Ketahanan energi menjadi aspek penting dalam ketahanan ekonomi. Kondisi tersebut memiliki dampak terhadap ketahanan nasional. Oleh karena itu, ketersediaan dan akses terhadap energi menjadi faktor penting guna mewujudkan ketahanan nasional. Pernyataan ini menjadi pembuka Kuliah Umum “Penjabaran Potensi Sumber Daya Energi dan Mineral di Indonesia, Menuju Indonesia Berkedaulatan Energi” yang berlangsung di Ruang Seminar Pusat Kebudayaan Koesnadi Hardjasoemantri (PKKH) UGM pada Sabtu (13/8) lalu. Acara hasil kerjasama antara PKKH UGM dengan Pusat Energi (PSE) UGM ini menghadirkan Dr. Surono selaku Kepala Badan Geologi, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Republik Indonesia.
Surono menjelaskan ketahanan energi adalah suatu kondisi terjaminnya ketersediaan energi serta akses masyarakat terhadap energi dengan harga terjangkau dalam jangka panjang. Penyediaan dan akses terhadap energi pun turut memperhatikan perlindungan terhadap lingkungan hidup. Untuk mengukur ketahanan energi, Indonesia menggunakan indikator 4A. Availibity merujuk pada ketersediaan sumber energi baik dari domestik maupun luar negeri. Accessibility adalah kemampuan mengakses sumber energi, infrastruktur jaringan energi, termasuk menghadapi tantangan geografik dan geopolitik. Selanjutnya, affordability membahas soal biaya investasi di bidang energi, mulai dari biaya eksplorasi, produksi dan distribusi, hingga biaya yang dikenakan ke konsumen. Adapun acceptability merupakan penggunaan energi yang peduli lingkungan (darat, laut dan udara), termasuk penerimaan masyarakat. “Indonesia menganut mazhab 4A yang disesuaikan dengan kemampuan nasional dalam pengelolaan energi yang diaplikasikan dalam penyusunan Kebijakan Energi Nasional (KEN),” ujar Sarono.
Masalah demi masalah muncul saat membahas fakta di lapangan dengan menggunakan empat indikator di atas. Menurut Surono, Indonesia memiliki semua sumber energi baik fosil, Energi Baru Terbarukan (EBT), maupun mineral. Berdasarkan data Dewan Energi Nasional tahun 2013, cadangan sumber daya minyak bumi di Indonesia sebanyak 7,7 miliar barrel, gas bumi sejumlah 152,9 TSCF, dan batu bara besarnya 28,17 miliar ton. Di samping itu, terdapat pula coal bed methane dan shale gas yang belum disentuh. “Cadangan minyak bumi akan habis dalam jangka waktu 23 tahun, gas bumi 50 tahun, dan batu bara 80 tahun. Sebab sumber-sumber baru cadangan migas (minyak bumi dan gas –red) itu belum ditemukan. Kita sekarang hanya bergantung pada lautan,” paparnya.
EBT merupakan sumber energi yang terdiri dari hidro, panas bumi, micro hidro, biomassa, matahari, angin, gelombang laut, dan uranium. Di antara sumber EBT tersebut, baru micro hidro yang banyak dimanfaatkan. “Panas bumi harus diubah dulu menjadi listrik, tidak seperti minyak yang bisa langsung digunakan. Sedangkan hidro susah dibuat terutama di Jawa karena harus membebaskan lahan puluhan desa guna membikin dam,” kata Sarono. Di samping itu, ia menambahkan, angin sulit dijadikan sumber energi sebab sifatnya angin-anginan tergantung musim. “Kalau gelombang laut baru sebatas pembuatan prototipe. Terakhir, uranium masih dalam tahap percobaan,” imbuhnya.
Persoalan akses terhadap energi pun muncul mengingat Indonesia terdiri dari kurang lebih 17.000 pulau. Bentuk geografis negara berupa kepulauan itu menyisakan problem pembuatan infrastruktur jaringan energi menjadi mahal. Akibatnya, rasio elektrifikasi atau pemakaian listrik di Indonesia masih sebesar 80,51%. “Rasio elektrifikasi di Indonesia rendah, kalah dengan Vietnam. Kalau Brunei, tidak usah dibicarakan,” ujar Sarono.
Aktivitas eksplorasi dan eksploitasi energi di Indonesia pun masih menuai masalah karena banyak dilakukan oleh pihak luar. Menurut Sarono, hal ini disebabkan bank-bank tidak mau mengambil risiko investasi di bidang pertambangan dan pertanian. Padahal masyarakat harus mempunyai modal agar dapat berinvestasi. “Ahli minyak dari Indonesia harus memiliki 5M, yakni man, method, market, machine, dan money supaya bisa jalan. Tetapi, apabila money tidak ada maka orang-orang yang mencari minyak asalnya dari luar negeri,” jelasnya.
Sementara itu, pemakaian energi yang memperhatikan perlindungan terhadap lingkungan hidup belum terpikirkan lebih lanjut. Contoh konkretnya adalah tidak adanya pembatasan kepemilikan kendaraan di Indonesia. Pemakaian kendaran membutuhkan minyak bumi agar beroperasi. Banyaknya kendaraan menyebabkan konsumsi minyak bumi meningkat. Di samping itu, aturan terkait penggunaan energi yang peduli lingkungan pun tidak sinergis. “Kementerian ESDM inginnya ada penghematan energi sedangkan Kementerian Industri hendak meningkatkan penjualan. Kebijakan kita ini bukan suatu simfoni,” papar Sarono.
Ia berkata pendirian pabrik pengolahan serta pemurnian mineral atau smelter menjadi langkah mengurai persoalan energi. Sebab, smelter memproduksi sumber daya mineral setengah jadi. Dengan begitu, titan yang terkandung dalam pasir besi, misalnya, akan bernilai lebih mahal. Selain itu, pembuatan kebijakan pembatasan kepemilikan kendaraan bermotor juga urgen dilakukan karena dapat mengurangi konsumsi energi. “Negara yang berlimpah akan sumber daya alam belum tentu bisa kaya. Setelah edukasi dan pola pikirnya bagus, sumber daya alam bisa memperkaya masyarakatnya,” imbuh Sarono.
Kuliah umum ini diikuti oleh peserta dari berbagai kalangan seperti akademisi, mahasiswa, dan wartawan. Anisa Fadhila, peserta kuliah umum, mengaku mendapatkan tambahan ilmu terutama yang berhubungan dengan studinya di kampus. “Pembangunan dan pemanfaatan sumber daya alam harus seimbang supaya bisa mengurangi dampak negatif,” tutur Nisa. Peserta lainnya, Subekti Damayanti, berpendapat memperoleh pengetahuan soal sumber daya mineral dan migas serta dan cadangan serta penggunaannya. Ia berpendapat masyarakat kurang bisa mengakses informasi tersebut. Masyarakat lebih banyak memakai sehingga lebih mudah protes dan tidak berefleksi diri. [Nindias Nur Khalika]