Hari demi hari, kata “toleransi” makin akrab dengan telinga kita. Beberapa waktu yang lalu, ketika Yogyakarta digoncang sejumlah kasus kekerasan, berbagai pihak menyerukan agar bangsa ini memperkuat sendi-sendi toleransinya. Argumennya beragam: ada yang ingin kembali ke Pancasila, ada yang bilang bahwa tiap agama pada dasarnya cinta damai, ada pula yang menyitir satu dua pendapat dari filsuf-filsuf pasca-modern Perancis. Terlepas dari semua perbedaan argumen-argumen itu, pada akhirnya, semua pendapat merujuk ke muara yang sama: jadilah orang yang toleran.
Tetapi, apakah “toleransi” itu?
Toleransi merupakan sebuah kata yang lebih sering dipakai dalam perbincangan kita sehari-hari daripada dipahami maksudnya. Hari ini___seperti yang dikritik oleh Wendy Brown (2006)__tuntutan untuk menjadi toleran menyebar sedemikian cepat sementara kita tertatih-tatih untuk memahami istilah “toleransi” itu dengan memadai. Akibatnya, sikap kita___yang dimaksudkan sebagai sebuah sikap toleran___menjadi rancu dan seringkali membingungkan. Apakah dengan menjadi toleran maka seseorang tidak perlu mempedulikan tindak-tanduk orang lain? Apakah dengan menjadi toleran maka kita harus sepakat dengan semua pilihan orang lain? Apakah toleransi berarti meniadakan benar dan salah di dunia ini?
Keterbatasan
Toleransi berangkat dari asumsi bahwa manusia punya keterbatasan dalam mengetahui segala sesuatu. Artinya, manusia tidak sepenuhnya bisa tahu apa saja yang benar di dunia ini. Meski manusia menyadari bahwa dirinya adalah makhluk yang terbatas, ia sendiri tak tahu sejauh mana batasan dirinya untuk menemui kebenaran. Manusia dapat mengetahui batasan dirinya jika ia terus merangsek maju untuk mencari kebenaran hingga ia tiba di titik dimana ia tak mampu lagi melangkah lebih jauh.
Namun, mengingat manusia memiliki keterbatasan yang inheren di dalam dirinya, setiap gerak maju manusia untuk menemui kebenaran selalu mengandung potensi kesalahan. Sederhananya, manusia harus berusaha mencari kebenaran dalam hidupnya sambil di saat yang sama terus-menerus mengakui bahwa ia bisa saja telah menarik kesimpulan yang salah soal apa yang benar itu. Cara pikir ini menjadi landasan penting bagi sikap toleran. Ketika kita memiliki niat untuk mengetahui apa yang benar sambil di saat yang sama mengakui keterbatasan diri kita, kita akan menjadi terbuka terhadap segala kritik dan dialog bersama orang lain yang barangkali punya pandangan berbeda. Harapannya, lewat dialog itu, tiap orang bisa saling mengkoreksi pandangan dirinya yang salah sambil di saat yang sama menambal kelemahan-kelemahan pandangan orang lain. Ringkasnya, dialog akan menjadi wahana bersama bagi masyarakat untuk mencari tahu apa yang benar bagi mereka.
Dialog adalah fitur khas masyarakat toleran. Masyarakat yang tidak mengakui bahwa manusia memiliki kemampuan mengetahui namun terbatas tidak akan mampu menyelenggarakan dialog. Mereka entah terjebak dalam sikap (1) menolak mengakui bahwa manusia memiliki keterbatasan untuk mengetahui atau (2) menolak mengakui bahwa manusia punya kapasitas untuk mengetahui. Sikap masyarakat toleran pada dasarnya bersifat moderat. Mereka mengakui bahwa manusia punya kapasitas untuk mencari tahu apa yang benar. Tetapi, mereka juga mengakui bahwa manusia punya kapasitas yang terbatas. Sementara itu, dua sikap di atas__nomor (1) dan (2)__berada di titik ekstrim. Sikap nomor (1) kita sebut fanatisme. Sedangkan sikap nomor (2) kita sebut relativisme.
Berbeda dengan toleransi, fanatisme tidak mengakui bahwa manusia punya batas. Dengan asumsi yang demikian, maka manusia bisa mencapai kebenaran yang tidak punya retak sama sekali: sebuah kebenaran final yang tak dapat dipertanyakan, dikritisi atau didialogkan. Singkatnya: sebuah kesempurnaan.
Beda lagi dengan relativisme. Jika fanatisme menihilkan kemampuan manusia untuk salah, relativisme menihilkan kemampuan manusia untuk mencari tahu apa yang benar dan salah. Tak ada dasar, bagi para relativis, untuk bilang bahwa sesuatu lebih baik atau lebih buruk dari yang lain. Selain itu, relativisme mengakui bahwa tiap manusia punya keberbedaan absolut yang membuat masing-masing dari kita berbeda sepenuhnya dengan satu sama lain. Akibatnya, adalah tidak mungkin untuk menerjemahkan apa yang dimaksud oleh si A dari sudut pandang si B. Ketidakmungkinan ini menyebabkan dialog sukar terjadi (Fiala, 2005).
Toleransi pada dasarnya berdiri di antara fanatisme di satu sisi dan relativisme di lain sisi. Tetapi, hari ini, toleransi justru seringkali diidentikkan dengan relativisme. Perbedaan pilihan antara dua orang seringkali diakhiri dengan kalimat “Sudahlah, itu kan hidup dia” alih-alih dialog yang mencerahkan. Kritisisme terhadap pilihan seseorang dianggap tabu. Menjadi toleran hari ini berarti menjadi orang yang membenarkan segala pilihan orang lain.
Menilai dan Memutuskan
Di samping punya asumsi dasar yang berbeda, toleransi dan relativisme juga dibedakan berdasarkan bagaimana proses sebelum seseorang memutuskan sikapnya. Dua orang, A dan B, barangkali sama-sama tidak memukul penganut agama lain dengan linggis. Akan tetapi, belum tentu bahwa keduanya adalah orang yang sama-sama toleran. Lantas, dimana letak perbedaannya?
Seseorang yang toleran memutuskan untuk bertindak toleran. Bertindak toleran berarti memutuskan untuk tidak menolak sesuatu yang sesungguhnya tidak disepakati (Fiala, 2005; Scanlon, 2003). Artinya, menoleransi sesuatu berarti dimulai dengan menilai sesuatu, memutuskan bahwa itu buruk/tidak tepat/tidak disukai, tetapi pada akhirnya memutuskan untuk tidak memaksa sesuatu itu berubah menjadi apa yang kita inginkan. Meski tidak menolak, bukan berarti bahwa seseorang tak boleh mengkritisi pilihan orang lain. Seperti yang telah diulas di atas, toleransi berangkat dari asumsi bahwa pilihan seseorang bisa jadi salah karena manusia punya keterbatasan yang mengeram di dalam dirinya. Oleh karena itu, adalah wajar jika pilihan seorang manusia dikritik oleh manusia lainnya. Akan tetapi, perlu digarisbawahi bahwa tujuan kritik bukanlah mewartakan klaim kebenaran karena sang pengkritik pun merupakan manusia yang punya potensi untuk salah. Kritik dan dialog adalah cara manusia untuk berefleksi lebih jauh untuk meninjau apakah keyakinan yang ia pegang sudah tepat.
Sementara itu, relativisme, yang menganggap bahwa manusia satu sama lain memiliki keberbedaan absolut, tidak dapat melakukan penilaian karena standar nilai seseorang tak bisa digunakan untuk menilai tindakan orang lain. Dalam kondisi ini, seorang relativis tak dapat dikatakan menoleransi sesuatu karena ia sendiri tak dapat memutuskan apakah tindakan orang lain dapat dikatakan baik atau buruk.
Penutup
Penelusuran kita sejauh ini telah mengklarifikasi sejumlah poin penting dari istilah “toleransi”. Pertama, toleransi hidup dalam masyarakat yang menyadari bahwa mereka adalah makhluk terbatas, tetapi mereka tidak lantas menyerah untuk mencari tahu apa yang benar. Kedua, toleransi melibatkan kemampuan untuk menilai baik dan buruknya sesuatu. Menjadi toleran tidak sama dengan menjadi seorang relativis. Apa yang menonjol dari seseorang yang toleran bukanlah keyakinannya bahwa segala sesuatu dapat dibenarkan, melainkan justru perilakunya yang menghargai tiap manusia, mengutamakan dialog, kerelaannya untuk dikritik maupun mengkritik serta penolakannya untuk memaksakan kehendak.
Maka, jadilah toleran.**
Rizky Alif Alvian, Mahasiswa Ilmu Hubungan Internasional UGM 2012