Jakarta masih menjadi kota tertinggal menurut orang asing.
Pembangunan bangunan mewah di Jakarta oleh Soekarno memang berkaitan dengan dilaksanakannya demokrasi terpimpin yang secara ekonomis dimulai dari perencanaan Pembangunan Semesta Delapan Tahun. Program ini merupakan serangkaian proyek mengembangkan sektor industri yang menangani pembangunan. Badan Perencanaan Pembangunan Nasional menangani proyek yang semuanya sebanyak 355 proyek, termasuk saat Soekarno membangun Monumen Nasional, Monumen Dirgantara, dan gedung-gedung mewah lainnya.
Penulis menganggap demokrasi terpimpin adalah titik puncak dari demokrasi anti-Belanda yang muncul dari bagian tradisional masyarakat kita dan sedikit demi sedikit mengalahkan golongan Eropa yang merupakan kelanjutan dari Hindia Belanda. Dalam demokrasi terpimpin, Jakarta memperlihatkan semacam halusinasi kekuasaan akibat dari ketidak jelasan struktur kekuasaan. Kacaunya struktur kekuasaan terlihat pada ketidakjelasan kewenangan Pemda DKI. Pada hakikatnya, Pemda DKI memiliki wewenang mengatur daerahnya sendiri, namun pada satu sisi Pemda diatur Pemerintah Pusat. Pemerintah Pusat yang didalangi Soekarno lebih banyak membangun gedung-gedung mewah dibanding Pemda yang melakukan pembangunan yang lebih berarti untuk masyarakat.
Penulis berpendapat Bung Karno memang terkenal memiliki jiwa seni yang tinggi. Obsesinya terhadap bidang arsitektur dan jiwa ambisiusnya untuk meningkatkan nasionalisme bangsa menyebabkan dirinya menganggap bahwa bangunan merupakan esensi dari kebanggaan suatu bangsa dan meningkatkan kepercayaan diri bangsa Indonesia yang telah sekian lama mengalami kolonisasi dan imperialisme. Soekarno juga percaya bahwa pengaruh bangunan mewah dapat meningkatkan posisi bangsa dan politik secara bersamaan.
Disini terlihat Jakarta sebagai proyek kekuasaan Soekarno, perluasan dari legitimasinya guna memperkuat kekuasaan simbolisnya. Namun segala pembangunan dari proyek-proyek Soekarno walau dapat membanggakan bangsa Indonesia dan membuatnya percaya akan kemampuanya sendiri, nyatanya gagal dalam meperbaiki kehidupan sebagian besar rakyat Jakarta. Sebagai contoh penduduk Jakarta masih banyak yang tinggal di kampung padat, drainase kota tak mampu menampung air sehingga menyebabkan banjir, listrik hanya memenuhi 13% masyarakat kota, air hanya dinikmati 12,5% penduduk, dan banyak masalah lainnya.
Soekarno menganggap pembangunan kota Jakarta merupakan bagian dari sebuah proyek nasionalisme yang besar. Namun pada kenyataanya Soekarno membangun kota bukan untuk siapa-siapa di Jakarta, melainkan untuk tamu asing yang datang. Jakarta selayaknya pameran bagi orang asing. Bila dilihat dari dekat, maka akan terlihat ketidakrataan yang tersembunyi, seperti orang-orang kecil yang hidup di bawah bayang-bayang gedung-gedungnya yang menjulang tinggi. Jakarta seharusnya dibangun bukan sebagai kelanjutan sejarah Batavia, melainkan sebagai sesuatu yang sepenuhnya baru dan menolak keberadaan yang lama.
Farabi Fakih dapat menggambarkan dengan baik sejarah perjalanan Jakarta saat masih menjadi Batavia hingga berada di tangan Soekarno. Farabi menyajikan sejarah kota Jakarta yang cukup komprehensif, dia berhasil menceritakan dengan detail setiap peristiwa yang mewarnai perjalanan kota Jakarta. Penulisan Farabi yang disertai fakta-fakta juga membantu pembaca dengan mudah memahami isi buku. Fakta-fakta tersebut tersaji melalui foto-foto pembangunan Jakarta dan peta pembangunan Jakarta di masa lalu.
Sayangnya, buku ini seakan berpandangan negatif pada Soekarno dan memberikan penilaian negatif terhadap pembangunan Jakarta di tangannya. Jakarta dianggap hanya sebagai alat Soekarno untuk menunjukan kegagahan Indonesia melalui gedung-gedungnya. Padahal sebenarnya dapat dicari juga sisi positif dan manfaat dari segala proses pembangunan Jakarta oleh Presiden pertama Republik Indonesia ini. Soekarno dan Pemerintah Pusat bahkan pernah melakukan pembangunan yang bertujuan untuk menanggulangi banjir di Jakarta. Tapi sisi positif itu tidak ditampilkan oleh Frabi dalam bukunya. Selain itu, gaya penulisan Farabi yang menggunakan kata-kata yang kurang umum di masyarakat juga membuat pembaca sulit dalam memahami kalimat yang sebenarnya ingin disampaikan Farabi. [Hafid dan Dita]